Menuju konten utama

Kartu Prakerja: Loncatan Digitalisasi Layanan Publik

Kartu Prakerja adalah layanan publik pertama di Indonesia yang sepenuhnya dilangsungkan dalam ekosistem digital.

Kartu Prakerja: Loncatan Digitalisasi Layanan Publik
Ilustrasi Peserta Kartu Prakerja. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Oki Putri Sakti, 33 tahun, biasa berjualan salad buah dari rumahnya. Namun, sejak pandemi COVID-19, kebanyakan pelanggan Oki memusatkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan primer mereka, menyebabkan angka penjualan turun hingga 70 persen.

Dia harus putar otak bagaimana bisnisnya tetap berjalan. Pada April 2020, perempuan asal Semarang ini menemukan informasi tentang Kartu Prakerja dari sebuah grup Facebook dan tertarik mengikutinya. Oki berhasil lulus penyaringan untuk mengikuti gelombang ketiga program ini pada Agustus 2020.

Oki merasa ada banyak keuntungan dari program pelatihan ini. Dua yang paling utama adalah sistem pendaftaran dan penyaluran bantuan daring.

“Dengan sistem daring ini, dengan mudah saya dapat mengelola pendaftaran dan penyaluran insentif di rumah, sambil mengerjakan hal-hal yang lain, termasuk mengurus anak,” kata Oki.

Selain itu, sistem pelatihan yang dilakukan dalam jaringan juga memberikannya pilihan jadwal yang lebih fleksibel. “Saya bisa belajar dan mengerjakan tugas-tugas pelatihan sesuai dengan waktu yang paling pas bagi saya,” katanya.

Kartu Prakerja merupakan program pelatihan semi-bansos yang diluncurkan pemerintah sejak 20 Maret 2020, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas SDM sekaligus memitigasi dampak pemutusan hubungan kerja di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Ini bukan kartu biasa, melainkan kartu digital yang bisa didapat dengan pendaftaran online. Di dalam kartu ini ada saldo yang bisa dipakai untuk membeli pelatihan yang harganya tak mahal, bervariasi dari ratusan ribu hingga maksimal Rp1 juta. Saat ini, sudah ada 1.663 pelatihan dari 150 lembaga Selain itu, ada juga insentif yang nanti akan dikirim melalui e-wallet.

Semua kesulitan dan tantangan yang dimunculkan oleh wabah COVID-19 justru mempercepat geliat digitalisasi layanan publik. Pemerintah jadi tidak punya pilihan lain selain menciptakan sistem yang dapat mengurangi kemungkinan kontak dan penularan COVID-19.

Pemerintah telah menganggarkan Rp20 triliun untuk program ini. Targetnya adalah menjaring hampir 5,6 juta peserta, termasuk pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil, dengan nilai bantuan total sebesar Rp3,55 juta per orang. Dana itu bisa dipakai untuk mengikuti pelatihan vokasi yang tersedia dan insentif pasca-pelatihan maupun survei pasca-pengisian.

Pada awalnya, Kartu Prakerja direncanakan memberi pelatihan off,line maupun online. Namun, menghadapi situasi pandemi begini Kartu Prakerja pun menyediakan pelatihan secara daring lebih dulu. Pendaftaran secara luring baru akan dilaksanakan menyusul keluarnya Permenaker nomor 17 tahun 2020.

Demi Transparansi dan Akuntabilitas

Indonesia diproyeksikan dapat menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di ASEAN. Data dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa pada 2019, sumbangan ekonomi digital Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto sekitar 3,7 persen. Pada tahun 2025, angka tersebut diproyeksikan meningkat ke 9,3 persen.

Digitalisasi juga bisa menjadi langkah lanjutan dari pemerintah untuk menerapkan sistem layanan publik digital demi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas negara.

Infografik Advertorial Kartu Prakerja

Infografik Advertorial Kartu Prakerja. tirto.id/Mojo

Langkah menuju transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar melalui sistem digital ini sangat mungkin diwujudkan pada program-program pemerintah lainnya. Ini mengingat betapa pesatnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia, yang juga memicu bertumbuhnya infrastruktur digital yang menjadi kunci untuk transformasi layanan publik negara ini.

Digitalisasi layanan publik di Indonesia juga disokong oleh tingginya penetrasi internet di negara ini, yang diperkirakan telah menjangkau 107,2 juta orang dengan tingkat penetrasi 40 persen. Pada 2023, penetrasi internet di Indonesia diprediksi mencapai 54 persen.

Menimbang perkembangan ini, terobosan inovasi digital program Kartu Prakerja, yang telah bekerja sama dengan sejumlah penyedia dompet digital di Indonesia seperti Gopay, OVO, LinkAja dan terakhir DANA, patut disambut hangat sebagai batu loncatan penting untuk mendorong digitalisasi layanan publik di negara ini. Patut dicatat pula bahwa kartu Prakerja ini adalah program Government to Person (G2P) pertama yang berkolaborasi dengan fintech.

Dalam artikelnya di katadata.co.id, Metta Dharmasaputra mengatakan bahwa Kartu Prakerja menjadi layanan publik pertama di Indonesia yang sepenuhnya dilakukan dalam ekosistem digital.

Jurnalis ekonomi tersebut mengapresiasi program Kartu Prakerja, di mana seluruh paket bantuan dilakukan secara online. Mulai dari pendaftaran peserta, verifikasi data, proses penyaluran bantuan pelatihan, insentif ke penerima manfaat, hingga pembayaran pelatihan.

“Sistem ini meningkatkan efisiensi program dalam menjangkau lebih banyak penerima. Selain itu, sistem daring dari program Kartu Prakerja juga bisa mengurangi potensi korupsi dan kebocoran dana melalui transparansi sistem yang lebih baik,“ jelasnya.

Secara terpisah, peneliti ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi mengatakan bahwa sistem pelayanan publik digital akan sangat membantu memangkas biaya logistik penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat. Hal ini juga akan memberi kemudahan bagi warga negara yang menjadi penerima bantuan.

“Sekarang, saat orang sudah bisa mengakses rekening bank mereka melalui telepon genggam, maka mereka tidak perlu lagi jauh-jauh bepergian dari rumah ke fasilitas keuangan terdekat,” kata Dandy saat diwawancara melalui telepon pada 7 Oktober 2020.

Menurut Dandy, sistem bantuan sosial digital yang mulai diterapkan lewat Kartu Prakerja bisa menjadi semacam proyek percontohan (pilot project) untuk digitalisasi layanan publik serupa yang akan mereka langsungkan ke depannya.

“Ini kan kebijakan masif, sehingga perlu dievaluasi nantinya, apakah untuk hal-hal teknis masih ada yang perlu diperbaiki, serta bagaimana caranya memperkecil kemungkinan error yang terjadi di lapangan,” kata Dandy.

Kartu Prakerja juga membantu peningkatan inklusi keuangan bagi masyarakat yang sebelumnya belum punya akses ke rekenang bank atau dompet digital (e-wallet). Survei Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja (MPPKP) menunjukan bahwa sebelum mengikuti program Kartu Prakerja, 13 persen responden tidak memiliki rekening bank. Kini, 24 persen dari responden tersebut memiliki rekening bank. Sementara, 13 persen responden sebelumnya tidak memiliki rekening dompet elektronik (e-wallet). Kini, 76 persen responden tersebut memiliki dompet elektronik (e-wallet). Sekarang, 5.257.034 penerima Kartu Prakerja telah memiliki akun e-wallet.

Selain itu, 91 persen peserta akan melampirkan sertifikat pelatihan untuk melamar kerja. Dan sekitar 84 persen peserta menyatakan pelatihan yang mereka dapat bisa meningkatkan keterampilan kerja, baik skilling, reskilling, maupun upskilling. Maka tak heran kalau rating dari peserta untuk pelatihan-pelatihan ini ada 4,9 dari 5 bintang.

Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari menegaskan, program Kartu Prakerja sejak awal memang didesain sebagai sebuah ekosistem kolaboratif, termasuk dengan perusahaan-perusahaan berbasis teknologi agar mampu memeratakan akses dan bantuan ke seluruh Indonesia dengan waktu relatif cepat, aman, mudah, tepat sasaran, dan tepat jumlah.

Kini ada 5,6 juta penerima Kartu Prakerja dari 42 juta orang pendaftar di seluruh kabupaten/kota se-Indonesia dapat mengakses pelatihan yang sama, pada saat yang bersamaan. Sekitar 88 persen penerima ini tidak bekerja, dan 81 persen belum pernah menerima pelatihan.

“Digitalisasi adalah kebutuhan, bagi Indonesia yang kepulauan dan besar penduduknya. Di masa pandemi ini, kita dipaksa untuk go-digital dengan lebih cepat dan lebih luas lagi. Jalan digital yang diadopsi dalam Kartu Prakerja mengurangi ketimpangan akses. Kini anak Aceh dan Papua dapat belajar modul pelatihan yang sama dengan anak Jawa,“ kata Denni.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis