Menuju konten utama
10 Februari 1940

Kartun Tom and Jerry di Antara Kesuksesan dan Kontroversi

Serial "Tom and Jerry" melahirkan beragam kontroversi, mulai dari kekerasan hingga isu rasial.

Kartun Tom and Jerry di Antara Kesuksesan dan Kontroversi
Ilustrasi Mozaik Kontroversi Tom and Jerry. tirto.id/Tino

tirto.id - Keberhasilan Mickey Mouse dan Porky Pig membuat seluruh anggota divisi animasi studio Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) bekerja lebih keras menciptakan kartun baru yang mampu menyaingi keduanya. Para animator merancang karakter dan alur cerita yang menarik dan berbeda. Tapi, semuanya berakhir dengan kegagalan.

Pada 1937, dua animator MGM yakni William Hanna dan Joe Barbera bekerja sama merumuskan ide baru, dan lahirlah konsep sederhana: sebuah kartun dengan dua karakter berbeda yang kerap terlibat konflik dan kejar-kejaran. Dalam proses bertukar pikiran, ditetapkan bahwa dua karakter tersebut adalah kucing bernama Jasper dan tikus bernama Jinx.

Keduanya dirancang untuk terus bertengkar dalam alur cerita yang penuh slapstick atau komedi fisik, aksi-aksi pemicu adrenalin, dan kerap diwarnai kekerasan. Selain itu, keduanya juga tak mengucapkan sepatah kata pun. Suara yang hadir hanya berasal dari latar musik dan benda-benda, seperti bunyi piring jatuh, bunyi pukulan, dll.

Pada 10 Februari 1940, tepat hari ini 82 tahun lalu, karya Hanna dan Barbera ini tayang dengan judul “Puss Gets the Boot”. Semuanya sesuai dengan rancangan awal. Jasper mengejar Jinx hingga memecahkan barang seisi rumah. Keduanya juga terlibat baku hantam. Semua berakhir ketika Jasper dikalahkan Jinx dan ekornya ditarik oleh majikannya--perempuan berkulit hitam yang ditampilkan setengah badan--sembari mengomel karena perabotan rumahnya berantakan.

Meski sederhana, tayangan ini mendapat respons positif dari publik. Tak lama kemudian, “Puss Gets the Boot” masuk nominasi Oscar untuk film animasi pendek terbaik pada tahun 1941. Dari sini, nama Hanna dan Barbera mulai melambung.

Selama bertahun-tahun tayangan tersebut terus bertransformasi. Banyak perubahan dari segi karakter: Jasper berubah nama jadi Tom dan Jinx menjadi Jerry—yang kemudian dijadikan nama serial Tom and Jerry. Selain itu muncul karakter baru, yakni anjing bulldog bernama Spike, dan berbagai karakter kucing lain dengan beragam warna.

Meski demikian, alur cerita hampir tak berubah. Seluruh episode alurnya itu-itu saja. Tom kesal dengan tingkah laku Jerry dan menyusun rencana untuk menghabisinya. Jerry terkena perangkap Tom, namun berhasil kabur. Dan kita tahu adegan selanjutnya: kejar-kejaran dan pertengkaran. Tom kerap menggunakan berbagai senjata seperti kapak, palu, dan petasan, untuk menghabisi Jerry. Sementara Jerry tetap hidup karena selalu berhasil mempecundangi Tom dengan cara yang tak kalah sadis. Kadang mereka bekerja sama untuk mengalahkan musuh bersama, tapi adegan ini sangat jarang muncul.

Masa keemasan Tom and Jerry terjadi pada tahun 1950-an sampai 1960-an. Saat itu kartun produksi MGM ini berulang kali masuk nominasi Oscar dan menjadi pemenang dalam kategori film animasi pendek terbaik. Beragam penghargaan dan survei sebagai kartun terbaik pun diperoleh dari berbagai lembaga. Meski demikian, seiring popularitasnya yang kian besar, Tom and Jerry melahirkan beragam kontroversi, mulai dari kekerasan hingga isu rasial.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Mohiul Islam, dkk. dari University of Malaya, berjudul “Tom and Jerry Projecting Violence in Slapstic Comedy” (2021), menyebut alur cerita Tom and Jerry lebih menonjolkan kekerasan dibanding bersifat slapstick. Kartun ini mengandung banyak contoh kekerasan yang berdampak pada psikologi penonton, khususnya para remaja. Penggambaran kekerasan juga dapat menjadi pembenaran atas perilaku sosial para penonton.

William Hanna sebagai salah satu pencipta kartun ini sudah sejak lama menampik tuduhan kekerasan dalam Tom and Jerry. Pada tahun 1977, sebagaimana dikutip dari riset Richard B. Haynes berjudul “Children’s Perceptions of 'comic' and 'authentic' cartoon violence” (1977: 63), Hanna menyebut tidak ada yang salah dengan kekerasan pada kartun buatannya karena konteksnya untuk hiburan, bukan mendukung kekerasan. Semakin Tom atau Jerry dijahili dan disiksa, maka penonton akan semakin terhibur.

Infografik Mozaik Kontroversi Tom and Jerry

Infografik Mozaik Kontroversi Tom and Jerry. tirto.id/Tino

Tak hanya itu, kehadiran majikan Tom yang dikenal sebagai Mammy Two Shoes juga menjadi polemik. Mammy ditampilkan sebagai sosok yang galak dan bawel, berbadan besar, berkulit hitam, kerap memakai baju warna-warni, serta memiliki aksen khas orang AS di selatan. Biasanya Mammy muncul di akhir episode ketika hendak menghukum Tom.

Menurut Brian D. Behnken dan Gregory D. Smithers dalam Racism in American Popular Media (2015), karakter Mammy menunjukkan stereotip rasis tentang orang kulit hitam, khususnya wanita Afro-Amerika. Penggambarannya dianggap mencitrakan orang kulit hitam sebagai sosok yang tidak ramah, norak, dan berada di posisi “rendahan” yang hanya berkecimpung di ranah domestik.

“Citra rasial yang ada pada Mammy Two Shoes telah menjadi begitu umum dalam budaya populer Amerika pada tahun 1940-an dan 1950-an, sehingga orang kulit putih sering mengabaikan sifat perasaan dari representasi tersebut,” tulis Brian dan Gregory.

Selain itu, keduanya juga mencatat banyak adegan yang menyudutkan etnik dan kelompok tertentu dalam sejumlah episode Tom and Jerry.

Atas dasar inilah, banyak lembaga penyiaran dan media yang memberikan sensor atau peringatan terhadap tayangan Tom and Jerry. Amazon, misalnya, pernah memberikan peringatan rasisme terhadap Tom and Jerry pada tahun 2014.

Sementara ahli sosiologi dari University of Kent, Frank Furadi, berpandangan bahwa untuk menilai rasis atau tidaknya Tom and Jerry perlu melihat konteks sejarah dan budaya sesuai dengan waktu produksi kartun tersebut. Bila didudukkan sesuai zamannya, tindakan-tindakan yang dipandang oleh masa kini berprasangka rasial, saat itu bisa jadi adalah hal yang lazim.

Baca juga artikel terkait TOM AND JERRY atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi