Menuju konten utama
Reformasi Kepolisian

Kapolres Nunukan Pukul Anggota: Fenomena Gunung Es Kekerasan Polisi

Video Kapolres Nunukan pukul anggota viral. Kompolnas menilai tindakan itu menunjukkan masih adanya praktik militeristik warisan orba.

Kapolres Nunukan Pukul Anggota: Fenomena Gunung Es Kekerasan Polisi
Ilustrasi penganiayaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Video dugaan polisi aniaya anak buahnya di dalam aula Polres Nunukan viral. Si terduga penganiaya merupakan Kapolres Nunukan AKBP Syaiful Anwar. Pada video durasi 43 detik itu, ia tiba-tiba mendatangi anak buahnya kemudian menendang dan memukulnya hingga jatuh.

Ketika tersungkur, si korban kembali ditendang. Kejadian itu berlangsung pada 21 Oktober 2021, sekitar pukul 12.32, sesuai dengan keterangan waktu yang tercantum dalam rekaman kamera pengawas. Kabid Humas Polda Kalimantan Utara Kombes Pol Budi Rachmat menyatakan alasan dugaan penganiayaan karena kesal, lantaran gangguan sinyal.

“Saudara SL bertugas di TIK Polres Nunukan, (diduga) tidak melaksanakan tugas dengan baik, saat gangguan jaringan Zoom Meeting, (ia) tidak ada. Ditelepon tidak diangkat," kata Budi, Senin (25/10/2021). Saat itu merupakan acara puncak Hari Kesatuan Gerak Bhayangkari dan dilaksanakan pertemuan daring via zoom bersama Mabes Polri dan Polda Kalimantan Utara.

Korban lantas mengirimkan rekaman kamera pengawas ketika ia dipukul dan ditendang. "Rekaman video tersebut diviralkan oleh SL yang dipukul Kapolres. Dikirim ke grup TIK Polda Kalimantan Utara dan grup leting bintara," terang Budi. Akibatnya, kepolisian akan menindak korban karena dugaan pelanggaran kode etik. "Iya, berikutnya (akan diproses)."

Kapolres Nunukan Dicopot

Kapolda Kalimantan Utara Irjen Pol Bambang Kristiyono pun mencopot si Kapolres dari jabatannya. Hal itu tercantum dalam Surat Perintah Nomor: Sprin/952/X/KEP/2021 bertanggal 25 Oktober 2021. Syaiful dipindahtugaskan ke bagian Biro SDM Polda Kalimantan Utara dalam rangka pemeriksaan.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti menyayangkan peristiwa tersebut, meski Bidang Propam Polda Kalimantan Utara langsung sigap menangani kasus ini.

“Saya belum mengetahui secara pasti duduk permasalahannya. Kemungkinan ada kesalahan yang dilakukan anggota. Meskipun demikian, penggunaan kekerasan seharusnya tidak dipertontonkan oleh pimpinan kepada anggota,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (26/10/2021). "Tindakan menendang dan memukul itu menunjukkan masih adanya praktik militeristik warisan Orde Baru yang tidak layak diterapkan di kepolisian pascareformasi.”

Bila betul anggota bersalah, kata dia, masih ada cara pembinaan yang humanis yang dapat dilakukan pimpinan, antara lain dengan melakukan teguran dan hukuman yang mendidik. SL juga perlu diperiksa, ditegur dan diberi sanksi. Seharusnya sebagai anggota tunduk pada aturan dan proses hukum yang berlaku di internal, kata Poengky.

“Ini kelakuannya seperti tidak ada hukum di dalam institusi. Jika ada masalah, laporkan pimpinan di atasnya. Lapor Kapolda, lapor Bidang Propam, bahkan bisa lapor Kompolnas selaku pengawas fungsional Polri. Anggota perlu diarahkan jika ada masalah mengadunya ke mana,” jelas Poengky.

Ia menegaskan Kapolres maupun anggota perlu diperiksa, ditegur dan dijatuhi sanksi. Institusi punya seperangkat aturan dan semua harus patuh pada regulasi.

Problem Korps Bhayangkara

SL terancam sanksi etik karena menyebarkan rekaman kamera pengawas. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto berpendapat ini menjadi masalah di internal kepolisian. Kepada siapa akan mengadu bila anggota di level bawah mendapatkan ketidakadilan? Artinya di internal polisi sendiri tidak percaya akan mendapat keadilan bila mengadu ke Propam, makanya memilih menyebarkan video tersebut.

“Memang risikonya dia (korban) akan mendapat sanksi etik. Itu wajar dan sanksi etik itu memang harus diterapkan kepada dia yang melanggar peraturan etik organisasi,” ucap Bambang kepada reporter Tirto, Selasa (26/10/2021).

Apakah tepat jadi korban malah turut dihukum? Menurut Bambang itu merupakan persoalan yang berbeda. Korban adalah problem pribadi dengan sosok Kapolres, berbeda dengan etika organisasi. Namun Kapolres yang melakukan kekerasan juga tak menutup kemungkinan dikenai pasal pidana bila mengakibatkan korban fatal.

“Kekerasan oleh siapa pun, kepada siapa pun, tidak boleh dilakukan. Kecuali pada pelaku kriminal yang membahayakan keselamatan orang lain,” imbuh dia.

Fenomena Gunung Es Kekerasan di Kepolisian

Fachrizal Afandi, dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, menyatakan yang dilakukan oleh Kapolres Nunukan jelas merupakan tindak pidana berupa penganiayaan yang dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP.

Pasal 351 KUHP menyebutkan:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Namun secara sistem peradilan pidana kejadian itu menunjukkan masalah kekerasan lumrah di tubuh kepolisian. “Semakin menegaskan bahwa cara-cara lama mendisiplinkan anak buah dengan kekerasan sudah mendarah daging. Ini viral karena (video) dibagikan, tapi ini menunjukkan ‘gunung es’, banyak masalah lain. Reformasi sipil di kepolisian belum berhasil,” ucap dia kepada Tirto, Selasa.

Insiden tersebut mencerminkan budaya feodalistis di Korps Bhayangkara, penganiayaan itu tak layak dilakukan, kata Fachrizal.

“Bagaimana dia memperlakukan masyarakat jika dia kepada anak buahnya (bertindak) seperti itu? Ini masalah sistemis dan bisa jadi evaluasi kepolisian. Iya, itu penganiayaan,” kata dia.

Jika ada penyelisikan mendalam, kata Fachrizal, maka kasus serupa yang tidak muncul di permukaan diduga lebih banyak daripada yang viral. Fachrizal melanjutkan, di negara lain bila ada kasus serupa, penyidikan dilakukan oleh jaksa agar objektif. Sementara perkara ini bisa tergolong sulit selesai.

Lantas, apakah SL mau divisum dan melaporkan kepada pihak polres yang sama dengan tempat ia bertugas? Akuntabilitas dan transparan Polri sangat penting. Jika dua hal itu betul dikerjakan, maka makin menjamin profesionalitas institusi. Tidak ada lembaga publik yang merasa paling benar sendiri kalau diawasi publik.

Sedangkan SL diduga melanggar etik profesi karena menyebarkan video tersebut. “Secara lebih dalam harus tidak (dihukum) karena dia pelapor pelanggaran. Dia tidak bersalah, dia korban. Kalau (video) tidak dibagikan apakah akan jadi perhatian (sehingga) Kapolres dicopot?” jelas Fachrizal.

Dalam satu bulan ini, banyak anggota Polri yang menjadi terduga pelanggar peraturan ditindak usai perintah tegas Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo seperti Kapolsek Parigi dipecat karena kasus dugaan memerkosa anak tahanan, Polantas di Sumatera Utara yang pukuli warga dicopot, Kapolsek Percut Sei Tuan dicopot, polisi pembanting mahasiswa di Tangerang ditahan, Polantas pacaran menggunakan mobil dinas dimutasi, dan Aipda Ambarita yang dimutasi lantaran buntut mengecek ponsel warga tanpa izin.

Polri berhak mendapatkan apresiasi dari upaya mereka menindak personel yang membandel, tapi reformasi kepolisian belum berhasil dilakukan oleh Korps Bhayangkara. “Tapi itu parsial, kasuistik. Harus ada jaminan perubahan sistemis. Perubahan sistemis seperti kepolisian mempromosikan transparansi dan akuntabilitas lebih luas,” tutur Fachrizal.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz