Menuju konten utama
Koperasi Simpan Pinjam

Kasus Indosurya & yang Perlu Diperhatikan di Revisi UU Koperasi

Ketua Umum AMKI Sularto sepakat revisi UU Perkoperasian harus dilakukan dan penguatan pengawasan.

Kasus Indosurya & yang Perlu Diperhatikan di Revisi UU Koperasi
Ilustrasi Koperasi. foto/Istockphoto

tirto.id - Sikap pemerintah dalam upaya mengawasi koperasi semakin kuat usai vonis lepas terdakwa kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya. Menkopolhukam, Mahfud MD memastikan pemerintah akan merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Koperasi). Ia juga meminta DPR agar ikut membantu percepatan revisi regulasi tersebut.

Hal tersebut tidak lepas dari tindak lanjut pemerintah setelah putusan lepas para terdakwa Koperasi Simpan Pinjam Indosurya, yaitu Ketua KSP Indosurya, Herry Surya dan June Indria dari putusan pengadilan.

“Kami mohon pengertian kepada DPR. Kita akan merevisi Undang-Undang Koperasi karena sekarang penipuan-penipuan dan pencurian uang rakyat [marak]” kata Mahfud usai rapat di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Jumat (27/1/2023).

Mahfud menuturkan, salah satu poin yang akan direvisi adalah terkait pengawasan. Ia mengatakan, pemerintah, lewat Kementerian Koperasi tidak bisa mengawasi karena pengawas koperasi adalah pihak koperasi sendiri. Pemerintah baru terlibat ketika ada proses hukum berjalan.

“Nah, oleh sebab itu mohon pengertiannya, kita akan merevisi, mengajukan revisi Undang-Undang Koperasi agar penipuan-penipuan yang berkedok koperasi ini bisa segera diakhiri dan ditangkal untuk masa yang akan datang,” kata Mahfud.

Rencana revisi poin pengawasan koperasi memang sudah lama digagas pemerintah. Hal ini tidak lepas dari kebutuhan Indonesia soal aturan perkoperasian demi memenuhi kebutuhan zaman. Sebelumnya, pemerintah sempat merevisi lewat UU UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, tetapi dikembalikan ke Undang-Undang tahun 1992 karena dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

"UU 25 Tahun 1992 dinilai sudah tidak sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan koperasi di era digital," kata Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim, Kamis lalu.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki juga mendorong agar revisi UU segera dilakukan. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah yang lemah dalam pengawasan koperasi.

“Koperasi di Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, itu mengawasi dirinya sendiri. Kementerian Koperasi itu enggak punya kewenangan untuk mengawasi ketika koperasinya makin besar, pengawasan internal itu sudah tidak memadai. Tidak ada sanksi pidana bagi koperasi yang melakukan misalnya mismanajemen. Ini yang kita mau revisi, sebab kalau tidak, ya kita buang waktu,” kata Teten ditemui usai meresmikan gerai Serba Ajik di Jalan Dewi Sri Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, sebagaimana dikutip Antara.

Ia juga kecewa dengan putusan kasus Indosurya. Ia berani menyebut kasus Indosurya menjadi preseden buruk dunia koperasi simpan pinjam Indonesia.

“Tadinya kami berharap pengadilan memutuskan seadil-adilnya karena ini menyangkut ribuan orang yang berpotensi kehilangan simpanannya di koperasi simpan pinjam," kata dia.

Ketua Komisi VI DPR RI, Faisol Reza memastikan, DPR akan mendukung rencana pemerintah untuk merevisi UU Perkoperasian. Ia mengaku akan segera merevisi aturan tersebut.

“Segera merevisi undang-undang," kata Faisol kepada Tirto, Senin (30/1/2023).

Namun, Faisol tidak merinci poin yang akan direvisi. Akan tetapi, ia menjamin bahwa pengawasan akan diperkuat dalam revisi tersebut. “Akan memperbanyak bagian pengawasan,” kata Faisol singkat.

UU Koperasi Sudah Tak Sesuai Perkembangan Zaman

Peneliti Indef, Nailul Huda mendukung gagasan revisi UU Perkoperasian. Ia beralasan, Undang-Undang koperasi saat ini sudah usang dan tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.

“Harusnya memang ada revisi UU Koperasi karena memang sudah terlalu usang. Pembaruan di tahun 2012 pun kalau tidak salah, kan, dibatalkan oleh MK. Jadi saya pribadi merasa UU Kperasi perlu untuk direvisi. Bahkan seharusnya juga sudah direvisi sejak lama,” kata Huda kepada Tirto.

Di sisi lain, Huda melihat ada tantangan dalam pengelolaan koperasi. Hal ini tidak lepas dari gagasan pemerintah ingin agar koperasi simpan pinjam yang bisa melayani di luar anggota diawasi OJK, sementara yang khusus anggota diawasi oleh Kementerian Koperasi.

Huda menilai, pengawasan tersebut akan setengah-setengah karena hanya memiliki perbedaan tipis. Ia khawatir akan ada aksi lempar tanggung jawab di masa depan.

“Padahal ‘pelayanan’ ini tipis bedanya. Akan saling lempar tanggung jawab. Padahal kalau dilihat secara detail di UU Koperasi tahun 1992 sudah jelas pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi,” kata Huda.

“Jika ada kasus seperti Indosurya, ya salahkan orang yang memberikan bimbingan,” kata Huda menambahkan.

Huda pun menilai solusi masalah KSP adalah keberadaan lembaga khusus yang memonitor koperasi secara menyeluruh. Huda tidak menyalahkan peran Kemenkop UKM, tetapi ia melihat pengawasan koperasi perlu diserahkan kepada lembaga yang berwenang harus kompeten dan mempunyai power. Ia mendukung gagasan pengawasan KSP kepada OJK.

“Coba selama ini yang jadi masalah, kan, ada di pengawasannya cukup lemah makanya ada kasus dari Koperasi Cipaganti hingga Indosurya. Masalahnya, kan sudah dari dulu tidak tertangani dengan baik. Kalau saya pribadi mendukung fungsi pengawasan lembaga keuangan termasuk KSP beralih ke OJK,” kata Huda.

Ketua Umum Asosiasi Manajer Koperasi Indonesia (AMKI) Sularto menilai, permasalahan pengawasan koperasi non-anggota dipegang OJK dan koperasi dengan anggota di bawah Kemenkop UKM adalah hal yang tidak bisa diubah. Ia menilai bahwa hal itu layak dijalankan karena merupakan amanat UU PPSK.

Akan tetapi, Sularto meminta publik menyadari bahwa revisi UU Koperasi penting dilakukan untuk memberikan garis jelas dalam isu koperasi. Hal ini tidak lepas agar publik tidak terjebak seperti kasus Indosurya.

“Sebenarnya ini kan Indosurya bukan koperasi. Cuma orang yang mengaku koperasi. Di situlah sebenarnya undang-undang ini penting bagaimana membedakan antara koperasi yang benar dan tidak benar," kata Sularto, Senin (30/1/2023).

“Dengan begitu, pemerintah ini harus punya stempel yang kuat bahwa Anda bukan koperasi. Ini koperasi. Itu yang menjadi penting di Undang-Undang Perkoperasian ini," lanjut Sularto.

Sularto mengingatkan, koperasi besar rerata menjalankan sistem koperasi sebagaimana esensi koperasi. Hal ini berbeda dengan situasi Indosurya. Ia malah menyebut koperasi tidak mengenal sistem gagal bayar sebagaimana dialami Indosurya. Di sisi lain, pemerintah juga lengah dengan tidak ada pengawasan.

“Cuma jadi masalah terpenting itu adalah lepasnya pengawasan kementerian pada waktu itu, tidak bisa membedakan Indosurya itu bukan koperasi, tapi masih bisa menggunakan baju koperasi dan itu tidak segera disemprit sehingga itu sebenarnya koperasi palsu sebenarnya," kata Sularto.

“Ini tolong ditegaskan. Istilah saya bukan koperasi gagal bayar, tapi koperasi palsu karena dia bukan koperasi sebenarnya. Dia mengatasnamakan koperasi simpan pinjam, itu koperasi yang ada orang menyimpan, uang simpanannya untuk dipinjamkan lagi. Ini kan nggak. Ini koperasi orang menyimpan kemudian uangnya untuk melakukan investasi di grupnya sendiri. Itu jelas-jelas salah," tegas Sularto.

Sularto sepakat bahwa revisi UU Perkoperasian harus dilakukan dan penguatan pengawasan. Setidaknya ada dua opsi yang diketahui Sularto dan tengah digagas. Pertama, pembentukan Otoritas Pengawasan Koperasi (OPK). OPK ini adalah lembaga pengawasan yang akan mengawasi kinerja koperasi dan di bawah Kementerian Koperasi.

“Kayak OJK-nya koperasi, tapi saya nggak mengatakan OJK, tapi otoritas pengawasan koperasi di bawah otoritas Kemenkop, karena kalau Kemenkop sendiri sampai hari ini dan turunannya dinas-dinas tentu dengan sejarah yang kita punya tidak mampu melakukan pengawasan," kata Sularto.

“Lah unsurnya siapa di OJK itu? Unsur pemerintah, unsur pelaku koperasi, akademisi kalau misal ada komisioner itu sehingga komplit," lanjut Sularto.

Opsi kedua adalah pembentukan deputi pengawasan di Kemenkop UKM. Kedeputian ini perlu dibentuk kembali setelah sempat dihapus di masa lalu. "Dengan koperasi yang begitu banyak, hanya satu deputi pasti kewalahan," kata Sularto.

Sularto mengaku revisi UU Perkoperasian, terutama di bidang pengawasan bisa membawa semangat positif. Ia berharap agar regulasi baru bisa mengatur soal jenis kelamin koperasi, mengatur soal kesempatan publik untuk membangun koperasi dengan sistem swadaya masyarakat sekaligus pengawasan.

“Pengawasan dari pemerintah penting. Jadi sempritan itu ini bukan koperasi misalnya ini langsung segera ditutup. Ini bukan koperasi gini," tegas Sularto.

Butuh Political Will Pemerintah

Pemerhati koperasi, Suroto menilai permasalahan koperasi saat ini terjadi karena minimnya political will pemerintah. Ia beralasan, pemerintah sudah punya prinsip-prinsip koperasi yang bisa dijalankan dengan Undang-Undang 25 tahun 1992. Ia menilai, prinsip itu cukup diturunkan dalam regulasi tingkat kementerian untuk penindakan.

“Pemerintah ini tidak pernah melihat itu sebagai urgensi untuk menyusun sistem pengawasan koperasi dalam arti untuk menjaga kepentingan publik. Itu sebenarnya dengan ada dasar prinsip koperasi yang sudah diakui atau direkognisi di undang-undang harusnya pemerintah bisa mengeluarkan permen, permen tentang pengawasan koperasi yang tujuannya adalah menjaga kepentingan publik," kata Suroto, Senin (30/1/2023).

Suroto mengingatkan peran menteri koperasi adalah menciptakan iklim koperasi yang sehat. Akan tetapi, koperasi kerap mengalami masalah dan tidak ada perhatian serius. Ia lantas membandingkan dengan dunia perbankan di mana langsung ada tindak cepat ketika terjadi gangguan seperti gugurnya nilai saham. Ia pun mengungkit bagaimana BLBI untuk perbankan.

“Kenapa koperasi ini tidak diselamatkan? Harusnya menteri koperasi itu membubarkan koperasi papan nama, koperasi abal-abal, rentenir berbaju koperasi yang berpotensi akan merugikan kepentingan rakyat banyak itu sudah sejak dari dulu harusnya," kata Suroto.

Oleh karena itu, Suroto menilai tidak perlu ada revisi sebagaimana klaim pemerintah. Bagi Suroto, hal tersebut layaknya janji yang sudah muncul sejak era 2000-an. Ia menilai masalah yang ada saat ini hanya perlu langkah cepat, keseriusan dalam membuat regulasi dan berani bertindak pada organisasi nakal seperti rentenir yang berkedok koperasi.

“Jadi omong kosong kalau cuma janji-janji seperti itu. Mereka sebenarnya bisa melakukan itu dengan membentuk Permen. Cukup. Itu ada urgensinya yang namanya kebutuhan mendadak itu kan bahkan pemerintah bisa menyusun dalam bentuk PP," kata Suroto.

“Sebetulnya apa pun isinya tidak perlu dipikir. Itu sudah ada. Kalau memang menteri koperasi tidak mampu, saya drafkan PP-nya supaya ditandatangani presiden, jadi peraturan pemerintah yang mengikat semua ke masyarakat," kata Suroto.

Baca juga artikel terkait KOPERASI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz