Menuju konten utama

Kasus Meikarta dan Guncangan Bisnis-Bisnis Lippo

Lebih dari setahun proyek Meikarta garapan Lippo Group diterpa berbagai persoalan, bisnis Lippo yang lain juga sedang didera masalah kinerja keuangan.

Kasus Meikarta dan Guncangan Bisnis-Bisnis Lippo
Pejalan kaki melintas di depan dinding penutup areal proyek Meikarta di area Orange County, Cikarang, Bekasi, Rabu (9/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Kantor Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mendadak sepi pada Senin (15/10). Sehari sebelumnya sejumlah pejabat pemerintah Kabupaten Bekasi terciduk operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK melakukan penyegelan terhadap tiga ruangan di Kantor Dinas PUPR, antara lain: ruang Kepala Dinas PUPR, ruangan bidang penataan ruang PUPR, dan ruangan sekdis PUPR. Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin juga turut ditangkap KPK. Menurut KPK, penangkapan Neneng ada kaitannya dengan proyek Meikarta, salah satu megaproyek properti dari Lippo Grup di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. KPK juga menetapkan tersangka dari lingkaran Lippo Grup, termasuk Direktur Operasional Lippo Grup Billy Sindoro.

“Terhadap sejumlah tersangka pada kasus dugaan suap terkait proses perizinan Meikarta (Lippo Grup), dilakukan penahanan 20 hari pertama,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dikutip dari Antara.

Di pasar modal, proyek Meikarta bernilai Rp278 triliun yang terseret kasus dugaan korupsi membuat saham PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR) selaku entitas bisnis pengembang Meikarta terguncang. Lippo Karawaci merupakan induk usaha dari PT Mahkota Sentosa Utama, selaku pengembang Meikarta.

Sebelum OTT digelar KPK, saham Lippo Karawaci pada 12 Oktober 2018 masih berkisar Rp298 per saham. Setelah OTT digelar KPK pada Minggu (14/10/2018), harga saham Lippo Karawaci pada 15 Oktober 2018 turun drastis, dan sempat menembus angka terendah di level Rp276 per saham, sebelum ditutup di level Rp290 per saham.

Sehari setelah itu, gejolak saham Lippo Karawaci ternyata masih belum reda. Saham emiten properti itu terus tertekan. Saham Lippo Karawaci sempat menembus angka terendah di level Rp256 per saham, sebelum ditutup di level Rp274 per saham.

Kasus suap yang menimpa proyek Meikarta menambah daftar persoalan kasus hukum yang dihadapi Lippo Group sepanjang tahun ini. Sebelumnya, Meikarta sempat terseret ke pengadilan niaga oleh sejumlah rekanannya. Salah satu rekanan, PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) lantaran MSU belum membayar utang sebesar Rp40 miliar pada 30 Mei 2018.

Sejak diajukan PKPU, harga saham Lippo Karawaci terus mengalami tren menurun. Per 30 Mei 2018, harga saham Lippo Karawaci sebesar Rp384 per saham. Sebulan setelahnya, harga saham Lippo Karawaci tercatat Rp340 per saham. Saham Lippo Karawaci mulai terangkat usai Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan menolak gugatan PKPU pada 5 Juli 2018. Imbasnya saham Lippo Karawaci naik menjadi Rp364 per saham, dari sehari sebelumnya Rp348 per saham.

Berbagai kasus hukum yang membelit Meikarta membuat pergerakan saham Lippo Karawaci mengalami tren menurun sepanjang tahun ini. Pada 16 Oktober 2018, saham Lippo Karawaci tercatat di level Rp274 per saham, menurun 43 persen dari harga per 1 Januari 2018 sebesar Rp484 per saham.

“Wajar apabila perusahaan yang sedang menghadapi persoalan hukum, pergerakan sahamnya itu terdepresiasi. Mau itu emiten besar atau kecil,” tutur David Nathanael Sutyanto, Analis Ekuator Swarna Sekuritas kepada Tirto.

Saat pengambilan keputusan menjual atau membeli saham, investor selalu menimbang seluruh risikonya. Persepsi investor terhadap emiten yang terkena persoalan hukum dianggap berisiko tinggi, lantaran menimbulkan ketidakpastian usaha.

Apalagi, jika persoalan hukum yang dialami terbilang serius, tidak menutup kemungkinan persoalan tersebut akan mengganggu kinerja emiten yang terlilit kasus hukum. Investor selalu menghindari emiten yang terkena persoalan hukum untuk sementara waktu.

Guncangan Bisnis Lippo

Setahun terakhir ini, bisnis Lippo Group tengah menjadi sorotan masyarakat lantaran kinerja bisnisnya banyak diberitakan sedang terpuruk. Bahkan, dari sekian banyak lini bisnis yang digeluti, ada juga yang sampai digugat di pengadilan.

Selain digugat PKPU oleh rekanan proyek Meikarta dan skandal dugaan suap Meikarta, bisnis Lippo Grup lainnya juga terkena persoalan. Contoh, Cinemaxx—jaringan bioskop milik taipan Mochtar Riady—yang resmi beroperasi pada 2014 digugat oleh PT Plaza Indonesia Realty Tbk. melalui anak usahanya PT Plaza Lifestyle Prima pada Oktober 2017.

Plaza Indonesia melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang lantaran PT Cinemaxx Global Pasifik, selaku operator Cinemaxx lalai menyelesaikan tunggakan tagihan dan kewajibannya senilai Rp48,29 miliar.

Selain persoalan hukum, beberapa bisnis Lippo Group juga sedang menghadapi masa-masa kritis karena perubahan tren pasar. Berubahnya pola belanja konsumen dan menjamurnya bisnis online, membuat Lippo menutup sejumlah gerai Matahari sepanjang 2017.

Benarkah kinerja Lippo Group tengah menurun?

Bisnis Lippo Group di Indonesia sangat menggurita. Jumlah perusahaan yang dimiliki Lippo Group sangat banyak. Berdasarkan laporan keuangan PT Lippo Karawaci Tbk., selaku induk usaha Lippo Group, setidaknya memiliki 511 anak usaha. Dari sekian banyak perusahaan yang dimiliki Lippo Group itu, terdapat 13 perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia. Sebanyak 13 perusahaan itu bergerak di bisnis properti, asuransi, investasi, ritel dan lainnya.

Dari 13 emiten Lippo Group tersebut, sebanyak sembilan perusahaan mencatatkan kinerja laba bersih yang menurun sepanjang 2017, yakni PT Multipolar Tbk (MLPL), PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK), PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR), PT Matahari Putra Prima Tbk. (MPPA). Selain itu, ada PT Matahari Departement Store Tbk. (LPPF), PT Lippo Securities Tbk. (LPPS), PT Multipolar Tech Tbk. (MLPT), PT Lippo General Insurance Tbk. (LPPS), dan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk. (GMTD).

Sedangkan emiten Lippo Group yang mencatatkan kinerja laba bersih positif atau naik hanya dua emiten, yakni PT Siloam International Hospital Tbk. (SILO) dan PT Bank NationalNobu Tbk. (NOBU) di 2017. Di sisi lain, kinerja laba bersih dua emiten lainnya, yakni PT First Media Tbk,. (KBLV) yang bergerak di sektor telekomunikasi, dan PT Star Pasific Tbk. (LPLI) yang bergerak di sektor media, masih berkutat di zona merah alias masih merugi. Pihak Lippo Group, melalui Direktur Komunikasi Publik Lippo Group Danang Kemayan Jati tidak berkomentar saat dihubungi Tirto.

Geliat Ekonomi Menurun

Kinerja entitas bisnis perusahaan bisa menurun, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang belum membaik, salah strategi, manajemen atau pengelolaan yang salah dari direksi dan lain sebagainya. “Nah, kalau Lippo Group, saya pikir lebih dikarenakan kondisi industri pada masing-masing lini usahanya, terutama bisnis properti dan bisnis ritel,” kata Kiswoyo Adi Joe, Kepala Riset Narada Aset Manajemen kepada Tirto.

Bisnis properti dan ritel merupakan mesin utama pendapatan Lippo Group. Namun, sejak tahun lalu hingga saat ini, upaya Lippo Group meningkatkan kedua bisnis itu tidak mudah. Imbasnya, kinerja kedua bisnis itu melempem.

Lippo Karawaci—induk usaha Lippo Group dan perusahaan yang bergerak di properti—pada 2017 membukukan pendapatan senilai Rp11,06 triliun, naik 1 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp10,96 triliun. Penjualan memang naik, tapi laba bersih yang diraup malah melorot. Lippo Karawaci meraup laba bersih sebesar Rp856,98 miliar sepanjang 2017, turun 30 persen dari pendapatan 2016 yang sempat mencapai Rp1,22 triliun.

Melempemnya kinerja Lippo Karawaci berlanjut di kuartal I-2018. Pendapatan LPKR tercatat Rp2,5 triliun, turun 5,3 persen dari periode yang sama tahun lalu Rp2,6 triliun. Adapun, laba bersih turun 20 persen menjadi Rp180,59 miliar.

Infografik Bisnis Lippo Group

Kondisi yang sama juga terjadi di bisnis ritel Lippo Group. Pendapatan Matahari Department Store sepanjang 2017 tercatat naik 1,4 persen menjadi Rp6,52 triliun dari tahun sebelumnya Rp6,43 triliun. Sayangnya, kinerja pendapatan LPPF yang tumbuh positif tidak diikuti laba bersih perseroan. Pada saat yang sama, laba bersih perseroan justru turun 5,44 persen menjadi Rp1,91 triliun dari sebelumnya Rp2,02 triliun.

Selain LPPF, Lippo juga memiliki perusahaan lainnya yang bergerak di ritel, yakni Matahari Putra Prima (MPPA), selaku operator jaringan Hypermart. MPPA justru mencatatkan rugi bersih hingga Rp1,24 triliun. Padahal pada 2016, MPPA masih meraup laba bersih senilai Rp38,48 miliar. Kondisi ini juga tidak terlepas dari melorotnya pendapatan MPPA hingga 7 persen menjadi Rp12,56 triliun dari sebelumnya sebesar Rp13,52 triliun.

Namun, tidak menutup kemungkinan juga kinerja emiten Lippo Group yang menurun disebabkan adanya kesalahan pengelolaan dari manajemen. Hanya saja, perlu waktu untuk dapat membuktikan hal itu. Momen menilai apakah ada kesalahan manajemen atau strategi adalah ketika kondisi industri yang digeluti oleh perusahaan Lippo Group sedang menanjak. Apabila kinerja Lippo Group tidak sejalan dengan industri, baru bisa dikatakan ada kesalahan strategi.

“Nanti kita lihat lagi ketika properti sedang tumbuh. Mungkin pada 2022 mendatang. Kalau sekarang kan industrinya memang sedang redup. Nah, kalau ritel agak sedikit beda, ini lebih karena persaingannya kian ketat,” jelas Kiswoyo.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP MEIKARTA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra