Menuju konten utama

Kasus Khashoggi, Saudi yang Bengis kepada Pembangkang & Pembuat Aib

Berbagai cara dilakukan Arab Saudi menghabisi mereka yang membangkang dan membuat aib kerajaan.

Kasus Khashoggi, Saudi yang Bengis kepada Pembangkang & Pembuat Aib
Sejumlah jurnalis melakukan aksi solidaritas bagi wartawan Arab Saudi Jamal Khashoggi di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Jumat (19/10/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Jamal Khashoggi, kolumnis Washington Post yang tewas di gedung Konsulat Saudi di Istanbul, Turki, bukan orang pertama yang diduga menjadi korban kebengisan Kerajaan Arab Saudi. Dua tahun lalu, seorang ulama Syiah terkemuka, Sheikh Nimr al-Nimr, dieksekusi mati karena dituduh terlibat “kejahatan terorisme”.

Al-Nimr mendapat gelar Sheikh Syiah sejak 2008 di al-Awamiyah, kota kelahirannya yang terletak di timur Arab Saudi. Sebelumnya, selama 10 tahun ia memperdalam ilmunya di sebuah pesantren Syiah di Teheran, Iran, lalu berlanjut ke Suriah.

Selain dikenal sebagai pemuka agama, Sheikh al-Nimr yang lahir pada 21 Juni 1959 itu juga tercatat sebagai politikus independen, kendati sempat memiliki afiliasi dengan dua kelompok politik di komunitas Syiah Arab Saudi, Islahiyyah (Shirazis) dan Hezbollah al-Hijaz (Saudi Hezbollah).

Sejak kembali ke Arab Saudi pada 1994, Sheikh al-Nimr kerap bersitegang dengan pemerintah karena ia getol melancarkan kritik sosial. Mulai dari soal kebebasan beragama, tuntutan agar diselenggarakannya pemilihan umum, hingga pembubaran monarki Arab Saudi. Puncak aktivitas politik Sheikh al-Nimr terjadi saat revolusi ‘Arab Spring’ yang merebak Timur Tengah.

Ditangkap hingga dipukuli aparat sudah jadi suatu kelaziman bagi Sheikh al-Nimr. Pada 2006, ia disiksa oleh kepolisian rahasia Arab Saudi, Mabahith, karena berdemonstrasi menuntut penyelenggaraan pemilihan umum. Pada 2009, ia dan 35 pendemo ditangkap usai menggelar aksi massa yang menyuarakan keseteraan hak bagi kaum Syiah dengan warga lain di Arab Saudi.

Saat demonstrasi kaum Syiah berlangsung di Arab Saudi pada 2012, Sheikh al-Nimr menjadi figur sentral yang memimpin aksi massa. Kendati demikian, ia selalu menyuarakan agar demonstran tidak menggunakan kekerasan dan terpancing provokasi aparat.

"Pihak berwenang (Saudi) bergantung pada peluru, pembunuhan, dan pemenjaraan. Kita harus bergantung pada raungan kata, pada kata-kata keadilan," ucapnya dalam sebuah pidato kala itu.

Pada 8 Juli 2012, Sheikh al-Nimr ditangkap dan ditembak kakinya oleh aparat Arab Saudi. Berdasarkan keterangan aparat terkait, penangkapan tersebut terjadi dalam sebuah insiden baku tembak.

Penangkapan Sheikh al-Nimr membuat kaum Syiah kembali menggelar demonstrasi besar-besaran, yang kemudian direspons dengan penembakan oleh aparat Saudi. Dua orang tewas dalam aksi tersebut: Akbar al-Shakhouri and Mohamed al-Felfel.

Di dalam penjara, Sheikh al-Nimr diduga kuat mengalami siksaan. Sejak Agustus 2012, ia memutuskan mogok makan. Dua tahun berselang, Sheikh al-Nimr dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan pidana khusus Arab Saudi dengan tiga dakwaan: (1) Terlibat campur tangan pihak asing, (2) Tidak menaati penguasa, (3) Melawan pasukan keamanan dengan senjata.

Mohammad al -Nimr, saudara laki-laki Sheikh al-Nimr, juga ditangkap karena menggunggah cuitan tentang hukuman mati tersebut sekaligus mengatakan bahwa mayat Sheikh al-Nimr tidak akan diserahkan ke keluarga. "Keluargaku berharap bakal memakamkan [Sheikh al-Nimr] di kampung halamannya di Arab Saudi timur, namun para pejabat Saudi mengatakan bahwa mayat itu tidak akan diserahkan kepada keluarga," demikian pernyaataan Mohammad al-Nimr sebagaimana dikutip Mehr News.

Pada 2 Januari 2016, Sheikh al-Nimr dieksekusi bersama 46 terdakwa lainnya.

Eksekusi tersebut kemudian dikutuk habis-habisan oleh Iran dan kaum Syiah di seluruh Timur Tengah, serta Amnesty International, Uni Eropa dan Sekjen PBB Ban ki-Moon.

Infografik Dosa dan darah kerajaan saudi

Menghukum Tukang Kritik dan Pembuat Aib

Sudah bukan sesuatu yang mengherankan jika Arab Saudi dikenal sebagai negara yang acapkali mengabaikan dan melanggar hak azasi manusia. Dari aktivis hingga oposisi, bahkan juga anggota keluarga kerajaan yang dituduh membuat aib, terancam disikat mati, baik lewat pengadilan maupun tidak.

Berdasarkan laporan Rodney Dixon di Tgchambers yang berjudul "The Human Rights Situation in Saudi Arabia Following Arrests in September 2017" (Januari 2018), jumlah pembungkaman pihak oposisi dan pengkritik pemerintah di Arab Saudi mengalami peningkatan sejak rezim Mohammed bin Salman (MBS) berkuasa.

Laporan tersebut menunjukkan terdapat lebih dari 60 orang yang dianggap sebagai penentang pemerintah Saudi telah ditangkap, termasuk para aktivis HAM. Hingga kini, mereka tetap ditahan di tempat yang tak diketahui secara jelas, tanpa ada langkah konkret yang diambil untuk membebaskan mereka.

Sejak Mei 2018, banyak aktivis perempuan di Saudi yang ditangkap karena menyuarakan kesetaraan hak, termasuk izin mengemudi. Mayoritas dari mereka kemudian dilabeli dengan tuduhan “pengkhianat” oleh media-media Saudi yang dikontrol keluarga kerajaan—ingat-ingatlah hal ini sebelum mendapuk MBS sebagai figur reformis Saudi karena akhirnya mencabut larangan mengemudi bagi perempuan.

Pada Agustus 2018, pemerintah Arab Saudi juga kembali menunjukkan kebengisannya setelah diduga kuat mengeksekusi mati Israa al-Ghomgham, seorang aktivis HAM asal Qatif. Al-Ghomgham, yang juga seorang Syiah, sebelumnya sudah ditahan sejak Desember 2015 lalu karena dituduh melakukan "aktivitas anti-kemapanan" di masa Arab Spring.

Terkait hal ini, pada 15 Agustus lalu, European Saudi Organization for Human Rights (ESOHR), juga turut membuat pernyataan mengenai mekanisme penuntutan Arab Saudi yang dianggap tidak independen dan hanya melayani kepentingan Raja Salman.

"Selama 32 bulan masa penahanan, al-Ghomgham tidak diberi pengacara. Dia baru didampingi pengacara setelah ayahnya menulis petisi sumbangan untuk membayar pengacara sebesar 300 ribu riyal Saudi (sekitar 70 ribu euro). Seiring beredarnya petisi tersebut di media sosial, seorang pengacara kemudian menawarkan pelayanan pro bono (gratis)," tulis ESOHR di situswebnya.

Mundur ke belakang hingga 2001, seorang akuntan asal Skotlandia bernama Ron Jones pernah dituduh menjadi dalang dalam pengeboman di Ryadh, padahal ia sendiri menjadi juga turut menjadi korban. Ketika dirawat di rumah sakit, aparat setempat menjemput paksa Jones lalu menahannya selama 67 hari.

Jones kemudian dibebaskan pada Mei 2001 setelah terbukti tidak bersalah. Kepada Sekretaris Luar Negeri Inggris, Jack Straw, dan diplomat Inggris, Lady Amos, Jones menceritakan apa yang ia alami kala itu.

“Saya dibawa melewati beberapa gerbang, melintasi sebuah halaman, lalu masuk ke sebuah ruangan," tuturnya. "Mereka meninggalkan saya di sana selama 24 jam. Keesokan harinya, mata saya ditutup, tangan saya diborgol, lalu dibawa ke ruang atas. Di sana, saya ditanyai tentang pengeboman tersebut,” ujar Jones seperti dilansir Guardian.

"Mereka bilang mereka sudah tahu bahwa saya bagian dari komplotan pelaku pemboman, bahwa saya telah memasang bom tersebut, dan jika saya tidak mengakuinya, mereka akan menyiksa saya sampai saya mengaku.”

“Mereka memukul saya, menendang, melemparkan saya ke tembok. Kemudian mereka mencambuk telapak kaki saya dan merotan tangan saya. Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa istri dan putra saya telah ditangkap dan akan diperlakukan sama dengan saya.”

Selain keras terhadap pengkritik, kerajaan juga bengis terhadap siapapun yang mereka tuduh telah membuat aib, termasuk dari kalangan keluarga kerajaan.

Salah satu bentuk kebengisan dari dari terhadap keluarga kerajaan Saudi juga pernah terjadi pada 1977. Korbannya ketika itu adalah Misha’al binti Fahd al-Saud, cucu dari Muhammad bin Abdul Aziz al-Saud. Penyebabnya: cinta terlarang.

Cerita bermula ketika Misha’al dijodohkan dengan calon suami sesama ningrat yang merupakan sepupunya sendiri. Namun, saat menempuh studi di Beirut, Lebanon, Misha’al bertemu dengan Khaled, putra seorang diplomat Saudi. Cinta pun bersemi antara keduanya.

Namun kedua pasangan tersebut harus menjalaninya secara tertutup karena seorang keturunan ningrat tidak boleh menjalin cinta dengan warga biasa. Namun, cinta sudah kadung merekah. Ketika kembali ke Saudi, mereka tetap mempertahankan hubungan. Masha’al dan Khaled sebetulnya sempat berencana melarikan diri. Sayang, usaha tersebut gagal. Mereka keburu ketahuan serdadu kerajaan.

Di hadapan keluarganya, Misha’al bersikukuh tidak mau menyalahkan Khaled. Sang kakek makin murka. Maka, pada suatu hari, putri kerajaan yang kala itu masih berusia 19 tahun dipaksa mengaku telah berzina dan dibawa ke sebuah tempat parkir di Jeddah. Di sana ia dieksekusi mati dengan cara ditembak, tepat di kepala.

Namun, kasus yang terhitung paling menggegerkan Kerajaan Saudi terjadi pada 2010 dan melibatkan pangeran Saud Abdulaziz, anak dari Abdulaziz bin Nasser Al Saud dan cucu Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud yang memerintah pada 2005-2015. Saud Abdulaziz terbukti telah membunuh salah seorang pembantunya, Bandar Abdul Aziz, di sebuah hotel di London. Akibat perbuatannya tersebut, Saud Abdulaziz pun harus dihukum penjara seumur hidup.

Namun, kisah ini tidak sesederhana itu. Diduga kuat, alasan Saud Abdulaziz membunuh pembantu prianya tersebut karena yang bersangkutan menolak dijadikan pelampiasan nafsu sang pangeran. Sang pangeran, konon, adalah seorang homoseksual. Tentu saja hal tersebut disangkal habis-habisan oleh pihak Saud.

John Kelsey-Fry QC, pengacara Saud, mengatakan bahwa tidak mungkin kliennya seorang homoseksual karena itu merupakan “dosa berat” di dalam agama dan dapat membuat Saud dieksekusi mati berdasarkan hukum Saudi. Hanya saja, bukti-bukti dan saksi yang ada justru menunjukkan kebenaran rumor tersebut.

Sebagaimana dilansir BBC, seorang saksi bernama Dobromir Dimitrov, portir hotel tempat kejadian yang juga mengaku sebagai seorang homoseksual, menuturkan: "Saya akan menggambarkan mereka sebagai pasangan gay." Dua pengawal Saud, Pablo Silva dan Louis Szikora, juga telah memberi bukti bahwa mereka telah melakukan hubungan seksual dengan sang pangeran.

Ketika mayat Bandar Abdulaziz ditemukan di tempat tidur kamar 312 Hotel Landmark, London, ada bekas gigitan di pipinya. Di ponsel sang pangeran, polisi menemukan banyak foto-foto telanjang Bandar.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Suhendra