Menuju konten utama

Kasus Bintang Emon, Ketika Komedi Dibungkam Teror

Serangan terhadap Bintang Emon menandakan ada pihak-pihak yang tidak setuju bahkan lewat kritik yang disampaikan lewat cara jenaka. YLBHI mengatakan itu indikasi buruknya demokrasi.

Kasus Bintang Emon, Ketika Komedi Dibungkam Teror
Stand up comedian Bintang Emon. (Instagram/@bintangemon)

tirto.id - “Lho kok ada tukang bakso?”

Celetukan itu keluar dari mulut Gusti Muhammad Abdurrohman Bintang Mahaputra di akhir video yang ia unggah di Instagram. Tukang baso adalah julukan yang kerap diberikan warganet untuk intelijen. Biasanya guyonan semacam itu muncul setiap ada pernyataan yang mengkritik pemerintah.

Komika dengan nama panggung Bintang Emon ini mengkritisi tuntutan satu tahun penjara terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, anggota Polri yang menyiram penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dengan air keras, dengan cara jenaka. Menurut jaksa, tuntutan ringan itu diberikan karena pelaku tidak sengaja berbuat demikian.

Bintang, juga banyak orang, menyimpulkan alasan tersebut mengada-ada.

Pernyataan yang awalnya hanya guyon kemudian jadi 'kenyataan'. Pada 14 Juni pukul 20.15, Bintang mencuit soal serangan digital. “Ahahaha. Sudah mulai ada yang bandel ke email kerjaan, akun kakak, akun manager,” katanya (dengan penyuntingan). Selanjutnya Bintang mencuit kembali: “Tapi masih santai, kalem.” Sampai saat ini Bintang belum memberikan penjelasan resmi ke awak media.

Pada rentang pukul 22.45-22.49, tiga akun Twitter @LintangHanita (2 followers), @Tiara616xxx (9 followers), dan @LiarAngsa (0 followers) mengunggah cuitan tuduhan Bintang menggunakan sabu-sabu. Warganet ramai-ramai membela bintang. Ia sempat jadi trending topic. Sementara tiga akun itu telah nonaktif.

Untuk menampik isu ini, Bintang melakukan langkah taktis: memeriksakan urine ke Rumah Sakit Pondok Indah, Senin (15/6/2020). Hasilnya ia dinyatakan negatif narkoba. Surat keterangan itu ia unggah di Instagram @bintangemon dengan menyertakan keterangan: “Kalau nanti masih ada berita ditangkap karena narkoba, lucu juga sih. Bintangemon negatif narkoba, positif kentang mustofa.”

Serangan terhadapnya tidak berhenti sampai situ. Charlie Wijaya, kader PSI, partai yang kerap bicara soal kebebasan berpendapat, mengaku melaporkan Bintang ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Hal ini ia sampaikan di Instagram.

Akunnya sudah dihapus, tapi tangkapan layarnya diabadikan warganet. Katanya: “Saya telah melaporkan saudara BE kepada Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, @kominfori dengan nomor tiket 58200613.”

Diserang karena Benar

Peneliti dari Drone Emprit Ismail Fahmi menggambarkan, sejak Senin pagi sejumlah akun berpengaruh mulai mengungkap serangan terhadap Bintang. Salah satunya komika Pandji Pragiwaksono, @Pandji, pukul 07.21.

“Sekarang Indonesia tahu Bintang Emon melakukan hal yang benar karena fitnah oleh organisator akun-akun ini mengungkap bahwa mereka ada di posisi yang salah,” cuit Pandji sambil menyertakan tangkapan layar dari @Tiara616xxx dan @LintangHanita.

Puncaknya, pada pukul 12.00 siang, mention “emon” hampir mencapai 20 ribu. Mereka yang mencuit tergolong warganet biasa sampai pesohor seperti Tretan Muslim (@tretanmuslim), Ernest Prakasa (@ernestprakasa), Kalis Mardiasih (@mardiasih), dan Fico Fachriza (@ficofachriza_).

Presiden Standupindo Adjis Doa Ibu mengatakan selama ini banyak komika yang mengalami serangan digital karena pilihan politik atau pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Namun, serangan terhadap Bintang berbeda. “Bintang Emon ini diserang bukan karena blunder, tapi karena benar menurut gue. Ada perkataan Bintang Emon yang benar dan sepertinya membuat agak panas pihak tertentu,” kata Adjis kepada reporter Tirto, Selasa (16/6/2020).

Adjis menegaskan pada dasarnya komedi digunakan untuk menyampaikan kegelisahan, bahkan kritik. Hal serupa misalnya kerap dilakukan grup lawak legendaris Warkop DKI terhadap rezim Orde Baru Soeharto. Karenanya ia menyayangkan serangan terhadap Bintang. Menurutnya, semestinya itu tidak terjadi di negara yang memilih demokrasi. “Demokrasinya jadi semacam tulisan saja karena dalam praktiknya enggak bebas-bebas banget kita berpendapat,” kata Adjis.