Menuju konten utama

Kapten Becking, Penjinak PKI yang Hidupnya Berakhir di Pengasingan

Kapten Becking adalah perwira yang membasmi PKI di Banten pada 1926. Karena terlibat dalam partai fasis, hidupnya pun berakhir di tanah pengasingan.

Kapten Becking, Penjinak PKI yang Hidupnya Berakhir di Pengasingan
Ilustrasi Kapten L Th Becking. trito.id/Fuad

tirto.id - Ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) berontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 13 November 1926, bertambah sibuklah Kapten KNIL L.Th. Becking. Pasalnya, orang-orang PKI menduduki beberapa instalasi penting di Labuan dan Serang, Banten—wilayah tugas Becking. Pemberontakan itu bikin ketar-ketir orang-orang Eropa yang mukim di sana. Sebagai abdi kolonial, dia jelas punya tanggung jawab besar mengembalikan keamanan dan ketertiban di sana.

Namun, menurut Louis de Jong dkk. dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (jilid 2, 1984, hlm. 311), Kapten Becking sebenarnya tidak sesibuk yang dibayangkan orang karena dia hanya mendapatkan sedikit perlawanan di sana.

Koran Pemberita (16 November 1926) menyebut Kapten Becking dan pasukannya turut membubarkan demonstrasi di Labuan pada 15 November 1926. Demonstrasi yang diikuti sekira 500-an massa rakyat itu disebut bubar setelah pasukan Becking meletuskan beberapa tembakan. Tentu saja, tindakan itu menyebabkan jatuhnya korban di pihak massa rakyat.

Kapten Becking dan pasukannya pun cukup mampu menguasai Kota Serang. Koran Tjin Po (30 November 1926) memberitakan Becking jadi penguasa perang di Serang hingga 19 November 1926. Usai membereskan huru-hara di dua kota itu, Kapten Becking kemudian meluncur ke Batavia untuk melakukan pemeriksaan perkara Asisten Wedana Pajelaran yang rumahnya habis terbakar. Kapten Becking terus bekerja mengurus sisa-sisa pemberontakan tersebut hingga akhir tahun.

Bertugas di Boven Digoel

Pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil menumpas pemberontakan PKI pada awal 1927. Sebagian besar anggota PKI dan mereka yang turut berontak diputuskan untuk diasingkan ke pedalaman Papua. Itulah mula berdirinya kamp pembuangan Boven Digoel di Papua bagian selatan.

Kapten Becking kemudian ditunjuk untuk memimpin kamp pembuangan itu. Belanda sendiri baru menjejak tanah itu pada awal abad ke-20. Ketika diputuskan jadi tanah pengasingan, Boven Digoel masihlah kawasan sangat terpencil dan sulit dijangkau. Sebelum dibukanya jalur darat, orang-orang buangan itu harus menyusuri sungai dengan perahu selama beberapa hari.

Keterpencilan dan keganasan alamnya saja sudah cukup untuk mematahkan semangat para tahanan di sana, tanpa harus melibatkan kekerasan fisik. Kabur dari Digoel jelas bukan perkara mudah.

Kapten Becking dan rombongannya tiba di Boven Digoel usai menyusuri Sungai Digoel dengan kapal Fomalhout dari Merauke.

Kapten Becking dengan orang-orangnya dan tawanan pekerja tiba di Tanah Merah pada bulan Januari 1927 dan selama dua bulan membangun barak, gudang, rumah sakit, stasiun radio, kantor pos, dan tempat mandi besar di aliran sungai (Sungai Digoel) bagi para tentara dan tawanan,” tulis Takashi Shiraisi dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001, hlm. 9).

Dokter Louis Johan Alexander Schoonheyt dalam Boven Digoel (1936, hlm. 23) menyebut Boven Digoel sebenarnya bukan tanah tak bertuan. Tentu ada suku-suku asli Papua yang berdiam di wilayah sekitarnya.

Kapten Becking praktis menjadi penguasa Boven Digoel saat kamp itu dibangun. Anehnya, dia cukup dihormati oleh orang-orang buangan di sana, bahkan juga oleh mereka yang berasal dari Banten. Para penghuni kamp menyebut Kapten Becking sebagai Bapa Becking atau Vader B.

Tugasnya di Boven Digole dinyatakan selesai setelah datangnya Kontrolir M.A. Monsjou pada November 1927.

Berakhir Di Pengasingan

Usai purna tugas di Digoel, Kapten Becking ditugaskan kembali di Jawa. Pada awal 1930-an, namanya jadi cukup tenar di kalangan Eropa dan Indo-Belanda. Vaderlandsche Club—organisasi kanan Belanda totok di Hindia Belanda—kerap mengundangnya pada pembicara dalam pertemuan mereka di beberapa kota. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (17 Desember 1930), misalnya, pernah memberitakan Vaderlandsche Club cabang Bogor mengundang Becking untuk bicara tentang pengalamannya di Boven Digoel.

Berbanding terbalik dengan kepopulerannya, karier militer Becking justru mentok. Pada akhirnya dia pensiun dari KNIL tetap dengan pangkat kapten. Becking kemudian memutuskan terjun ke dunia politik—agaknya sebagai kompensasi atas kesuraman kariernya.

Becking tercatat bergabung dengan partai Nationaal-Socialistische Beweging (NSB) yang berhaluan fasis. Becking tidak sendirian karena koleganya yang bernama Mayor KNIL W.V. Rhemrev juga turut bergabung. Sama seperti Becking, Rhemrev juga dikenal sebagai pembasmi komunis.

Infografik Kapten L Th Becking

Infografik Kapten L Th Becking. tirto.id/Fuad

Sebelumnya, Rhemrev bertugas menghabisi pemberontakan PKI di Sumatera Barat pada 1927. Perwira lulusan Akademi Militer Breda 1902 dan peraih bintang Ksatria Militaire Willemsorde kelas 4 itu sukses membasmi kaum komunis dengan mengerahkan pasukan Marechausse. Dia pun dikenal bertangan besi dan cukup sadis dalam operasi penumpasan itu.

Loius de Jong dkk (1984, hlm. 312) menyebut kampanye pembersihan komunis Rhemrev sampai jadi pemberitaan di koran-koran masa itu. Dia pun diberhentikan dari KNIL setelah itu.

Pemimpin NSB yang terkenal adalah Insinyur Anton Mussert yang tiba di Jawa pada 1935. Kala itu, Becking dan Rhemrev ikut menyambut kedatangannya.

Karier politik Becking di NSB terbilang moncer. Dalam beberapa tahun saja, dia sudah jadi salah satu pimpinan teras NSB Hindia Belanda. Koran De Sumatra Post (23 Februari 1938) memberitakan bahwa Becking menjadi Ketua NSB wilayah Jawa.

Karier politik Becking di Hindia Belanda runtuh pada 1939. Setelah Belanda diduduki tentara NAZI Jerman, NSB yang fasis itu dianggap sebagai organisasi berbahaya oleh pemerintah kolonial.

Becking, seperti disebut Algemeen Handelsblad (15 Maret 1942), termasuk dalam daftar 500 orang yang ditahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rhemrev juga bernasib sama. Becking pun kembali harus merasai hidup di tanah pengasingan, tapi kali ini dialah yang berada di posisi orang buangan.

Becking diasingkan ke Suriname, koloni Belanda yang terletak di Amerika Selatan. Seturut pemberitaan De Telegraaf (14 Juli 1951), Becking jadi penghuni kamp konsentrasi Paramaribo hingga jatuh sakit dan akhirnya tutup usia ketika Perang Dunia II masih berkecamuk.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi