Menuju konten utama

Karena Bimoli, Eka Tjipta jadi Raja Minyak Goreng Indonesia

Bimoli semula diproduksi Bitung Manado Oil Limited milik Eka Tjipta, tapi belakangan dimiliki Liem Sioe Liong.

Karena Bimoli, Eka Tjipta jadi Raja Minyak Goreng Indonesia
Bimoli. FOTO/simp.co,id

tirto.id - Saat usianya sekitar sembilan tahun, Oei Ek Tjong dibawa orangtuanya menyeberangi lautan dari tanah kelahirannya, Quangzhou, yang berada di selatan Fujian, Tiongkok. Keluarga itu awalnya mengadu untung di Makassar.

“Ayahnya membuka toko kelontong dan Eka yang masih remaja membantu bekerja, dengan menjual aneka barang kebutuhan dari pintu ke pintu,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's (2014).

Pada 1938, Ek sudah berusia 15 tahun. Tahun itu Ek memulai bisnisnya, menjual biskuit. “Setelah usahanya berhasil, ia berhubungan dengan importir Belanda. Selain itu, Eka Tjipta mulai berdagang minyak goreng dan menjadi kontraktor untuk kuburan orang kaya,” catat mingguan berita ekonomi Warta Ekonomi (Volume 5 tahun 1993).

Namun, kedatangan Jepang di Makassar menjadi adalah nasib apes bagi Ek. Bisnis yang dibangunnya dirampas militer negara Saudara Tua. Di zaman pendudukan, dia berdagang barang kelontong dan memelihara babi. Setelah Jepang kalah, babi-babi itu dijualnya. Ia kemudian mendirikan sebuah pabrik roti, sirup, limun dan biskuit.

“Tahun 1950 ia mulai berdagang kopra sampai Pulau Selayar. Tahun 1957 dia pindah ke Surabaya,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.

Dia pernah menjadi pemasok kebutuhan TNI di Indonesia Timur pada dekade 1950-an. Namun, antara 1950 hingga 1957, Indonesia menerapkan Program Benteng: pengusaha Melayu banyak diberi kemudahan, tapi tidak bagi keturunan Tionghoa macam Ek. Jadi, Ek harus bekerja lebih keras.

Baca juga: Benteng Yang Gagal Memperkuat Pengusaha Pribumi

Setelah berjibaku di Surabaya, Ek pindah ke Jakarta pada 1966. Menurut buku Sudwikatmono: Sebuah Perjalanan di Antara Sahabat (1997), laki-laki yang memilih kemudian memilih nama Eka Tjipta Widjaja ini mendirikan CV Sinar Mas di Pasar Pagi, Jakarta. Usaha awal CV Sinar Mas pada 1960-an adalah ekspor barang dan impor tekstil.

Eka lalu mengembangkan bisnisnya. Di daerah yang minyak kelapa (kopra) menjadi komoditas penting, dia mulai berbisnis minyak goreng. “Di tahun 1968 dia membangun pengilangan minyak kelapa CV Bitung Manado Oil,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng.

Sekitar satu-dua tahun setelah pabrik minyak kelapa itu didirikan, produk minyak gorengnya pun masuk pasar. Merek minyak itu adalah Bimoli. Merek ini sempat menguasai 60 persen pasaran minyak goreng. Ia bahkan menjadi produk minyak goreng yang mereknya diingat orang. Setidaknya di zaman Orde Baru. Berkat Bimoli, Eka Tjipta pernah dijuluki Raja Minyak Goreng Indonesia dan tentu saja semakin kaya raya.

Di tahun 1983, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, Eka beraliansi dengan Liem Sioe Liong, yang makin berjaya setelah Soeharto jadi Presiden Indonesia. Perusahaan patungan mereka adaah PT Sinar Mas Inti Perkasa. Mereka memperkuat Bimoli bersama.

Sementara Bimoli berjaya, usaha Eka pun bertambah. Setidaknya Eka Tjipta dikenal sebagai pemilik pabrik kertas Tjiwi Kimia, pabrik margarin PT Smart, Bank Internasiona Indonesia (BII), perkebunan, hotel juga peternakan babi yang diekspor ke Singapura.

Menurut catatan Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (2009), Eka sudah memasukkan dua perusahaan kertasnya ke Bursa Efek Jakarta pada 1990. Bisnisnya ada di bidang real estate, perkebunan, hotel, investasi jasa keuangan. Sinar Mas miliknya menguasai perusahaan makanan terbesar di Singapura, Asia Food & Properties.

Namun, kongsi antara Liem dengan Eka hanya bertahan hingga 1990. Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, ketika Eka cabut, Bimoli masih dalam genggaman Liem. Begitu juga Simas Margarine. Keduanya lepas dari Eka yang merintisnya. Setelah Eka melepas Bimoli, muncul saingannya bernama Filma—yang dirilis Sinar Mas Agro milik Eka.

Infografik Bimoli

“Filma menyerang Bimoli dengan jargon iklan 'Lebih sehat', maka Bimoli menyerang balik dengan mengeluarkan Bimoli Spesial,” tulis Syamsul Ma'arif dan Hendri Tajung dalam buku Manajemen Operasi.

Pakar pemasaran Kertajaya mencatat kedua produk itu tak ada bedanya, meski masing-masing mendaku sebagai produk yang lebih baik di iklan di teve.

“Ketika Sinar Mas meluncurkan Filma dengan slogan Gunakan Akal Sehat, banyak yang mempercayai klaim itu. Padahal, itu hanya permainan botol yang memang dibuat lebih jernih, sehingga Filma bisa terlihat lebih jelas. Kalau diuji di laboratorium, Filma dan Bimoli ketika itu nyaris tiada berbeda,” tulisnya dalam Hermawan Kertajaya on Targeting (2007). Sinar Mas tak hanya merilis Filma, tapi juga Kunci Mas.

Meski dianggap dominan di pasaran, Bimoli bukanlah merek minyak goreng kemasan pertama di Indonesia. Di Surabaya, ada minyak goreng dari kelapa dengan mereka Ikan Dorang dan di Jakarta ada minyak goreng dari kelapa, yakni Barco. Keduanya mengklaim sudah ada sejak 1950an.

Kala itu, minyak curah lebih banyak dipakai menggoreng ketimbang minyak yang dikemas dan bermerek. Pada dekade 1950an, menurut Andi Nur Alam Syah dalam Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit (2005), berkembang persaingan sengit antara minyak kelapa dengan minyak-minyak nabati lainnya. Terutama dengan kelapa sawit.

Bimoli sendiri sudah menjadi produsen minyak sawit. Minyak kopra yang jadi primadona pada era pergolakan 1950-an lama kelamaan kalah. Menurut catatan Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007), pada 2003, pabrik minyak Bimoli mengurangi pembelian kopra di Sulawesi Utara sampai 50 persen.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERUSAHAAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani