Menuju konten utama

Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam Indonesia

Ide mendirikan negara berlandaskan Islam sudah ada sejak dulu, sampai akhirnya Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan di Kabupaten Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Pelaku sejarahnya: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam Indonesia
Imam Kartosuwiryo sebelum dieksekusi mati. Foto/Istimewa

tirto.id - “Saat kemenangan telah tiba, operasi untuk membebaskan Mosul telah dimulai”, kata Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi dalam pidato resminya seperti dirilis BBC. “Hari ini saya menyatakan dimulainya operasi heroik untuk membebaskan Anda dari Daesh,” lanjutnya, menyebut nama lain untuk ISIS.

Mosul merupakan kota terbesar kedua di Irak yang direbut ISIS serta dijadikan basis pertahanan mereka. Dari Mosul pula pimpinan ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, mendeklarasikan kekhalifahan di wilayah yang mereka kuasai, baik di Irak maupun di Suriah.

Jika melihat ke masa lampau, sesungguhnya upaya mendirikan negara Islam pernah ada di Indonesia. Bedanya, ISIS punya tujuan kekhalifahan atau internasionalisme. Di Indonesia, lingkupnya "hanya" Indonesia, yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Masa Pembentukan Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, begitu nama lengkap dari Kartosoewirjo alias SMK, adalah pelaku sejarah kontroversial. Tahun kelahirannya pun terdapat dua versi.

Irfan S. Awass dalam Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo, serta tulisan Kholid O. Santoso dalam Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak menyebut bahwa Kartosoewiryo lahir pada tanggal 7 Februari 1905. Sementara Al Chaidar dalam bukunya Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam meyakini SMK lahir pada 7 Januari 1907.

Namun menurut A. Ruhimat dalam Biografi S.M. Kartosoewirjo, SMK lahir di tengah pencerahan di Hindia Belanda. Pada 1919, SMK mengikuti orangtuanya ke Bojonegoro. Saat perpindahan ke Bojonegoro inilah SMK bertemu dengan Notodiharjo, tokoh Muhammadiyah yang kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam pola pikirnya. Ini menjadi satu-satunya ajaran Islam yang diterima oleh SMK, selebihnya ia mengenyam pendidikan Belanda yang sekuler.

Setelah menamatkan sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) pada 1923, SMK pindah ke Surabaya melanjutkan studinya di sekolah kedokteran kolonial di Surabaya, Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Di NIAS inilah SMK terjun ke dalam dunia pergerakan, yakni dengan bergabung dalam Jong Java pada 1923.

Pada 1925, timbul gejolak dalam tubuh Jong Java yang mengakibatkan perpecahan yaitu antara anggota yang mengutamakan cita-cita keislaman dan anggota yang mengutamakan nasionalis sekuler.

Mereka yang mengutamakan cita-cita keislaman kemudian keluar dari Jong Java. dan mendirikan organisasi baru, Jong Islamieten Bond (JIB), termasuk SMK yang kemudian menjadi ketua JIB cabang Surabaya.

Pada posisi itulah Kartosoewirjo berkenalan dengan ketua Partai Sjarikat Islam (PSI) yakni Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan kemudian pada September 1927 SMK ditawari menjadi sekretaris pribadinya.

Menurut Al Chaidar, semasa berguru pada Tjokroaminoto, SMK banyak belajar tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi dengan massa, dan membangun kekuatan umat. Bahkan menurut Ruhimat, pada masa itu pulalah sosok “Islam ideologis” SMK mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya negara Islam dan masyarakat Islam ideal di Indonesia.

Berkat pengaruh Tjokroaminoto, SMK menjadi kader Partai Serikat Islam (PSI) pada 1927, yang pada 1930 menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Karier politik SMK semakin jelas terlihat ketika kongres PSII 1936 saat ia terpilih sebagai Ketua Muda PSII. Karena sikap politiknya yang radikal dan tak kenal kompromi, ia pun diminta menulis brosur tentang hijrah.

Hijrah yang dimaksud oleh kongres saat itu tidak lebih dari istilah mengenai sikap partai terhadap pemerintah kolonial. Namun, seperti ditulis A. Ruhimat, SMK benar-benar menyamakan pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

Hijrah menurut SMK adalah hal positif dan bahwa jihad selalu ada dalam sebuah perjuangan. Ia membaginya dalam dua macam, yakni jihad kecil (asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (akbar) yang ditunjukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri.

Kartosoewirjo dan Teks Proklamasi

Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk BPUPKI, Kartosoewirjo melalui wakil-wakil Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi mengusulkan ide-ide tentang pembentukan negara Indonesia merdeka yang memberlakukan syariat.

Atas ide Kartosoewirjo inilah maka pada Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada bagian pertama memuat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, meskipun akhirnya kalimat tersebut dihilangkan.

Tidak hanya itu, pada 14 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang di bom atom oleh Amerika, SMK meminta agar Kiai Joesoef Taudjiri segera memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Namun menurut Pinarti yang dikutip oleh Van Djik dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Kiai Joesoef menolak permintaan itu.

Al Chaidar malah menulis bahwa teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 merupakan salinan dari teks yang disiapkan oleh SMK untuk Kiai Joesoef Taudjiri pada 14 Agustus 1945.

“[... H]ari-hari menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan (negara) Islam, bahkan pada 13-14 Agustus 1945 Kartosoewirjo telah menyiapkan naskah proklamasi yang diedarkannya kepada para elite pergerakan sehingga naskah Proklamasi yang ditulis oleh Soekarno hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan oleh Kartosoewirjo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI dan PPKI,” tulisnya.

Infografik Kartosuwiryo

Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)

Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, secara resmi Indonesia membebaskan diri dari penjajahan dan menjadi negara yang menentukan nasibnya sendiri. Tapi Belanda tentu tak membiarkan upaya kemerdekaan ini.

Benar saja, Indonesia yang baru beberapa waktu berpesta dengan kemerdekaan harus kembali merasakan rongrongan kolonial melalui Agresi Militer Belanda I dan II. Adanya agresi ini membuat SMK semakin yakin untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Dalam catatan Horikoshi, sebagaimana dikutip Ruhimat, pada awal 1948 sekali lagi SMK meminta Kiai Joesoef Taudjiri memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Namun untuk kedua kalinya, sang kiai menolak. Akhirnya pada Agustus 1949, SMK menganggap perlu menerbitkan Maklumat NII No.7. Maklumat pada 12 Syawal 1368/7 Agustus 1949 itu berisi pernyataan pendirian NII.

Pada 7 Agustus 1949, melalui pertimbangan yang panjang, akhirnya SMK memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kabupaten Tasikmalaya.

Proklamasi Negara Islam Indonesia tersebut disertai dengan sepuluh penjelasan, termasuk penegasan bahwa Negara Islam Indonesia meliputi seluruh wilayah Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia.

SMK juga telah mempersiapkan konsep-konsep bentuk dan sistem pemerintahan serta susunan Dewan Imamah NII. Dalam susunan tersebut, SMK mengangkat dirinya sebagai imam, panglima tertinggi, serta kuasa usaha. Sedangkan untuk wakil imam sekaligus sebagai komandan divisi adalah Karman.

Posisi menteri dalam negeri dan menteri penerangan masing-masing dipegang oleh Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad. Untuk menteri keuangan dipegang oleh Udin Kartasasmita, sedangkan menteri pertahanan dan kehakiman, masing-masing dipegang oleh Raden Oni dan Ghazali Thusi.

Akhir Perjuangan

Negara Islam Indonesia yang dibentuk Kartosoewirjo dengan organisasinya Darul Islam (DI) dan Tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII) dituduh oleh pemerintah Indonesia melakukan gerakan separatisme dan pengrusakan.

Pemberontakan yang dilakukan DI/TII di pulau Jawa dan Sumatera menimbulkan saling curiga antara pemerintah, ulama, dan masyarakat. Pemerintah menganggap para ulama berusaha melindungi DI/TII, begitu pula ada saling tuduh di antara ulama sendiri.

Untuk mengurangi rasa saling curiga itu, akhirnya dibentuklah gagasan Badan Musyawarah Alim Ulama yang kelak menjadi majelis ulama sekaligus menjadi cikal bakal Majelis Ulama Indonesia. Tujuan dari Badan Musyawarah Alim Ulama ini adalah untuk memonitor gerak DI/TII sekaligus membantu pemerintah dalam menumpas DI/TII.

Aksi untuk menumpas DI/TII semakin gencar dilakukan. Melalui konsep Pagar Betis yang diusulkan oleh Danrem Bogor, akhirnya DI/TII pun dapat dikalahkan, dan pada 4 Juni 1962 akhirnya Aang Panglima Tertinggi akhirnya tertangkap.

Pada 16 Agustus 1962, Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) yang mengadili Kartosoewirjo mengatakan bahwa gerakannya selama 13 tahun dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah pemberontakan dan hukuman mati pun dijatuhkan kepada SMK.

Pada 4 September 1962, Kartosoewirjo meminta bertemu dengan keluarganya, dan kemudian dibawa ke regu tembak keesokan harinya. Ia dibawa dengan sebuah kapal pendarat milik Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau sekitar Teluk Jakarta.

Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan. Setelah meninggalnya SMK, juga sepeninggal pemimpin DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi, semangat sebagian pengikut NII bisa jadi patah. Tapi kenyataannya hingga kini tetap ada yang bercita-cita menegakkan negara Islam, bahkan berbaiat kepada ISIS.

Tak seperti nyawa manusia, ideologi tak pernah bisa dibunuh.

Baca juga artikel terkait KARTOSOEWIRJO atau tulisan lainnya dari Sammy Mantolas

tirto.id - Humaniora
Reporter: Sammy Mantolas
Penulis: Sammy Mantolas
Editor: Maulida Sri Handayani