Menuju konten utama

Kasta Sarung dari Premium Hingga Kluyur

Seperti halnya jenis busana bermerek yang melekat juga status sosial di dalamnya, sarung berbeda-beda tergantung juga dengan merek, harga, dan kualitas. Namun, sarung tetap serba fungsional tak peduli harga maupun merek.

Kasta Sarung dari Premium Hingga Kluyur
Sejumlah warga bermain bola dengan menggunakan sarung ANTARA FOTO/Rahmad.

tirto.id - “Ketika saya kecil. Saya senang saat ibu saya memberi sarung merek BHS. Itu sarung impian saya,” ujar Sahrul, pemuda dari Gresik dalam esai Ade Tanesia The Life of Sarung in Indonesia.

“Paling mahal,” tambah Sahrul.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, sarung jadi busana yang serba guna. Tidak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, sarung juga bisa digunakan untuk santai, pengganti jaket, selimut, alas tidur di pos ronda, atau bahkan untuk hal yang paling konyol seperti menutup wajah. Ini karena bentuknya yang fleksibel karena bisa dibentuk segala rupa.

Akan tetapi, seperti halnya jenis busana bermerek yang melekat juga status sosial di dalamnya, penggunaan sarung akan berbeda tergantung dengan merek-mereknya. Beberapa mereka memang masuk kategori kelas premium karena harga, bahan, dan kualitasnya.

“Sarung masih jadi simbol status di tempat saya (Gresik). Sama seperti merek Levis (jeans),” ujar Sahrul.

Misalnya sarung merek BHS sebagai sarung premium. Diproduksi oleh PT Behaestex di Kota Gresik. Disebut premium karena harganya berkisar antara Rp500 ribu sampai Rp1 jutaan. Sama dengan merek sarung Lamiri, hanya saja merek ini kurang dikenal.

Harga sarung BHS dan Lamiri termasuk yang paling mahal di antara sarung-sarung yang lain. “Sarung-sarung ini khusus untuk Jumatan, walimahan, mengisi pengajian, dan acara-acara penting lainnya,” kata Hasan Suaidi, ustaz dan dosen IAIN Pekalongan dari Gresik yang mengoleksi sarung level premium.

“Kalau buat tidur, biasanya pakai sarung yang biasa,” tambahnya.

Merek sarung bisa menjadi penanda status sosial bagi pemakainya. Jika di level atas ada BHS dan Lamiri dengan kisaran harga sampai jutaan rupiah, maka di bawahnya ada merek Ketjubung. Harganya berkisar di level paling mahal setengah jutaan rupiah. Sama-sama diproduksi di Gresik, keduanya masih satu rumpun dengan BHS sebagai sarung premium.

Infografik Pilih Sarung Mahal Atau Murah

Selain merek, sarung juga punya nilai berbeda tergantung dari jumlah volume benang yang digunakan. Bisa bervariasi antara 6.000 benang atau 9.000 benang. Paling tidak, menurut Amin Salim Baysmeleh, pendiri PT Duta Ananda Utama Textil (Dutatex), volume benang akan mempengaruhi keawetan, kekuatan, dan kehalusan sebuah sarung. Artinya, semakin banyak volume benang dalam sarung, harganya akan semakin mahal.

Selain itu, level sarung juga bisa ditentukan dari cara pembuatannya. Dengan mesin atau masih manual. Jika menggunakan tangan, akan ada logo stiker ATBM pada kemasannya. Logo yang berarti “alat tenun bukan mesin”. Pada sarung beberapa merek dengan harga lebih rendah dari BHS, kadang-kadang beberapa merek mengeluarkan sarung dengan pembuatan manual untuk mendongkrak harga penjualan..

Selain kelas premium ada sarung kelas menengah, yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari-hari biasanya harganya berkisar puluhan ribu rupiah seperti Wadimor, Gajah Duduk, atau Cap Mangga dan lainnya.

Sedangkan untuk golongan paling bawah, ada istilahnya sendiri, yakni “sarung kluyur”. Dinamakan “kluyur” karena kain yang digunakan begitu licin sehingga mudah sekali melorot ketika dipakai. Beberapa merek sarung tersebut biasanya digunakan golongan kelas menengah ke bawah untuk kegiatan sehari-hari.

Level status sosial dalam penggunaan merek sarung akan semakin terlihat di dunia pesantren. Dalam lingkungan pesantren, biasanya sarung premium dimiliki oleh kiai sebagai pengasuh, barisan gus atau anak kiai, atau ustaz-ustaz senior.

Beda harga dan kelas, beda juga perawatannya, proses mencuci sarung premium tidak bisa sembarangan. Perlu trik-trik sendiri. Sarung-sarung premium tidak akan pernah dikucek atau dimasukkan ke mesin cuci. Sarung hanya akan direndam dalam air tanpa detergen dan tanpa diperas. Agar tidak terlalu basah ketika diangkat, sarung biasanya akan dikibas-kibaskan sebelum dijemur.

Proses menjemur sarung premium juga tidak sembarangan. Selain dihindari untuk kena sinar matahari secara langsung, sarung premium tidak akan dijemur seperti menjemur selimut atau karpet, itu akan membuat sarung kusut dan membutuhkan setrika ketika kering. Padahal pantangan sarung kelas premium berikutnya adalah setrika, karena dikhawatirkan bisa merusak benang dalam sarung.

Trik yang digunakan kemudian adalah dengan menggunakan dua buah bambu guna menjaga benang sarung tetap dalam keadaan kencang ketika dijemur. Satu bambu dimasukkan ke dalam sarung dalam posisi horizontal. Bambu diikat pada tali atau kawat, lalu bambu kedua dimasukkan ke dalam sarung sebagai pemberat di bagian bawah.

Sarung memang memiliki merek, kualitas, dan harga yang beragam, bahkan menentukan status sosial seseorang, tapi yang menyatukan perbedaan dari sarung-sarung itu adalah manfaat sarung yang serbaguna tak peduli harga dan kualitasnya. Anda setuju?

Baca juga artikel terkait SARUNG atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi