Menuju konten utama

Kartu Indonesia Pintar: Tidak Ada Alasan buat Putus Sekolah

Kartu Indonesia Pintar adalah penunjang program wajib belajar. Selama ini, tingginya biaya langsung (iuran, buku, seragam, dan alat tulis) maupun biaya tak langsung (ongkos transportasi, biaya kursus, uang saku) kerap jadi alasan para peserta didik tidak melanjutkan sekolah.

Kartu Indonesia Pintar: Tidak Ada Alasan buat Putus Sekolah
Siswa-siswi SD menunjukan kartu Indonesia pintar. FOTO/Kemendikbud

tirto.id - Berkunjung ke sekolah Vallgrund Daghem di Kepulauan Kvarken, Finlandia, AS Laksana terkagum-kagum menyaksikan sistem dan metode pendidikan yang diterapkan di sana. Seluruh biaya pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, menjadi tanggungan negara. Semua kebutuhan sekolah siswa disediakan pemerintah selama masa wajib belajar, termasuk fasilitas antar-jemput menggunakan taksi seandainya di suatu wilayah tak tersedia bus. Negara bahkan menyiapkan dana khusus agar para siswa bisa makan siang gratis di sekolah.

Berdepan-depan dengan kemewahan itu, AS Laksana, esais dan penulis fiksi yang terpilih sebagai Tokoh Seni Tempo pada 2004 dan 2013, terkenang tanah airnya.

“Berarti memang tidak bisa diterapkan di Indonesia. Menyelenggarakan sistem pendidikan seperti itu memerlukan kesadaran para penyelenggara negara bahwa sekolah yang bagus adalah hak setiap warga negara, sekaya atau semelarat apa pun dia,” tulisnya di Jawa Pos.

Membandingkan sistem pendidikan Indonesia dengan di Finlandia mungkin serupa membandingkan apel dan manggis, namun bukan berarti tak perlu. Finlandia, negara kecil dengan luas wilayah dan jumlah rakyat yang hanya sepersekian Indonesia, mengalokasikan dana yang sangat besar untuk sektor pendidikan: 13,5 miliar USD atau 5,7 % dari Produk Domestik Brutonya, lebih tinggi dari rata-rata negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD (5,1%). Dengan pengelolaan yang tepat, dana itu menjadikan sistem pendidikan Finlandia salah satu yang terbaik di dunia.

Pelan tapi nyata, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla juga mengarahkan kebijakannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya lewat program Kartu Indonesia Pintar (KIP).

KIP, diluncurkan pada 2015, adalah penunjang program wajib belajar. Selama ini, tingginya biaya langsung (iuran, buku, seragam, dan alat tulis) maupun biaya tak langsung (transportasi, biaya kursus, uang saku, dan ongkos lain-lain) kerap jadi alasan para peserta didik tidak melanjutkan sekolah. Dengan KIP, pemerintah berharap dapat meringankan beban tersebut, khususnya bagi siswa-siswa dari kalangan menengah ke bawah.

KIP yang merupakan salah satu program unggulan Presiden Jokowi di bidang pendidikan ini tidak hanya berlaku bagi anak-anak yang menyandang status siswa atau peserta didik, tapi juga bagi anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah, misalnya anak-anak di Panti Asuhan/Sosial, anak jalanan, pekerja anak, dan difabel. Dengan kata lain, KIP juga menyasar anak-anak yang tergolong Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

KIP juga berlaku di Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat serta Lembaga Kursus dan Pelatihan yang ditentukan pemerintah. Dengan demikian, melalui KIP pemerintah berupaya mendorong anak-anak usia sekolah yang tidak lagi terdaftar di satuan pendidikan untuk kembali melanjutkan pendidikannya, paling tidak sampai mereka menyelesaikan pendidikan menengah (baik yang ditempuh lewat jalur formal: SD/MI hingga SMA/SMK/MA; maupun non-formal: Paket A hingga Paket C serta kursus-kursus terstandar).

Infografik Advertorial kartu Indonesia pintar

Berbeda dari program lain, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan untuk memenuhi biaya sekolah siswa, KIP diberikan untuk menunjang kebutuhan pribadi mereka selama bersekolah, antara lain membeli tas, sepatu, seragam, atau biaya transportasi dari rumah ke sekolah.

Tahun ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengalokasikan dana sebesar Rp9,344 triliun untuk Program Indonesia Pintar (PIP)—induk dari program Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Termasuk dalam dana tersebut adalah nominal KIP serta manajemen penyalurannya untuk siswa SD, SMP, SMA, dan SMK. Berdasarkan laporan pelaksanaan PIP terbaru, dana PIP 2018 tercatat ditujukan buat 17.927.308 anak dan telah disalurkan kepada lebih dari 6,4 juta anak.

Adapun rincian besaran dana yang diberikan pemerintah via KIP adalah sebagai berikut: Peserta didik SD/MI/Paket A mendapatkan Rp450.000/tahun; peserta didik SMP/MTs/Paket B mendapat Rp.750.000/tahun; sedang peserta didik SMA/SMK/MA/Paket C mendapat dana sebesar Rp1.000.000/tahun.

Tentu besaran dana yang diterima peserta didik di atas, meski secara individu jumlahnya terbilang relatif, namun jika diakumulasikan secara nasional jumlahnya tidaklah sedikit. Bahwa kemudian hasilnya belum terlihat, lebih-lebih menyamai mutu pendidikan Finlandia, itu soal lain.

Filsuf Cina Confucius pernah berkata, "Tidak penting seberapa lambat Anda berjalan, selama Anda tidak berhenti". Karenanya, seluruh pihak yang terlibat dalam program KIP—baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah—punya kewajiban yang sama untuk memastikan program ini berfungsi sebagaimana mestinya.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis