Menuju konten utama
Tjokropranolo (1924-1998)

Kapten Nolly: Pengawal Sudirman yang Jadi Gubernur Jakarta

Menjadi pengganti Ali Sadikin bukan hal mudah. Ia mesti menghadapi anggapan bahwa dirinya tak sebaik Ali, termasuk ketika ia diolok-olok "bodoh."

Ilustrasi Mozaik Tjokropranolo. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Kapten Nolly, begitu orang memanggil Tjokropranolo semasa era perang dulu. Namun, setelah pensiun dari militer dan terjun ke ranah birokrasi kemudian terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1977, tak ada embel-embel kapten lagi, berganti sapaan akrab khas Betawi, Bang Nolly, meskipun ia orang Jawa tulen.

Kehidupan di lingkungan pejabat bukan hal yang baru baginya. Tjokropranolo terlahir sebagai putra Bupati Temanggung. Dari latar belakang terpandang itulah Nolly bisa mengenyam pendidikan dasar yang setara dengan anak-anak Belanda kendati ia kaum bumiputra.

Anak Bupati Memilih Mandiri

Tjokropranolo bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar milik pemerintah kolonial yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak berdarah Eropa di Hindia (Indonesia), terutama Belanda, dan peranakan Tionghoa, juga segelintir bocah bumiputra yang berasal dari kalangan terkemuka.

Punya asupan darah biru dengan beraneka macam hak istimewa tak lantas membuat Tjokropranolo lupa daratan. Buktinya, ia justru memilih menjadi tentara, tidak seperti anak-anak ningrat lainnya yang lebih suka bekerja di pemerintahan kolonial.

Ketika Belanda terusir dari Indonesia dan digantikan oleh Jepang sejak 1942, Tjokropranolo bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Ini memang kesatuan militer bentukan Jepang. Tapi tidak ada pilihan lain yang lebih mudah bagi seorang bumiputra seperti dirinya untuk memulai karier militer selain ikut PETA.

Nolly membuktikan bahwa pilihannya itu tidak salah. Ia turut menjadi tulang punggung perang gerilya yang dipimpin Jenderal Soedirman untuk mempertahankan kemerdekaan RI (Tjokropranolo & ‎Marzuki Arifin, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal, 1992).

Tjokropranolo bahkan merupakan salah satu dari sedikit orang yang paling dipercaya dan amat disayang oleh sang jenderal besar yang juga alumni PETA itu. Dan nantinya, Bang Nolly melanjutkan pengabdian untuk negara dengan memimpin ibu kota.

Pasang Badan Demi Pak Dirman

Perang gerilya menjadi pilihan Jenderal Soedirman untuk melawan Belanda yang ingin berkuasa lagi setelah Indonesia merdeka. Ini bukan hal yang mudah. Pak Dirman saat itu sedang sakit, cukup parah, harus ditandu keluar-masuk hutan belantara, naik-turun gunung, serta tidak jarang harus menyelamatkan nyawa dari terjangan peluru Belanda.

Di masa-masa sulit inilah peran Tjokropranolo sangat terasa. Ia selalu siap pasang badan untuk jenderal besar yang tetap berjuang di masa sakitnya itu. Kapten Nolly adalah salah satu orang pertama yang selalu pasang badan untuk memikul tandu Pak Dirman. Ia juga pernah berperan sebagai “kuda” manakala pasukan gerilya beruntung memperoleh kereta untuk membawa Pak Dirman.

Jenderal Soedirman pun sangat menyayangi Tjokropranolo sehingga kerap dipercaya untuk menjalankan misi penting. Ia sering menyusup ke Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota RI untuk menyampaikan pesan dari Pak Dirman kepada tokoh-tokoh republik.

Risikonya sangat tinggi. Kalau sampai ketahuan, bukan tidak mungkin ia di-dor di tempat. Selain itu, Tjokropranolo juga harus bergerak sangat hati-hati, harus tetap terjaga kerahasiaan dari pandangan musuh sehingga tentara Belanda tidak mengetahui letak markas gerilya (Sulistyo Atmojo, Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1985:111).

Tjokropranolo pernah pula dipercaya Jenderal Soedirman untuk membujuk tokoh-tokoh militer yang mulai terpengaruh gerakan pemberontakan agar tetap setia kepada pemerintah RI (Harry A. Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak, 2011:135). Misi ini tidak gampang karena sangat sensitif. Salah langkah, nyawa taruhannya.

Infografik Mozaik Tjokropranolo

Infografik Mozaik Tjokropranolo alias Bang Nolly. tirto.id/Nadya

Susahnya Jadi Gubernur

Tjokropranolo terlibat langsung dalam hampir setiap peristiwa penting ketika situasi keamanan NKRI belum stabil setelah penyerahan kedaulatan sejak akhir 1949. Tercatat, ia turut ambil bagian dalam menghadapi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), konfrontasi Indonesia-Malaysia, hingga insiden berdarah Gerakan 30 September 1965.

Ketika akhirnya Tjokropranolo pensiun dari militer, ia mulai tertarik beralih bidang ke sektor birokrasi. Ia sempat menjadi asisten Ali Sadikin yang menjabat sebagai Gubernur Jakarta sejak 28 April 1966. Setelah masa bakti Ali Sadikin berakhir pada Juli 1977, nama Tjokropranolo muncul sebagai kandidat terkuat sebagai gubernur ibu kota yang baru.

Dalam rapat pemungutan suara, Tjokropranolo menang telak dengan mendapat 32 suara dari 40 anggota DPRD, unggul jauh dari dua pesaingnya yakni Dr. H.R. Suwondo yang merupakan mantan wakil gubernur dan tokoh kaum buruh R. Sukiyat (Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, 2010:106).

Tjokropranolo yang kemudian dikenal dengan sapaan Bang Nolly memang tidak semoncer Ali Sadikin dalam mengelola pemerintahan ibu kota. Bahkan, olok-olokan yang menyebutnya “bodoh” beberapa kali sempat terdengar. Namun, Tjokropranolo tidak pernah sakit hati (Majalah Tempo,Volume 12, 1982:106).

Bang Nolly mengakui bahwa tidak gampang mengurus wilayah istimewa seperti Jakarta, terutama masalah kemacetan lalu lintas dan transportasi, begitu pula mengatur pedagang kaki lima yang bandel tetap berjualan di badan jalan. Namun, perhatian Bang Nolly terhadap nasib buruh dan pelaku usaha kecil sangat tinggi kendati hasilnya belum terlalu memuaskan.

Pada 1982, Tjokropranolo menuntaskan masa pengabdiannya sebagai Gubernur Jakarta. Selanjutnya, Bang Nolly menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan lain, termasuk menulis buku biografi berdasarkan pengalaman pribadi tentang tokoh yang paling dihormatinya, Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Tjokropranolo meninggal dunia tak lama setelah tamatnya rezim Orde Baru, tanggal 22 Juli 1998. Bang Nolly, mantan pemimpin ibu kota yang juga pengawal paling setia Jenderal Soedirman itu, wafat di Jakarta dalam usia 74 tahun.

______________

Tulisan ini pertama kali terbit pada 22 Juli 2017 dan diterbitkan ulang pada 22 Juli 2019.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti