Menuju konten utama

Kasus Korupsi Alex Noerdin: Kejahatan Sempurna Pejabat Publik

Alex Noerdin dan Muddai Madang dua kali menyandang status tersangka kasus korupsi dalam enam hari.

Mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel periode 2010-2019, Kamis (16/9/2021). FOTO/ANTARA/Laily Rahmawaty.

tirto.id - 22 September 2021, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi dalam pemberian dana hibah dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015 dan Tahun 2017, kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang dalam pembangunan rumah ibadah.

Ketiga tersangka yakni Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan periode 2008-2013 dan 2013-2018; Muddai Madang, eks Bendahara Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang; dan Laonma Pasindak Lumban Tobing, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Sumatera Selatan.

Kasus ini bermula kala Pemprov Sumatera Selatan menyalurkan dana hibah kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang guna pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang dengan rincian: dana hibah Rp50 miliar menggunakan APBD Tahun 2015 dan Rp80 miliar menggunakan kas APBD Tahun 2017. Penganggaran dana hibah tersebut tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan.

“Tidak didahului dengan pengajuan proposal dari pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sebagai penerima dana hibah dan hanya berdasarkan perintah AN selaku Gubernur Sumatera Selatan,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Rabu (22/9/2021).

Temuan kejaksaan yaitu Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya tidak beralamat di Palembang melainkan di Jakarta; lahan pembangunan masjid semula diklaim oleh Pemprov Sumatera Selatan merupakan sepenuhnya aset pemprov, namun faktanya sebagian adalah milik masyarakat.

“Pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang tidak selesai, akibat dari penyimpangan tersebut kerugian keuangan negara (mencapai) Rp130 miliar,” kata Leonard.

Peran masing-masing tersangka yakni Alex Noerdin sebagai pihak yang menyetujui dan memerintahkan penganggaran dana hibah dan pencairan dana tanpa melalui proposal; Muddai Madang meminta pengiriman dana tersebut ke rekening Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya yang berdomisili di Jakarta dan dalam terindikasi penyimpangan penggunaan; serta Laonma Tobing sebagai orang yang mencairkan dana tak sesuai prosedur.

Ketiganya dijerat Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Alex Noerdin jadi 2 Tersangka Korupsi dalam 6 Hari

Selain menjadi tersangka dalam kasus ini, ketiganya juga berkelindan dalam perkara lain. Alex Noerdin dan Muddai Madang berstatus tersangka pada kasus dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan Tahun 2010-2019, saat ini mereka ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.

Sementara, Laonma Tobing berstatus terpidana pada kasus dugaan penyelewengan dana hibah dan bantuan sosial Pemprov Sumatera Selatan APBD Tahun 2013, saat ini ditahan di Rutan Kelas 1 Pakjo Palembang.

Dengan demikian, Alex dan Muddai dua kali menyandang status tersangka dalam enam hari. Keduanya ditetapkan menjadi tersangka kasus gas bumi pada 16 September 2021 dan dalam kasus hibah Masjid Sriwijaya pada 22 September 2021.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta Zaenur Rohman berpendapat tindak korupsi tidak mengenal batas, karena bermotif untuk memperkaya diri sendiri yang dilakukan secara sadar oleh pihak berkuasa. Objek yang menjadi korupsi pun tidak ada batasnya.

“Ini menunjukkan tindak pidana korupsi menyebabkan orang gelap mata, tidak mengenal batas kewajaran dalam kehidupan masyarakat,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (23/9/2021).

Semua yang bisa dijadikan sumber untuk memperoleh materi, maka bisa diuangkan. Segala macam aspek kehidupan bisa dikorupsi selama ada anggaran negara di sektor tertentu. Bahkan kewenangan bisa diuangkan, misalnya soal perizinan.

Kerugian dari korupsi tidak sekadar kerugian keuangan negara, tapi juga bisa menyengsarakan rakyat, kata dia. Umpamanya, korupsi dalam pembangunan jembatan, maka publik bisa terancam ambruknya jembatan karena penggunaan bahan bangunan yang tidak berkualitas.

Berkaitan dengan kasus Masjid Sriwijaya, Zaenur menyatakan hampir setiap pemerintah daerah memilik proyek pembangunan tempat ibadah, ganjaran pun mesti setimpal. “Itu [korupsi oleh Alex cs] sudah melewati batas kemanusiaan. Tuntut maksimal sesuai dengan ancaman hukuman yang tersedia, disertai pencabutan hak politik,” terang dia.

Kejahatan Sempurna Pejabat Publik

Perkara Alex Noerdin cs memperingatkan pejabat publik bahwa mereka memiliki kode etik dan ada regulasi sah dalam menjalankan pemerintahan.

“Pegawai negeri atau pejabat publik memiliki kode etik dalam menjalankan tugas, harus berintegritas, berkomitmen, bermoral, dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan pelayanan publik,” tutur Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar kepada reprter Tirto, Kamis (23/9/2021).

Bayangkan jika banyak pejabat seperti Alex Noerdin, kata dia, maka itu jadi preseden buruk bagi integritas, akuntabilitas, dan transparansi dalam proses-proses kebijakan. Setiap pelayanan publik cum pembangunan mempunyai prioritas, namun aneh jika pembangunan masjid ini tidak sesuai dengan standar operasional, serta menyalahgunakan wewenang dan aturan. Adinda mengingatkan, kepala daerah hingga presiden pun harus mengikuti peraturan, bukan sebaliknya.

“Bukan contoh yang baik bagi demokrasi jika kepala daerah dua kali melakukan kesalahan yang sama. DPRD juga harus tegas melakukan fungsi pengawasan,” imbuh dia.

Alex Noerdin dan Muddai jatuh ke lubang serupa mengartikan lemahnya fungsi pengawasan legislatif terhadap kepala daerah. Publik pun bisa menyuarakan soal akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan.

Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko berujar kepala daerah penting untuk membuka akses informasi dan transparansi pengadaan dan perizinan proyek. Ketika proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terbuka, maka masyarakat bisa ikut memantau, yang diharapkan dapat meminimalkan potensi korupsi.

“Potensi korupsi akibat dari ketidakterbukaan informasi pengadaan dan perizinan, ternyata diafirmasi oleh berbagai kasus,” kata dia kepada reporter Tirto.

Informasi proyek itu dapat dicantumkan dalam sistem informasi rancangan pengadaan atau situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Tidak adanya transparansi bisa melahirkan kecurigaan publik. Apalagi jika Badan Pemeriksa Keuangan menerbitkan hasil laporannya, maka bisa diketahui indikasi rasuah.

Kasus ini menjadi kejahatan sempurna karena ada niat dari si pelaku, penyalahgunaan wewenang, serta konflik kepentingan, kata dia.

Tataran paling mendasar dan retorik, para tersangka ini sadar perbuatan mereka. Apalagi Alex Noerdin adalah pejabat publik yang juga memiliki sumpah jabatan. “Pemahaman (ihwal korupsi) terdegradasi dengan kepentingan,” sambung Wawan.

Ketiga tersangka pun seharusnya juga sadar bahwa di era globalisasi ini “banyak mata” yang mengawasi mereka.

Sementara, di zaman sekarang vonis kasus korupsi belum memberikan keadilan bagi masyarakat. Misalnya, dalam proses kasasi dan Peninjauan Kembali bisa saja hakim mengurangi masa hukuman si pelaku. Bila rakyat bersepakat bahwa rasuah adalah kejahatan luar biasa yang menimbulkan dampak dan risiko yang hebat pula, kata dia, maka penegak hukum harus konsisten dengan persetujuan tersebut. Pada perkara yang menyangkut Alex, iktikad baik kejaksaan bekerja sama dengan KPK.

Lembaga antirasuah itu juga harus “jemput bola” menyupervisi dua kasus Alex. Pihak kejaksaan juga harus dapat transparan dalam pengusutan perkara. Lantas ketika kasus sudah P-21 dan siap bersidang, maka publik juga bisa memonitor dakwaan yang dituntut oleh jaksa penuntut umum.

“Biasanya (kasus) korupsi bisa dihukum secara optimal, kalau (penegak hukum) berkomitmen. Semua aparat penegak hukum harus kompak untuk memberikan keadilan bagi masyarakat,” jelas Wawan.

Berdasarkan data TII soal Indeks Persepsi Korupsi 2020, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun lalu berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari 2019 yang berada pada skor 40/100. Sedangkan tahun 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir. Skor dari 0 berarti sangat korup dan nilai 100 bermakna sangat bersih.

Penurunan skor Indonesia tersebut membuktikan sejumlah kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas hanya akan memicu terjadinya korupsi.

Baca juga artikel terkait ALEX NOERDIN TERSANGKA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz