Menuju konten utama

Kasus Frisca: Polres Sumba Barat Jangan Main-Main

Frisca, 19 tahun, diperkosa di bawah ancaman ditembak dan digorok parang.

Kasus Frisca: Polres Sumba Barat Jangan Main-Main
Ilustrasi kasus pemerkosaan yang lamban ditangani polisi. tirto.id/Nadya

tirto.id - Kasus Frisca, bukan nama sebenarnya, perempuan 19 tahun yang diperkosa di bawah ancaman ditembak dan digorok parang, kembali menjadi keprihatinan di saat ada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Terduga pelaku pemerkosa adalah Yoakim Dengi Kamambu, politikus dari Partai Hanura, dan seorang pria bernama Yohanes Japa Loka.

Kasus Frisca berada jauh dari Jakarta, pusat bisnis dan kekuasaan Indonesia. Frisca tinggal di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu mendesak aparat kepolisian segera menuntaskan proses penyidikan dan melimpahkan berkas ke Kejaksaan.

“Ini kasus perkosaan terhadap anak yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Selain KUHP, UU Perlindungan Anak dan Penghapusan KDRT juga bisa digunakan untuk menjerat pelaku,” ujar Azriana kepada reporter Tirto.

Azriana mendesak Kepolisian Sumba Barat segera menahan terduga pemerkosa. Tujuannya, agar tidak mengulangi tindak kejahatan atau mengintimidasi korban dan keluarganya.

“Mengingat pelaku memiliki kedudukan atau kekuasaan sebagai anggota DPRD,” kata mantan dewan pengurus LBH APIK Aceh ini.

Menurut Azriana, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak setempat harus proaktif untuk melakukan pemulihan bagi korban, sekaligus melindungi korban dari publikasi media yang seringkali memberitakan secara serampangan.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menegaskan Polres Sumba Barat tidak boleh "bermain-main" dalam menangani kasus ini.

Ia mempertanyakan mengapa Polres Sumba Barat lamban menangani kasus yang diadukan Frisca. Menurutnya, itu menunjukkan polisi tidak profesional.

“Polisi yang profesional tidak akan tebang pilih dan diskriminatif dalam penanganan atau penyidikan dugaan tindak pidana, siapa pun korban dan terduga pelakunya,” ujarnya kepada reporter Tirto.

Terlebih kasus ini bukan hanya pemerkosaan, tapi ada ancaman terhadap perempuan, menurut Yati.

“Korban sebagai kelompok rentan sudah seharusnya mendapatkan afirmasi dan prioritas dalam mendapat perlindungan hukum, termasuk perlindungan hukum dari kepolisian,” tegasnya.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo mengatakan anggotanya telah menghubungi pendamping korban. Saat ini dalam proses mendalami kasus yang dialami Frisca.

Menurut Hasto, LPSK akan bertindak proaktif menawarkan pelayanan pada Frisca atau keluarga korban. “Paling minggu depan kami baru bisa berangkatkan tim, Senin atau Selasa,” kata Hasto kepada reporter Tirto.

Kuasa hukum Petrus Paila Lolu kecewa pada kinerja Polres Sumba Barat yang lamban menangani kasus ini. Menurutnya, kepolisian seolah-olah menyepelekan laporan keluarga korban.

“Korban minta pertanggungjawaban pelaku, setidaknya dari segi hukum. Sebab korban dan keluarganya diancam, jadi serba khawatir. Yang mengancam ini bukan orang biasa; dia punya jabatan, punya kekuasaan di kampung,” jelas Lolu.

Kepolisian Sumba Barat dalam sorotan beberapa bulan terakhir atas penanganan kasus yang merendahkan martabat manusia. Kasus itu adalah penyiksaan dan penembakan terhadap Agustinus Anamesa, pria 25 tahun, yang dilakukan personel polisi Polres Sumba Barat.

Kasus lain penembakan terhadap Poro Duka, warga Desa Patiala Bawa, Sumba Barat, yang dilakukan juga oleh polisi saat Poro membela tanah adat.

“Padahal mereka bilang sudah berubah dengan pergantian Wakapolda, Wakapolres. Tapi tingkah laku tidak ada perubahan,” ujar Lolu, yang menangani kedua kasus itu.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam