Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Kasus COVID-19 Indonesia Melonjak, Target Ekonomi Q2 Bisa Terhambat

Ekonom CORE Mohammad Faisal menilai sebelum ada lonjakan kasus Corona, target pertumbuhan ekonomi Q2 sudah terlalu tinggi.

Kasus COVID-19 Indonesia Melonjak, Target Ekonomi Q2 Bisa Terhambat
Pedagang menata karung-karung berisi beras yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (10/6/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai dampak lonjakan kasus COVID-19 pada Juni 2021 ini terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II (Q2) 2021. Ekonomi ditargetkan bisa tumbuh 7,1 persen hingga 8,3 persen pada periode April-Juni 2021.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, sebelum ada lonjakan kasus Corona target pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan pemerintah sudah terlalu tinggi. Jika di kuartal II 2020 ekonomi Indonesia terkontraksi 5,3 persen, maka angka proyeksi paling aman saat ini adalah kembali ke pertumbuhan 4 sampai 5 persen.

“Pada kuartal II ini belum mencapai kondisi sebelum pandemi. Logikanya kalau dia sama seperti kondisi pandemi berarti pertumbuhan di triwulan kedua ini ada di kisaran 5 persen,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (15/6/2021).

Faisal mengatakan, dengan adanya peningkatan kasus di banyak daerah saat ini ini akan semakin mengancam potensi pertumbuhan ekonomi. Akan berbahaya jika kondisi ini direspons oleh daerah dengan cara lockdown lokal.

“Kan berarti mengurangi aktivitas ekonomi ya untuk bertransaksi untuk barang mau jasa barangnya dibatasi. Nah, ini kan bisa jadi makin rendah dari apa yang kita harapkan, yang sudah pulih sudah meningkat ini sudah bisa tertahan lagi nih peningkatannya,” jelas dia.

Jika lonjakan kasus tidak dapat ditangani, maka pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 hanya akan berada di bawah 4 persen. Hal yang perlu dilakukan saat ini yaitu kembali memfokuskan program pada penanganan pandemi untuk menekan angka lonjakan.

“Kan sekarang sudah penuh ya di rumah sakit-rumah sakit. Jadi ini yang perlu dipastikan suplai dari pelayanan kesehatannya. Termasuk vaksinasi juga terus ya,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Saat ini program yang digalakkan pemerintah yaitu mendorong pemulihan ekonomi sambil membenahi dari sisi kesehatan sulit dilakukan, kata dia. Apalagi lonjakan terjadi usai lebaran dan promosi kerja dari luar kota.

“Jadi yang membuat amunisi pertumbuhan ekonomi itu menurun, ya karena kebijakan pemerintah sendiri. Karena kebijakannya justru memicu terjadinya lonjakan COVID-19 pasca lebaran. Kemudian itu kan akhirnya kepercayaan konsumen yang sudah membaik di bulan Juni bisa mengalami penurunan karena masa lebarannya sudah selesai, kemudian sekarang masih merasakan dampak dari COVID 19,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (15/6/2021).

Selain permasalahan lonjakan kasus yang berpotensi menggerus proyeksi pertumbuhan ekonomi, permasalahan mengenai isu sembako kena PPN juga akan membuat masyarakat menahan belanja di tengah lesunya daya beli.

“Terlepas dari kebijakan itu akan diterapkan tahun depan atau dua tahun ke depan, saat ini masyarakat sudah mulai berhemat. Itu kan artinya daya beli akan turun lagi,” kata dia.

Isu mengenai kebijakan soal naiknya tarif dan pemajakan seharusnya diatur dan dijaga untuk membuat situasi perekonomian tetap kondusif. Pasalnya isu mengenai sembako akan naik bisa saja akan menggangu harga di pasar, mulai dari produsen yang sudah ancang-ancang akan menaikkan harga sebelum kebijakan realisasi, sampai masyarakat yang akan semakin berhemat.

Hal tersebut kontraproduktif dengan target pemerintah indonesia yang ingin mendorong daya beli masyarakat. “Makanya Juni ini adalah bulan yang cukup krusial. Kebijakannya harus disingkronkan lagi,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKSPOR atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz