Menuju konten utama

Kasus Khashoggi: Saudi Gunakan Masjidil Haram untuk Propaganda

“[Kerajaan Saudi] bergantung hanya pada Tuhan saja, dan kemudian kepada kebijaksanaan dari para pemimpinnya serta persatuan dari para anak-anaknya untuk melawan tuduhan yang salah.”

Kasus Khashoggi: Saudi Gunakan Masjidil Haram untuk Propaganda
Activists dressed as Saudi Crown Prince Mohammad bin Salman and U.S. President Donald Trump shake hands during a demonstration calling for sanctions against Saudi Arabia and to protest the disappearance of Saudi journalist Jamal Khashoggi, outside the White House in Washington, U.S., October 19, 2018. REUTERS/Leah Millis TPX IMAGES OF THE DAY

tirto.id - Kerajaan Saudi Arabia menggunakan sejumlah cara untuk melindungi Putra Mahkotanya Mohammed bin Salman (MBS) dari tuduhan pembunuhan atas jurnalis Arab Jamal Khashoggi. Salah satunya melalui imam Masjidil Haram atau Masjid al-Haram yang mengatakan pembunuhan Khashoggi adalah rekayasa media.

Seperti dilaporkan oleh Saudi Gazette, Imam besar dan katib Masjidil Haram di Mekkah Sheikh Abdulrahman al-Sudais dalam khotbah Jumatnya pada 19 Oktober lalu di masjid tersebut mengatakan bahwa umat Islam harus bersatu dalam menghadapi “rekayasa” terhadap kerajaan Saudi terkait hilangnya Khashoggi di Istambul, Turki, pada 2 Oktober lalu.

“[Kerajaan Saudi] bergantung hanya pada Tuhan saja, dan kemudian kepada kebijaksanaan dari para pemimpinnya serta persatuan dari para anak-anaknya untuk melawan tuduhan yang salah,” kata Abdulrahman.

Ia juga mendorong rakyat Saudi untuk “mendasarkan sikap mereka pada fakta dan menghindari spekulasi atau melompat kepada kesimpulan atau menjauhkan sikap mereka dari … rekayasa,” sembari menambahkan bahwa “kampanye” yang melawan kerajaan Saudi merupakan “provokasi terhadap perasaan lebih dari satu miliar Muslim” di seluruh dunia.

Lebih lanjut, seperti dituliskan Khaled M. Abou El Fadl, profesor hukum di University of California, dalam opininya di New York Times, Imam besar Abdulrahman juga mengatakan bahwa MBS merupakan “mujaddid” yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menghidupkan kembali iman Islam pada jaman ini.

Sang imam, lanjut Khaled, juga menggunakan kata “muhaddat” yang artinya “unik dan luar biasa berbakat” untuk mendesrkripsikan sang Putra Mahkota, yang mana Nabi Muhammad pernah memberikan gelar ini kepada Umar Ibn al-Khattab.

Menurut Khaled, belum pernah ada imam dari Masjidil Haram yang menyebut atau berani menyiratkan seorang penguasa Saudi sebagai mujaddid zaman ini. Situasi ini, lanjutnya, menyiratkan bahwa kediktatoran MBS sudah berhasil mengontrol bahkan imam-imam di kerajaan Saudi.

MBS memang telah memenjarakan serta menghukum imam-imam yang tidak setuju dengannya. Beberapa di antaranya adalah seorang ahli hukum yang berpengaruh Sheikh Saleh al-Talib dan Sheikh Bandar Bin Aziz Bilila. Keduanya juga pernah menjadi imam Masjidil Haram.

Khotbah di Mekah dan Madinah dibacakan dari naskah yang harus disetujui terlebih dahulu oleh pasukan keamanan Saudi.

Menurut Khaled, khotbah-khotbah yang disampaikan di Mekah dan Madinah biasanya bersifat dogmatik dan dapat diprediksi. Khotbah-khotbah ini selalu diakhiri dengan doa untuk para bangsawan Saudi. Ini terjadi selama puluhan dekade.

Namun, lanjutnya, para imam Masjidil haram tidak pernah mengaitkan gelar sakral – seperti “muhaddat” dan “mujaddid” dengan monarki Kerajaan Saudi. Para imam biasanya bersikeras bahwa masyarakat harus tunduk pada para penguasa Saudi sejauh mereka mematuhi Tuhan.

“Dengan menggunakan Masjidil Haram untuk menutupi kelaliman dan penindasan, Pangeran Muhammed telah membuat legitimasi dari kontrol serta perwalian Saudi atas tempat-tempat suci Mekkah dan Madinah menjadi hal yang dapat dipertanyakan,” tulis Khaled.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Yulaika Ramadhani