Menuju konten utama
Hari-hari Terakhir Bung Karno

Karantina Politik Orde Baru Buat Sukarno Tenggelam dalam Depresi

Rezim Orde Baru membekap Sukarno dalam karantina politik. Hidup tersisih dan kesepian membuatnya depresi.

Karantina Politik Orde Baru Buat Sukarno Tenggelam dalam Depresi
Ilustrasi hari-hari terakhir Bung Karno. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pada 7 Maret 1967, MPRS menggelar Sidang Istimewa yang salah satu agendanya adalah memutuskan status Sukarno sebagai presiden. Rangkaian sidang yang berakhir pada 12 Maret 1967 ditutup dengan pengumuman bahwa MPRS secara resmi pencabutan mandat Sukarno sebagai presiden dan kemudian menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden. Lalu, pada Mei 1967, seperti dikutip dari Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (2007, hlm. 108), Sukarno tidak boleh lagi memakai gelar presiden atau kepala negara.

Selanjutnya Soeharto mengimbau kepada Sukarno untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno sadar belaka eranya memang sudah berakhir.

Sukarno lantas meminta pengawalnya yang masih loyal untuk mengantar anak-anaknya berpindah ke rumah Fatmawati di Kebayoran Baru. Sukarno sendiri untuk sementara tinggal di sebuah paviliun di lingkungan Istana Bogor.

Menurut Lambert J. Giebels dalam bukunya Pembantaian yang Ditutup-tutupi: Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno (2005, hlm. 232-44), Sukarno kini adalah tahanan politik Orde Baru. Meski begitu, orang berpura-pura seolah-olah Sukarno masih tetap menjadi presiden.

Pemerintah Orde Baru memecat—lalu menahan—ajudan lama Sukarno dan menempatkan baginya ajudan baru. Salah seorang di antaranya adalah perwira Angkatan Laut Haryono H. Guritno. Dia diplot menggantikan posisi Bambang Widjanarko.

Pun begitu, Sukarno tidak lagi mencampuri urusan kenegaraan. Kini, dia mencurahkan seluruh waktunya untuk hobinya: wayang, koleksi barang seni, dan keroncong. Sukarno memilih Guritno yang berdarah Jawa itu sebagai ajudannya karena dia memiliki antusiasme pada kultur dan kesenian. Tugasnya adalah membantu Sukarno dalam hobinya itu.

Menyingkir ke Batutulis

Di masa ini, hidup dan dan gerak Sukarno benar-benar dibatasi oleh rezim. Tidak sembarang orang bisa menemuinya. Anak-anaknya sekalipun tetap harus minta izin lebih dulu kepada komandan daerah teritorial Jakarta Raya dan komandan daerah teritorial Jawa Barat untuk menemuinya di Bogor. Karenanya, mereka pun jarang berkunjung.

Ajudan Sukarno memperhatikan interaksi antara Sukarno dan putra-putrinya dari Fatmawati berjalan lebih formal dan kaku. Si Bung Besar justru lebih hangat dan spontan terhadap putri-putri tirinya dari Hartini. Bung Karno biasa mengajari mereka tari-tarian Bali dan Jawa dengan penuh perhatian.

Tatkala dikukuhkan MPR sebagai presiden pada Maret 1968, Soeharto mengaku mendapat surat ucapan selamat dari Sukarno. Dalam surat itu, Sukarno berkata tidak lagi ingin menjadi presiden. Kini, keinginannya hanya satu: tinggal di vila peristirahatannya di Batutulis, Bogor.

Rupanya, Bung Karno tidak nyaman masih berada di lingkungan istana. Dia kemudian minta pindah. Permintaan itu lantas dikabulkan Soeharto.

Di Batutulis itu, Sukarno telah membangun vila besar berbentuk pendopo. Vila ini, karya arsitektur Sukarno yang terakhir, selesai dibangun pada 1966. Sukarno memimpikan akan menghabiskan masa senjanya bersama Hartini di vila itu. Sayang, Hartini dilarang tinggal bersama Sukarno di sana atau pun di paviliun Istana Bogor.

Sukarno menamai vila yang terletak di lembah Sungai Cisadane itu Hing Puri Bima Sakti. Nama itu adalah kenang-kenangan pada tokoh pewayangan Bima dari epos Mahabarata. Bagi Sukarno, Bima adalah pahlawan masa mudanya. Dulu, di zaman Pergerakan Nasional, Sukarno muda juga kerap menyematkan nama samaran Bima pada esai-esainya yang terbit di media massa.

Meski vila Hing Puri Bima Sakti itu adalah pilihannya sendiri, Sukarno kemudian justru merasa kecewa tinggal di sana. Kontur yang berlembah membuat angin dari gunung leluasa bertiup ke daerah itu, cuacanya pun menjadi terlalu dingin untuk Sukarno. Lagipula, Sukarno mendengar dari orang-orang sekitar situ, tanah rumah itu tidak sesuai dengan persyaratan adat Sunda.

Kesunyian yang melankolis pun perlahan meremukkan Sukarno. Menurut ajudannya, Sukarno jarang tinggal di vila itu. Bung Karno tetap mendatanginya setiap hari untuk membersihkan tamannya, memberi makan ikan, lalu sejenak melemparkan pandangan ke gunung-gunung biru di kejauhan. Tapi, ketika hari beranjak gelap, Bung Karno memilih kembali ke paviliun di Istana Bogor.

Jelang akhir tahun 1968, Sukarno menyuruh putrinya Rahmawati untuk menyurati Soeharto. Dia sekali lagi memohon agar diizinkan kembali ke ibu kota. Soeharto mengabulkan permohonan itu.

Maka pada awal 1969, Sukarno mulai tinggal di Wisma Yasoo yang dibangunnya untuk istri favoritnya, Ratna Sari Dewi.

Infografik Karantina Politik

Infografik Karantina Politik. tirto.id/Fuad

Dibekap Depresi

Sukarno pun menjalani hari-harinya di Wisma Yasoo dalam kesendirian. Hartini tidak mau mengikuti suaminya tinggal di rumah madunya. Lagipula, dia juga tidak betah di Jakarta. Meski begitu, sesudah menjalani beberapa tahun penuh penderitaan, Hartini akhirnya mendapat rumah di Jalan Proklamasi, Jakarta, berkat bantuan bekas Gubernur Jakarta Ali Sadikin.

Sukarno diketahui mengidap beberapa penyakit parah, di antaranya sakit ginjal, sakit jantung, dan darah tinggi. Sejak ditahan, diagnosis baru muncul: rematik dan gejala katarak.

Dalam kondisi demikian, Bung Karno masih harus pula menjalani interogasi dari Kopkamtib soal keterlibatannya dalam G30S. Tapi, yang paling tragis dari Sukarno kini adalah kenyataan bahwa dia harus menghadapai semua itu nyaris sendirian. Pasalnya, anak-anaknya tetap tidak bisa leluasa mengunjungi Sukarno. Ketika akhirnya izin kunjungan diberikan, mereka menemukan ayahnya terbenam dalam depresi.

Kini, Sukarno kehilangan tabiatnya yang dulu, periang dan ringan hati. Terpencil dan kesepian, itulah warna dunia Sukarno kini.

“Sampai akhirnya Bung Karno terkena depresi. Setiap hari hanya duduk sambil termenung. Malah kadang-kadang ngomong sendirian. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot,” kenang Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mahar Mardjono sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2011, hlm. 80).

Sebagai pelipur lara, seseorang pernah menyarankan Sukarno menulis semacam memoar. Tapi, saran itu tidak dia tanggapi. Sukarno bahkan tidak mempunyai cukup energi untuk menulis surat wasiat.

Seturut kisah Guruh—putra bungsunya, kalau anak-anaknya mengunjunginya, Sukarno dengan tidak habis-habisnya mengajak mereka bermain kartu. Dulu, Sukarno memang biasa bermain kartu bersama teman-teman Belandanya.

Sukarno berulang kali kedapatan menangis secara tiba-tiba. Sudah begitu, dia sering mengajukan pertanyaan yang pasti sulit dijawab oleh anak-anaknya: mengapa rakyat Indonesia tega memperlakukannya seperti itu? Tapi, Sukarno sebenarnya punya jawabannya sendiri, bahwa semua yang menimpa dirinya kini adalah ulah Central Intelligence Agency (CIA).

==========

Untuk memperingati haul Bung Karno ke-51 pada 21 Juni 2021, Redaksi Tirto menayangkan serial artikel tentang hari-hari terakhirnya dalam karantina politik Orde Baru. Serial ini ditayangkan setiap hari pada 22-25 Juni 2021 dan ditulis oleh sejarawan Muhammad Iqbal.

Muhammad Iqbal adalah sejarawan kelahiran Amuntai, Kalsel. Sehari-hari ia mengajar di IAIN Palangka Raya dan menjadi editor penerbit Marjin Kiri. Baru-baru ini ia menulis buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953.

Baca juga artikel terkait TAHANAN POLITIK atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Humaniora
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi