Menuju konten utama

Kasus Bullying AY: Layakkah Pelaku Dihukum Seperti Kriminal Dewasa?

Pendekatan restoratif pada hukum diversi anak fokus pada upaya pemulihan dan ganti rugi korban.

Kasus Bullying AY: Layakkah Pelaku Dihukum Seperti Kriminal Dewasa?
Ilustrasi Penjara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Jika mata dibayar mata, maka dunia akan buta.”

Kutipan terkenal dari Gandhi tampaknya cocok disematkan pada pihak-pihak yang menolak proses diversi pada peradilan anak.

Pada kasus AY, remaja putri berusia 14 tahun yang dikeroyok remaja putri lainnya, banyak pihak meminta agar pelaku segera dihukum. Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) sempat menyatakan akan mengusahakan kasus ini agar tidak diselesaikan lewat jalur hukum, sebab pelaku dan korban masih berada di bawah umur. Hukuman pidana, menurut mereka, akan menghapus hak masa depan para pelaku.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menyebut diversi sebagai upaya pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Konsep diversi ini berlandas pada hukum restoratif. Anak sebagai pelaku didorong memahami dan bertanggung jawab atas kesalahan dan hasil dari tindakan mereka.

Hukuman restoratif yang mesti dilakoni pelaku dapat berupa keikutsertaan pada lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) atau pelayanan masyarakat paling lama tiga bulan.

Pada korban, UNICEF menyebut fokus utama pendekatan restoratif terletak pada pemulihan dan kompensasi kerugian. Dalam proses mediasi, korban dan pelaku harus didampingi orangtua atau wali, pembimbing kemasyarakatan (PK), dan pekerja sosial profesional. Konsep ini bertujuan mencegah masalah terulang serta aksi balas dendam.

“PK tugasnya cari solusi bagi korban, pelaku dan masyarakat. Mereka harus mampu buat pelaku menyadari kesalahan dan memahami perbuatannya berdampak buruk untuk orang lain,” ungkap Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati.

Pada pasal 7 ayat 2 UU SPPA, disebutkan bahwa diversi dapat diusahakan pada tindak pidana dengan ancaman penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

“Pendekatan yang digunakan harus yang terbaik buat anak, hukuman [pidana] pada anak tidak akan efektif,” katanya.

Pidana atau Restoratif?

Jordan Lee Caffyn sedang menggergaji papan kayu besar menjadi simetris potongan-potongan kecil saat ditemui Anna Bawden, reporter The Guardian di sebuah bengkel kecil di Inggris. Caffyn kemudian merangkai kayu-kayu itu menjadi sebuah kotak kecil, lebih tepatnya, peti mati untuk bayi. Usai pekerjaannya rampung, ia pergi ke rumah sakit St. Peter di Chertsey, menyerahkan peti-peti itu kepada para orangtua yang kehilangan bayinya.

“Ini menyebalkan, tapi juga menyenangkan, ternyata pekerjaanku membantu mereka,” kata Caffyn. Ia tersentuh atas pengalaman yang ia dapat dari hukuman restoratifnya.

Akhir 2013 lalu, Caffyn dan dua temannya tertangkap mencuri motor seorang pria bernama Colin Connolly. Singkat cerita, Connolly menyetujui hukuman restoratif kepada tiga remaja itu. Mereka akhirnya mengadakan pertemuan di rumah Connolly. Istrinya bicara terbuka soal kerugian yang mereka terima dari aksi pencurian tersebut, sementara Caffyn dan kawan-kawannya meminta maaf dan diganjar hukuman berupa kerja sosial.

“Ngeri membayangkan jika mereka didakwa [pidana] dengan pelanggaran setingkat itu [pencurian],” kata Connolly. Ia bersyukur penyelesaian kasusnya bisa ditempuh secara restoratif.

Hukuman restoratif pertama kali diterapkan di sistem peradilan Inggris pada tahun 1980-an. Hasil penerapannya selama hampir 40 tahun menyatakan para korban puas atas proses pendekatan restoratif. Apalagi hukuman tersebut terbukti mengurangi frekuensi pengulangan kejahatan sebesar 18 persen. Sejumlah 70-80 persen kejahatan oleh anak dan remaja di sana ditangani dengan pendekatan ini.

“Sebanyak 97 persen pendekatan restoratif efektif mencegah perundungan,” tulis laporan yang diterbitkan Departemen Pendidikan Inggris.

Infografik Hukum Restoratif Untuk anak anak

undefined

Laman Restorative Justice dari Inggris Raya juga memuat temuan terhadap sekolah-sekolah yang menerapkan pendekatan restoratif dalam mengatasi kenakalan remaja di lingkungannya. Kebijakan itu meminimalkan efek perundungan berupa pengucilan sebanyak 51 persen. Sementara itu, pada sekolah yang tidak menerapkan hukuman ini, efek pengucilan sebanyak 65 persen.

Di sisi berbeda. Hukuman pidana, menurut UNICEF, justru menimbulkan banyak efek buruk bagi pelaku maupun korban. Ketika anak dipenjara, haknya atas masa depan telah terenggut. Tak hanya itu, mereka juga akan terkoneksi dengan kejahatan lebih besar, sehingga membuka peluang melakukan kriminalitas di masa mendatang.

“Lebih dari 85 persen anak-anak itu ditangkap lagi atau mengalami persidangan kembali,” tulis sebuah laporan Department of Corrections di New Jersey, departemen yang bertanggung jawab mengurus fasilitas penjara.

Riset dari Jerry Lee Center of Criminology di University of Pennsylvania juga menyimpulkan hal serupa. Peneliti menganalisis 36 studi pada 1986 sampai 2005 dari Australia, New Zealand, Amerika, Kanada, dan Inggris tentang penerapan hukum restoratif. Penelitian itu menyimpulkan pendekatan restoratif mengurangi peluang terulangnya kejahatan. Ia juga mengurangi gejala stres pasca-trauma korban, sehingga meminimalkan niat balas dendam dari korban.

“Proses restoratif juga lebih disukai oleh korban dan pelaku ketimbang pidana. Pendekatan ini mengurangi biaya penyelesaian kasus,” demikian diungkap laporan tersebut.

Baca juga artikel terkait PERUNDUNGAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hukum
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani