Menuju konten utama

Kasus Alexander Wang, Pelecehan Seksual Masih Hantui Industri Mode

Pelecehan seksual masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pelaku industri fesyen. Perlu ada dorongan untuk menciptakan ruang aman bagi para model.

Kasus Alexander Wang, Pelecehan Seksual Masih Hantui Industri Mode
Desainer Alexander Wang menerima tepuk tangan setelah koleksinya pada Musim Semi 2013 dimodelkan selama Fashion Week, di New York, Sabtu, 8 September 2012. (AP Photo / Richard Drew)

tirto.id - Alexander Wang merilis bisnisnya pada 2007 dan jadi desainer populer dalam waktu yang singkat. Sejak saat itu, bintang muda industri mode Amerika Serikat ini sudah berkolaborasi dengan sejumlah label mode premium. Pada 2012, Balenciaga menunjuknya sebagai direktur kreatif menggantikan Nicolas Ghesquiere. Penunjukan itu amat prestisius karena jarang ada orang Amerika yang dipercaya memimpin lini busana mewah Paris.

Popularitas Wang belakangan tercoreng skandal. Pada akhir 2020, akun instagram @ShitModelMgmt dan @diet_prada bikin ramai dunia mode. Dua akun watchdog industri fesyen itu mengunggah sejumlah pesan anonim mengenai laporan pelecehan seksual yang dilakukan Wang. Para pelapor menuliskan cerita bagaimana mereka disentuh, diraba, hingga diperkosa oleh Wang.

Kedua akun juga membagikan video Tiktok milik Owen Mooney yang bercerita tentang pelecehan yang dilakukan Wang kepadanya di sebuah kelab di New York pada Januari 2017. Mooney, model sekaligus desainer, mengklaim Wang sudah menyentuh organ intimnya tanpa izin.

“Itu membuat saya membeku karena benar-benar terkejut. Ketika melihat ke kiri, saya mendapati sang perancang busana terkenal itu. Saya benar-benar tidak percaya dia melakukan itu kepada saya,” kata Mooney dalam videonya.

Akun @ShitModelMgmt menyebut Wang sebagai “predator seksual” dan terlibat dalam sejumlah kasus pelecehan seksual selama bertahun-tahun. Pada awal 2017, Wang dituduh melakukan tindakan tidak senonoh. Namanya lantas jadi bahan gunjingan di media sosial dan komunitas transgender. Dalam laporan Steff Yotka untuk Vogue, kebanyakan korban Wang adalah model transgender.

Dalam sebuah video yang dirilis Vanity Fair (2016), musisi Florence Welch menceritakan tentang “trik pesta” Alexander Wang. Dia berpura-pura menawarkan segelas air yang sebenarnya berisi vodka kepada tamunya. Seseorang bernama Nick Ward, melalui akun Twitternya, mengklaim pernah mengalami perlakuan serupa Mooney. Wang juga diduga sebagai sosok pada cerita Azealia Banks di tahun 2019 tentang seorang desainer ternama yang meraba seorang wanita transgender tanpa izin.

Wang akhirnya merespons tuduhan-tuduhan itu karena kasusnya semakin besar. Melalui akun Instagram-nya Wang menjelaskan bahwa tuduhan itu sangat tidak berdasarkan bukti yang valid. Wang juga menegaskan bahwa timnya akan melakukan investigasi yang jujur dan transparan untuk mengungkap tuduhan tak berdasar itu.

Pelecehan Seksual di Dunia Mode

Sebelum kasus Wang mencuat, isu pelecehan seksual sudah menjadi perhatian para pelaku dan aktivis industri mode. Kasus dua fotografer fesyen papan atas Bruce Weber dan Mario Testino, misalnya, mendapat perhatian besar dari khalayak luas pada 2017 silam.

Menurut laporan The New York Times, ada 15 model pria yang mengaku dipaksa oleh Bruce Weber untuk melakukan ketelanjangan yang tidak perlu dan perilaku seksual koersif. Jason Boyce adalah model pertama yang mengajukan gugatan atas pelecehan Weber terhadapnya ke Mahkamah Agung Manhattan pada Desember 2017. Boyce melaporkan mengalami pelecehan seksual saat casting di studio Weber pada 2014 silam.

Sejak itu, model-model lain, seperti Mark Ricketson, Josh Ardolf, dan Bobby Roache, yang mengalami pelecehan serupa juga buka suara. Ardolf mengatakan, Weber menyentuh alat kelaminnya tanpa izin dalam suatu sesi pemotretan tanpa busana. berlangsung. Sementara itu, Roache mengaku bahwa Weber mencoba memasukkan tangannya ke dalam celananya saat dia tengah mengikuti casting pada 2007.

Pada Desember 2018, lima model lain juga mengajukan gugatan atas pelecehan seksual yang dilakukan Weber. Namun, Weber menyangkal semua tuduhan itu.

“Saya sangat terkejut dan sedih dengan klaim keterlaluan yang ditujukan kepada saya, yang mana saya nyatakan tidak benar,” kata Weber sebagaimana dikutip The New York Times.

Kasus yang menimpa Mario Testino tidak lebih baik. The Guardian memberitakan, juru potret pertunangan Duke dan Duchess of Cambridge itu dituntut oleh 13 asisten laki-laki dan model atas tuduhan melakukan perbuatan tidak senonoh, termasuk meraba-raba dan melakukan masturbasi.

Menurut pengakuan Ryan Locke—model yang bekerja dengan Testino dalam satu proyek untuk Gucci, Testino sangat agresif dan menggodanya saat pemotretan berlangsung. Hugo Tillman, salah seorang asisten Testino, mengklaim bahwa Testino pernah berusaha mencium dan menghimpitnya di atas tempat tidur. Roman Barrett, asisten lainnya, mengaku pernah menyaksikan Testino masturbasi di hadapannya.

“Pelecehan seksual adalah realitas yang konstan,” kata Barrett kepada The Guardian.

Selain Weber dan Testino, beberapa fotografer lain juga pernah terjerat kasus pelecehan seksual. Terry Richardson diduga melakukan perilaku tidak senonoh di lokasi syuting. Tuduhan terhadap Richardson sudah berlangsung selama bertahun-tahun sebelum dia akhirnya diinvestigasi.

Ada pula Marcus Hyde yang meminta model Sunnaya Nash untuk mengirimkan foto vulgarnya terlebih dahulu, sebelum dia memutuskan apakah Nash “pantas” untuk dipotret atau tidak. Pengakuan Nash atas perilaku Hyde itu lantas memicu model lain ikut buka suara di media sosial.

Nama Patrick Demarchelier muncul dalam laporan Boston Globe pada Februari 2018. Laporan itu menyebut, setidaknya ada tujuh wanita melaporkan pelecehan yang dilakukan Demarchelier saat pemotretan. Fotografer dari Victoria Secret Timur Emek juga terseret kasus serupa. Seorang model buka suara perihal insiden ketike Emek menurunkan pakaiannya dan memaksa model itu menyentuh selangkangan Emek.

Infografik Kasus Alexander Wang

Infografik Kasus Alexander Wang. tirto.id/Quita

Upaya Tak Putus

Kasus-kasus pelecehan seksual seperti tak ada habisnya mengotori dunia fesyen. Meski begitu, banyak pihak tetap kukuh melakukan berbagai usaha untuk mencegah dan mengakhirinya. Salah satunya adalah Conde Nast. Perusahaan yang menaungi majalah-majalah mode, seperti Vogue, Vanity Fair, dan GQ, ini secara tegas memutus kerja sama dengan para fotografer yang dituduh terlibat pelecehan seksual.

“Saya sangat percaya pada nilai dari penyesalan dan permintaan maaf, tapi saya menanggapi tuduhan pelecehan seksual dengan sangat serius. Kami dari Conde Nast telah memutuskan untuk menunda hubungan kerja kami dengan fotografer yang terlibat dalam kasus pelecehan seksual di masa mendatang,” kata Pemimpin Redaksi Vogue sekaligus Direktur Artistik Conde Nast Anna Wintour.

Conde Nast juga berupaya mendukung para penyintas dengan menciptakan perlindungan dan sistem untuk mencegah berulangnya kasus pelecehan. Pada awal 2018, Conde Nast merilis serangkaian pedoman untuk sesi pemotretan yang berisikan larangan “rayuan atau proposisi seksual” dan “segala jenis aktivitas atau kontak seksual”.

Model Alliance, organisasi yang mengadvokasi perlakuan tidak adil terhadap pelaku fesyen, juga merilis The Respect Programme pada Mei 2018. Itu adalah perjanjian yang mengikat secara hukum untuk melindungi para model dan mengakhiri pelecehan seksual dalam industri. Melalui Instagram-nya, Model Alliance menyatakan dukungan dan solidaritas untuk para korban Alexander Wang.

“Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam industri fashion membuat semua model rentan terhadap pelecehan, terlepas dari jenis kelamin atau identitas gender mereka,” terang Model Alliance dalam sebuah pernyataan yang dikutip The Guardian.

Lisa Bloom, pengacara yang menawarkan bantuan kepada para penyintas kasus Wang, juga menekankan hal yang sama. Selama ini, industri fesyen sangat lambat dalam menangani kasus pelecehan yang sering dialami para model.

“Model bukanlah alat peraga. Mereka memiliki hak yang sama untuk dihormati di tempat kerja sebagaimana orang lainnya,” tutur Lisa Bloom kepada Vogue.

Usai kasus Wang mencuat, Mooney kembali mempopulerkan kampanye tagar #UsToo di media sosial sebagai bentuk solidaritas kepada para penyintas. Tagar ini disebut sebagai perpanjangan dari tagar #MeToo yang viral pada 2017. Jika MeToo fokus pada peyintas wanita, UsToo adalah bentuk solidaritas bagi penyintas laki-laki, transgender, dan queer. Melalui tagar ini, para penyintas menuntut industri untuk tidak tinggal diam dan melakukan sesuatu atas berbagai kasus pelecehan yang terjadi.

Sebelumnya, gerakan #MeToo berhasil mendorong banyak wanita untuk berani melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya, khususnya di tempat kerja. Frasa MeToo sebenarnya sudah digunakan oleh aktivis kemanusiaan Amerika Tarana Burke sejak 2006.

Tagar MeToo dianggap berhasil meningkatkan kesadaran dan mengekspos ratusan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh nama-nama besar. Tagar ini bahkan dianggap sebagai revolusi karena mendorong perubahan signifikan pada etika kerja industri fesyen.

“Kami mendengar bahwa muncul kesadaran dan perhatian yang lebih besar terhadap standar lingkungan kerja industri ini. Para model juga merasa lebih diberdayakan untuk melaporkan perilaku atau sesautu yang mungkin sebelumnya diabaikan,” kata Wakil Presiden Senior IMG Models Jeni Rose kepada The Guardian.

Gerakan ini adalah kesempatan untuk memperluas perlindungan dan mendorong profesionalisasi industri secara keseluruhan. Meski begitu, industri fesyen masih memiliki banyak pekerjaan rumah dan upaya eradikasi pelecehan seksual masih harus menempuh jalan panjang.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Hasya Nindita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Hasya Nindita
Editor: Fadrik Aziz Firdausi