Menuju konten utama

Kasus Anjasmara & Kenapa Orang Cenderung Tak Sopan di Media Sosial

Komunikasi tanpa tatap muka seperti di media sosial menjadi pemicu orang berani berkomentar jahat dan tak sopan.

Kasus Anjasmara & Kenapa Orang Cenderung Tak Sopan di Media Sosial
Anjasmara dan Dian Nitami. Antara Sumut/int

tirto.id -

Anjasmara melaporkan salah satu warganet Corrie Puteri yang telah menghina sang istri, Dian Nitami di akun instagram. Ia dibuat geram karena Corrie dinilai menghina fisik sang istri, Dian Nitami.

Sebelum melaporkan kasus penghinaan fisik ini pada kepolisian, Anjasmara telah lebih dulu mengultimatum Corrie untuk mempublikasikan permintaan maafnya di media sosial dan Kompas. Ultimatum ini tak dilakukan Corrie lantaran dia mengaku tak punya uang. Dia hanya minta maaf lewat direct message pada Anjasmara.

Komentar tak sopan dengan menghina fisik tidak hanya dialami Dian. Beberapa waktu lalu, Ussy Sulistiawaty pun melaporkan seorang warganet bernama Noviandra karena melakukan perundungan pada anak-anaknya. Perundungan ini telah cukup lama diterima Ussy hingga membuat salah satu putrinya menolak makan demi mendapatkan tubuh yang ideal.

Media sosial memang menawarkan kemudahan bagi manusia untuk membagikan pendapat mereka. Untuk memuaskan kebutuhan berinteraksi ini, tak sedikit orang yang memilih membuat akun palsu. Dengan anonimitas, orang merasa aman untuk mengekspresikan diri mereka meski tak sopan.

Mariana Plata menulis bahwa komunikasi tanpa tatap muka menjadi pemicu orang berani berkomentar jahat. Menurutnya, perundungan, meski dilakukan secara daring, berimbas besar pada mental korban. Ini karena dalam komunikasi yang nyata, orang terbiasa mendapatkan perasaan dihormati dan dihargai. Ketika tak mendapatkan kedua hal tersebut, korban merasakan kesedihan dan sakit hati yang mendalam hingga memicu keinginan bunuh diri.

Perempuan dan laki-laki memiliki respon yang berbeda saat melakukan atau menerima tindakan tak sopan. Menurut Plata, laki-laki yang tak sopan sering diasosiasikan sebagai sosok yang agresif. Label “agresif” ini jika disematkan pada perempuan membuat mereka cenderung tak nyaman karena perempuan diajarkan untuk menjadi sosok yang mampu memahami dan membuat nyaman.

Sementara itu, Molly Crockett punya pendapat lain. Psikolog klinis ini mengatakan desain media sosial juga menjadi pemicu prilaku tak sopan manusia modern. Dengan fitur-fitur seperti likes, retweet, dan lain-lain, media sosial mengubah tindakan tak sopan menjadi kebiasaan bagi penggunanya.

Crockett mencatat bahwa konten dengan kata-kata emosional dan moral adalah yang paling banyak dibagikan. Fitur-fitur tersebut dapat digunakan dengan gratis sehingga orang tak perlu berpikir dua kali untuk melakukan tindakan mereka meski itu menyakiti perasaan orang lain.

“Saya rasa penting bagi kita untuk mendiskusikannya sebagai masyarakat apakah moralitas kita perlu mengontrol algoritma yang digunakan untuk menghasilkan uang bagi perusahaan-perusahaan teknologi,” katanya pada CNN.

Jika tindakan tak sopan berubah menjadi kebiasaan, imbasnya seseorang akan menjadi bagian dari pendukung budaya perundungan. Masih dari penelitian yang dilakukan Crockett, dirinya mengungkapkan bahwa saat bertindak tak sopan, bagian pusat otak manusia menjadi aktif dan menghasilkan perasaan senang. Rasa senang inilah yang kemudian memicu orang untuk mengulang tindakannya.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Artika Sari

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Artika Sari
Editor: Yulaika Ramadhani