Menuju konten utama
Gempa Turki

Karut-marut Respons Gempa Turki & Sentralisasi Kekuasaan Erdogan

Kekacauan pada awal penanganan gempa Turki, yang menelan banyak sekali korban, mustahil dipisahkan dari sentralisasi kekuasaan Erdogan.

Karut-marut Respons Gempa Turki & Sentralisasi Kekuasaan Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi pusat kota yang hancur akibat gempa Senin di Kahramanmaras, Turki selatan, Rabu, 8 Februari 2023. FOTO/AP

tirto.id - Pada dini hari 6 Februari 2023, gempa bermagnitudo 7,8 mengguncang Provinsi Kahramanmaraş, kawasan Turki selatan, dan Suriah utara termasuk Aleppo yang menaungi jutaan pengungsi korban perang sipil. Sedikitnya 44 ribu nyawa melayang dan 38 ribu di antaranya di Turki.

Dalam riwayat kegempaan di daratan Anatolia selama nyaris satu abad terakhir, skala kehancuran di Kahramanmaraş tergolong ekstrem. Bencana ini sebanding dengan gempa Erzincan di timur Turki yang menelan 33 ribu jiwa pada 1939.

Bencana ini mengundang reaksi masif dari seluruh dunia. Bantuan berdatangan, mulai dari yang terdekat seperti Otoritas Palestina sampai pemerintah Indonesia lewat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang mengirimkan tenaga medis dan bahan logistik.

Sementara penyaluran bantuan di Turki sendiri, termasuk pencarian dan penyelamatan korban serta koordinasi antara institusi pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat, dilakukan oleh Otoritas Penanggulangan Bencana dan Kedaruratan, disingkat AFAD.

Lembaga yang didirikan pada 2009 ini punya cabang di 81 provinsi dan dipuji karena terbukti sigap dalam berbagai misi penanggulangan bencana. Misalnya, dalam penanganan gempa di Provinsi Van pada 2011 yang menelan 604 korban jiwa, AFAD dan pemerintah setempat berhasil membangun 15 ribuan hunian sementara bagi korban. AFAD juga ikut andil setelah gempa yang menelan 107 korban jiwa di Provinsi İzmir pada 2020.

Sepanjang 2022, AFAD yang punya 7 ribuan personel dan 600 ribu relawan ini sudah terlibat dalam penanganan 5.300 bencana, termasuk kecelakaan di tambang batu bara dekat Laut Hitam dan kebakaran hutan di Provinsi Mugla. Masih pada tahun lalu, AFAD telah menyediakan bantuan 11,4 juta dolar AS (Rp170 miliar) untuk kawasan terdampak bencana di 12 negara. Mereka juga entitas yang aktif dalam misi kemanusiaan di negara tetangga, Suriah.

Sayangnya, meskipun punya rekam jejak mengesankan dalam menjalankan tugas-tugas berat, sumber daya untuk menyokong aktivitas AFAD malah dikurangi. Tahun 2023, anggaran mereka disunat sampai sepertiga dari tahun sebelumnya: dari 12 miliar lira (Rp9,5 triliun) menjadi 8 miliar lira (Rp6,5 triliun). Target jumlah relawan yang AFAD latih dari tahun ke tahun pun cenderung turun.

Seiring itu, kesigapan AFAD dipertanyakan di tragedi Kahramanmaraş. Sejumlah warga menyayangkan betapa lebih banyak orang yang bisa diselamatkan apabila respons datang lebih cepat dan terorganisir.

Keluhan tersebut diamati oleh media-media internasional. Menurut reporter Reuters, misalnya, dalam kurun waktu 48 jam pascakejadian, sangat sedikit tim penyelamat yang mendatangi kota-kota episentrum gempa seperti Kahramanmaraş dan Antakya. Korban yang selamat pun mengaku kesulitan menghubungi AFAD sehingga meminta bantuan tim lokal untuk mencari saudara mereka yang tertimbun di bawah reruntuhan bangunan, namun ternyata hanya bisa dipenuhi apabila sudah ada koordinasi dengan AFAD pusat.

AFAD awalnya berada di bawah naungan Perdana Menteri. Namun sejak sistem pemerintahan beralih ke presidensial pada 2018, lembaga tersebut jadi dinaungi oleh Kementerian Dalam Negeri yang langsung melapor ke Presiden. Cara kerja AFAD yang bersifat top-down itulah yang disinyalir memperumit alur evakuasi dalam situasi krisis.

Media Jerman Deutsche Welle juga mewartakan kemarahan warga. Kali ini kepada pemerintah karena dianggap membiarkan para pengembang membangun gedung-gedung tinggi tanpa pengawasan keamanan yang ketat sehingga bangunan luluh lantak meskipun tergolong baru satu tahun. Jadi pertanyaan pula kenapa pemerintah tidak aktif berkonsultasi dengan pakar geologi, yang pada waktu sama merasa kecewa karena peringatan mereka tentang potensi gempa di daerah-daerah lempeng tektonik diabaikan.

Dari sekitar 170 ribu gedung yang ditinjau pemerintah Turki, sedikitnya satu juta unit hunian rusak. Nilai kerugian material diprediksi menembus 84 miliar dolar AS atau nyari Rp1.300 triliun—mayoritas untuk memperbaiki infrastruktur dan bangunan tempat tinggal.

Media Amerika Serikat New York Times turut melaporkan frustrasi warga. Warga mengaku tidak merasakan kehadiran negara pada momen-momen kritis pascagempa; ketika mereka harus mencari tempat berlindung sendiri dan menggali reruntuhan juga dengan tangan sendiri untuk menyelamatkan keluarga yang terjebak. Ketika akhirnya lembaga-lembaga pemerintah turun, kata warga, peralatan mereka tidak mencukupi. Mereka juga dianggap tidak bisa berkoordinasi dengan relawan yang sudah lebih dulu di lapangan.

Kekecewaan terhadap pemerintah salah satunya disampaikan oleh seorang pria paruh baya bernama Mikail Gul yang kehilangan lima anggota keluarga. “Saya selalu memberikan suara untuk pemerintahan ini selama dua dekade... dan saya tidak akan memaafkan mereka.”

Sentralisasi Erdoğan

Karut-marut pada awal penanganan bencana tidak bisa dipisahkan dari sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden Recep Tayyip Erdoğan serta partai penyokongnya, Justice and Development Party (AKP). AKP, yang didirikan Erdoğan pada 2001, langsung menang pemilu setahun berikutnya dan konsisten jadi juara sampai hari ini. Sementara Erdoğan sendiri menjabat sebagai Perdana Menteri pada 2003 sampai 2014 dan kemudian Presiden.

Infografik Penanganan Gempa Turki

Infografik Penanganan Gempa Turki. tirto.id/Tino

Gonul Tol, peneliti asal Turki di Middle East Institution sekaligus penulis buku Erdogan's War: A Strongman's Struggle at Home and in Syria, mengatakan di Foreign Policy bahwa kekuasaan terpusat pada Erdoğan selama dua dekade membuat administrasinya bertindak semena-mena: menggerus independensi institusi negara (seperti Bank Sentral Turki), menunjuk loyalisnya untuk jabatan penting meskipun tidak berpengalaman (termasuk menantu sendiri), dan merepresi organisasi sipil yang dianggap berseberangan AKP.

Akumulasi dari tindak tanduk administrasi Erdoğan itulah, menurut Tol, yang membuka gerbang kekacauan penanganan gempa Kahramanmaraş—termasuk mencerminkan cara kerja AFAD yang tidak efektif.

Tol sendiri kehilangan keluarga di gempa tersebut. Anggota keluarganya meninggal di bawah puing-puing bangunan karena keterlambatan bantuan. Ketika akhirnya AFAD datang 48 jam kemudian, mereka tidak bisa membantu karena mendapat arahan untuk evakuasi di tempat lain.

Tol menyayangkan bagaimana AFAD sudah dianaktirikan karena menerima anggaran lebih sedikit daripada Otoritas Urusan Agama, yang selama era Erdogan dipandang beralih fungsi jadi alat legitimasi agama untuk kebijakan-kebijakan pemerintah. Tol menyayangkan pula tokoh penanggung jawab AFAD adalah lulusan ilmu teologi tanpa pengalaman manajemen bencana.

Militer juga tidak lepas dari sasaran kritik karena dianggap tidak cepat tanggap. Sebabnya, tentara Turki memerlukan otorisasi dari pihak sipil sebelum diperbolehkan beroperasi di lapangan. Praktik di sana berbeda dengan Indonesia. Di sini, lewat UU Nomor 34 tahun 2004, tugas militer termasuk membantu penanggulangan bencana alam.

Prosedur tersebut adalah efek dari upaya Erdoğan untuk menggerus kekuatan militer, terutama setelah percobaan kudeta pada 2016. Namun, jauh sebelum itu, pada 2010, administrasinya bahkan sudah menghapus protokol yang mengizinkan militer ikut andil meredam kekacauan di daerah tanpa izin dari pemda.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait GEMPA TURKI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino