Menuju konten utama

Kasus AY & Upaya Berlebihan KPPAD Kalbar Mempolisikan Ziana Fazura

LBH Apik menilai twit akun @zianafazura justru turut membantu kasus kekerasan, apalagi yang melibatkan anak, dapat segera ditangani pihak-pihak terkait.

Kasus AY & Upaya Berlebihan KPPAD Kalbar Mempolisikan Ziana Fazura
Ilustrasi aplikasi Twitter. Getty Images/iStock Unreleased

tirto.id - Keputusan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat melaporkan pemilik akun twitter @zianafazura ke kepolisian menuai kritik. Pemilik akun tersebut dilaporkan lantaran dinilai telah memutarbalikkan pernyataan KPPAD terkait kasus perundungan yang menimpa siswi SMP berinisial AY di Pontianak.

"Akun [Ziana Fazura] itu semakin memperuncing masalah, dan membelokkan statement-statement kami sebagai pelindung anak-anak Kalbar," ujar Ketua KPPAD Kalbar Eka Nurhayati Ishak di kantornya, Pontianak, Selasa (9/4/2019).

Pelaporan tersebut buntut dari cuitan Ziana Fazura yang menyebut KPPAD berupaya mendamaikan korban dengan pelaku.

"KPPAD berharap ini berakhir damai demi masa depan para pelaku. Kenapa korban kekerasan seperti ini harus damai? Pelaku harus diadili dan kalau bersalah kirim ke penjara anak. #JusticeForAudrey," twitnya.

Namun, pelaporan akun twitter @zianafazura dinilai berlebihan oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Ia menyarankan KPPAD fokus menangani hal-hal subtansial dalam kasus AY.

"Tidak perlu lah saling melaporkan, perkara AY saja yang didorong cepat untuk diadili di persidangan," ujar Fickar kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2019).

Jika twit Ziana dianggap bermasalah, menurut Fickar, KPPAD seharusnya tidak reaktif melapor ke kepolisian.

"Di mana keberatannya, kan, bisa mengundang pihak Ziana Fazura untuk diselesaikan secara musyawarah. Apa yang diungkapkan bisa diletakkan sebagai kritik terhadap kinerja KPPAD," ujar Fickar.

Hal senada disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Siti Mazuma. Ia mengatakan KPPAD Kalbar tak semestinya melaporkan Ziana ke polisi.

Menurut Siti, mencuatnya twit dari akun Ziana turut membantu kasus-kasus kekerasan, apalagi yang melibatkan anak sebagai korban dan pelaku, dapat segera ditangani pihak-pihak terkait.

"Penangangan kasus anak dan perempuan itu membutuhkan banyak pihak untuk bergerak bersama," kata Siti.

Peneliti The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah Tardi juga berpendapat viralnya kasus perundungan itu sebagai hal positif. Sebab, kata dia, kasus semacam ini jarang mendapat perhatian yang cukup dari aparat penegak hukum.

Hanya saja, menurut Aminah, laju informasi di media sosial sulit dikontrol. "Kemudian viralnya menjadi 'liar' ketika ada tindakan bully pada pelaku, atau menjadi konsumsi yang berlebihan," ujarnya kepada reporter Tirto.

Begitu pula dengan munculnya konflik antara KPPAD Kalbar dengan Ziana. Aminah menilai itu terjadi karena ada perbedaan perspektif dalam memahami istilah diversi dalam pidana anak.

"Masyarakat kan memahaminya kalau diversi itu berarti upaya mendamaikan, padahal bukan itu," ujarnya.

Menurut Aminah, proses diversi dibenarkan dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Diversi dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

"Diversi itu menghukum, tapi di luar peradilan dan itu dibenarkan oleh UU SPPA," ujarnya.

Atas dasar itu, Aminah menyayangkan sikap KPPAD Kalbar yang melaporkan Ziana, alih-alih mengedukasi konsep damai dalam konteks diversi itu sendiri.

"Menurutku itu malah menjadi kontraproduktif untuk kasus ini. Hal-hal seperti itu semestinya bisa hanya dibicarakan saja," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan