Menuju konten utama

Kartu Pra-Kerja Jokowi: Mudah Diucapkan, Sulit Direalisasikan

Kartu pra-kerja Jokowi mungkin bermaksud baik, tapi persoalan besarnya adalah sumber dana. Juga siapa yang benar-benar berhak menerimanya.

Kartu Pra-Kerja Jokowi: Mudah Diucapkan, Sulit Direalisasikan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan saat penyerahan Kartu Indonesia Pintar (KIP) di GOR David Tonny, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Jumat (1/3/2019). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/ama.

tirto.id - Calon Presiden nomor urut 01, Joko Widodo, berencana mengeluarkan ‘kartu sakti’ untuk mereka yang sedang mencari atau ingin mengganti pekerjaan. Namanya kartu pra-kerja.

Selain pelatihan, bekas Wali Kota Solo yang kini masih jadi presiden tersebut mencanangkan memberi gaji bagi para pemegang kartu.

Wakil Ketua Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Johnny G. Plate, mengatakan pemberian uang itu ditujukan agar mereka dapat fokus mencari kerja dan tak perlu pusing-pusing bagaimana caranya memenuhi kebutuhan pokok pada saat tak ada pemasukan.

Dengan kata lain, kartu ini adalah semacam jaminan sosial hingga seseorang dapat memperoleh penghasilan tetap.

Tapi yang Johnny tahu baru sampai situ. Ia, misalnya, belum paham dari mana sumber dana, jumlah anggaran yang dibutuhkan, hingga klasifikasi penerima kartu. Ia mengatakan hal itu masih harus dihitung oleh pemerintah terpilih dan perlu dibahas dalam rapat anggaran bersama legislatif.

“Ya belum tau. Kami tunggu dulu pemerintah siapkan. Nanti kalau perlu itu bisa masuk APBN. Kalau pemerintah nanti mau masukkan ke APBN, saya mendukung. Kan tanggung jawab negara,” kata politikus dari Partai Nasdem ini saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/3/2019) kemarin.

“Kalau perhitungannya betul, Kemenkeu bisa menyiapkan dan tidak masalah karena itu keputusan politik,” tambahnya.

Berbeda dengan Johnny yang sepintas optimistis, anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, Heri Gunawan, justru sebaliknya. Menurutnya program ini susah direalisasikan karena sulit mencari sumber dananya.

Menurutnya dengan anggaran yang ada sekarang saja pemerintah masih kesulitan membiayai gaji para guru honorer. Ia khawatir bila kartu ini malah akan menambah utang negara.

“Kartu ini permainan kata-kata saja. Enggak bisa dipastikan sumber pendanaannya. Tapi logikanya gaji guru saja belum dibayar, masak mau nambah utang lagi?” kata Heri kepada reporter Tirto.

Perlu Dipikirkan Masak-Masak

Sekretaris jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbakhul Hasan, mengatakan pemberian uang bagi pencari pekerja itu perlu dipikirkan lebih lanjut. Lagi-lagi dengan pertimbangan sumber dana.

Jika diasumsikan satu orang mendapat Rp 1 juta per bulan, maka selama setahun, dengan data pengangguran terbuka sebanyak 7 juta orang, setidaknya pemerintah perlu menyediakan Rp84 Triliun. Sebagai pembanding, anggaran untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saja cuma Rp40 triliun untuk tahun 2018.

Belum lagi pembuatan kartu dan sosialisasinya juga membutuhkan duit yang tak kalah besar. Ia mencontohkan, pada 2016 saja, untuk pembuatan dan sosialisasi Kartu Indonesia Pintar (KIP) memerlukan dana Rp 7,1 triliun.

Intinya, Misbakh menilai rencana ini dapat membebani anggaran pemerintah, meski misalnya maksudnya baik.

“Ini maksudnya bagus, tetapi lebih baik fokus memberikan pelatihan dan akses pekerjaan walaupun ada uang saku dan makan/minum,” kata Misbah.

Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menyoroti soal siapa yang berhak menerima kartu. Menurutnya penerima tak boleh sekadar bersumber data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut jumlah pengangguran sebanyak 7 juta orang. Sebab, dari angkatan kerja sebanyak 124 juta orang, masih ada yang bekerja di bawah 35 jam (setengah menganggur) dan informal (pengangguran terselubung).

Kedua kategori pengangguran yang jumlahnya hampir 29 persen dari total angkatan kerja itu, kata Enny, berpotensi ikut mengklaim berhak menerima kartu, dan dengan begitu akan membuat anggaran membengkak.

“Yang mengkhawatirkan ketika ada pendataan, enggak hanya pengangguran terbuka, tapi pengangguran yang lain seperti di sektor informal bisa saja ikut program itu,” jelas Enny kepada reporter Tirto.

Alih-alih pakai data BPS, Enny menyarankan penerima kartu--jika benar-benar terealisasikan--adalah mereka yang memang ada dalam keadaan darurat. Atau sekalian saja dialihkan untuk memberikan insentif bagi pelaku UMKM investasi sektor padat karya.

Menurutnya, langkah ini lebih baik lantaran membuka peluang kerja seluas-luasnya ketimbang menggelontorkan uang yang belum tentu menghasilkan dampak yang berkelanjutan.

“Kalau transfer langsung hanya berhenti di peningkatan konsumsi, tapi tidak produktif,” ucap Enny.

Baca juga artikel terkait KARTU PRA KERJA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino