Menuju konten utama

Kapan Sebaiknya Ibu Bekerja Setelah Melahirkan?

Bagi ibu melahirkan, cuti bukan hanya bermanfaat untuk memulihkan kondisi fisik saja, tapi juga kesehatan mental.

Kapan Sebaiknya Ibu Bekerja Setelah Melahirkan?
Ilustrasi cuti melahirkan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Juli lalu, model Baby Margaretha melahirkan buah hatinya. Dilansir Tabloid Bintang, belum genap 3 bulan setelah melahirkan, istri Christian Bradach ini mengaku bingung karena telah mendapat tawaran bermain dalam film horor dengan honor yang menggoda.

“Kemarin ada tawaran pas lahiran. Film untuk horor lagi, tapi enggak di Indonesia tapi di luar negeri, aku bilang ya boleh tapi aku masih ASI dan bingung. Coba nanti akan didiskusiin dulu sama produser dan sutradara,” kata Baby, seperti dikutip Tabloid Bintang.

Meski Baby masih ingin fokus merawat anaknya hingga berusia 4 bulan, Baby mengaku suaminya senang jika dirinya kembali bekerja. Suaminya berpendapat Baby mesti bekerja agar tak bosan di rumah dan ada hiburan.

Masa Cuti Melahirkan

Bagi perempuan yang bekerja, wajib hukumnya memperhatikan lamanya cuti melahirkan yang diberikan oleh perusahaan. Menurut International Labour Organization (ILO), cuti melahirkan merupakan bentuk perlindungan perusahaan terhadap perempuan untuk menjaga kehamilan, kelahiran bayi, dan kondisi setelah melahirkan. Cuti tersebut tak hanya bermanfaat untuk memulihkan kondisi fisik ibu saja, tapi juga untuk mereduksi stres perempuan.

ILO mencatat, beberapa negara telah menerapkan aturan cuti wajib yang harus diberikan perusahaan terhadap para pekerja perempuan. Setiap negara memiliki regulasi yang berbeda. Belanda, misalnya, memiliki masa cuti bagi perempuan selama 4 bulan, Australia setahun, Italia 5 bulan, Cile 18 minggu, sedangkan Indonesia sendiri punya peraturan cuti minimal bagi perempuan melahirkan selama 3 bulan.

Rada K. Dagher, Patricia M. McGovern, dan Bryan E. Dowd pernah melakukan studi berjudul “Maternity Leave Duration and Postpartum Mental and Physical Health: Implication for Leave Policies” (PDF) untuk meneliti hubungan antara durasi cuti dengan gejala depresi, kesehatan mental, kesehatan fisik, dan sindrom pasca-melahirkan pada tahun pertama kelahiran. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 3.465 ibu melahirkan di rumah sakit yang berada di Minneapolis dan St. Paul, dengan usia lebih dari 18 tahun.

Hasilnya menunjukkan bahwa cuti melahirkan memang berdampak terhadap pemulihan psikologis saat kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.

“Penelitian ini menemukan hubungan yang signifikan antara durasi cuti setelah melahirkan dan gejala depresi. Menambahkan cuti hingga enam bulan setelah melahirkan dapat menurunkan gejala depresi pasca-persalinan. Dengan demikian, mengambil cuti kurang dari enam bulan dapat meningkatkan risiko depresi pasca-persalinan pada perempuan pekerja,” ungkap Dagher, dkk.

Menurut penelitian tersebut, pada masa tiga bulan pertama pasca-melahirkan terdapat risiko depresi tertinggi. Umumnya, depresi tersebut terjadi sekitar 3 hingga 6 bulan, dan pada beberapa kasus bisa berdampak hingga satu tahun setelah melahirkan.

Dalam artikel berjudul “The Connection Between Maternity Leave and Mental Health” di Huffington Post, Nitzia Logothetis menyatakan bahwa perempuan yang kembali bekerja sebelum 6 bulan setelah melahirkan memiliki risiko depresi lebih besar. Sebaliknya, masa cuti yang lebih panjang dapat membawa kesehatan mental yang lebih baik bagi perempuan dan waktu menyusui yang lebih lama.

infografik kembali bekerja pasca melahirkan

Pemulihan Pasca-Persalinan

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, dr. Ulul Albab, SpOG menyampaikan bahwa setelah persalinan normal atau vaginal, umumnya perempuan dapat kembali melakukan aktivitas mandiri dalam waktu 1 kali 24 jam.

“Kita bicara masa normal, tidak ada komplikasi dan masalah lain, melahirkan normal, tanpa ada pendarahan [atau] tindakan lain. Sebenarnya kalau habis melahirkan, 2 jam pasca-melahirkan boleh mobilisasi normal, dua jam melahirkan biasanya kita suruh jalan, jalannya bagus, tidak ada pendarahan, kencingnya bagus, kemudian ibunya sudah mulai belajar menyusui, kita bolehkan keluar dari ruangan bersalin,” tutur Ulul.

Ulul menambahkan, satu minggu pasca-persalinan, sang ibu biasanya akan diminta untuk datang kembali ke dokter. “Apa sih yang dikontrol? Jelas kondisi fisik si pasien [seperti] tekanan darah, nadi, kemudian bagaimana kondisi luka jahitannya, kemudian kondisi cairan nifasnya, ada infeksi atau enggak. Kalau itu semua normal, sebenarnya hari ke-8 [atau] ke-9 sudah normal lagi,” beber Ulul.

Namun, kondisi tersebut hanya terjadi pada proses persalinan normal. Berbeda jika pasien melahirkan dengan komplikasi tertentu atau jika melalui proses persalinan caesar. Biasanya, proses pemulihan akan berlangsung lebih lama.

“Kalau bicara caesar, biasanya masa perawatan luka jauh lebih lama dibandingkan dengan melahirkan normal. Di rumah sakit biasanya melahirkan caesar paling cepat [beraktivitas kembali setelah] 2 kali 24 jam. Paling cepat dua hari,” ujar Ulul.

Meski begitu, Ulul menyampaikan bahwa pada pasien persalinan caesar tidak dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik terlalu berat, karena dapat berimbas pada luka operasi pada perut. Secara keseluruhan, proses recovery fisik perempuan baik pada proses persalinan normal maupun persalinan caesar membutuhkan waktu 30 hari.

Lamanya waktu pemulihan fisik dan psikis pasca-persalinan tak sama. Psikolog klinis Nirmala Ika mengatakan bahwa dalam proses pemulihan psikis dipengaruhi faktor kepribadian masing-masing perempuan dan faktor lingkungan.

“Sebenarnya itu yang perlu dilihat adalah support system dia [ibu bersalin]. Seberapa besar support system yang dimiliki sehingga dia bisa beraktivitas lagi. Karena kan isunya, ketika seorang ibu melahirkan dan kembali bekerja, tidak hanya bicara soal dia, tapi juga soal anaknya,” kata Nirmala.

Idealnya, seorang perempuan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan sang anak. Apalagi jika perempuan tersebut melahirkan anak pertama.

“Kan perubahan apalagi kalau anak pertama, kan harus beradaptasi banget. Yang single terus harus ada tanggung jawab anak, terus kemudian fisiknya sendiri butuh istirahat, perlu waktu untuk menyusui, apalagi kalau ASI eksklusif, dia butuh waktu lebih lama untuk menyusui anak,” ungkap Nirmala.

Nirmala menyarankan kepada para suami agar turut membantu pemulihan psikis istri setelah melahirkan. Untuk pemulihan kondisi psikis ibu bersalin, cuti bersalin memang sebaiknya tak hanya diberikan kepada ibu, tapi juga kepada ayah.

“Mayoritas kan [melihat perawatan anak] tanggung jawab ibu, meskipun mungkin kita ingin mendobrak. Tapi, belum semua laki-laki itu mendapat cuti melahirkan, sehingga mau enggak mau ibu di rumah ini cuti sendiri, pontang-panting sendiri, berusaha memahami anak, dan anak kan juga belum bisa ngomong apa-apa,” kata Nirmala.

Selain itu, Nirmala juga menyarankan kepada orang-orang di sekitar perempuan yang baru melahirkan untuk tidak menghakimi sang ibu.

“Ketika dia merasa sendiri, tidak mendapat support, kalau mau cerita sama orang juga nggak ada, atau disalah-salahin, misalnya ‘Lu nggak becus jadi ibu,' dia akan makin besar kemungkinan mengalami baby blues. Butuh waktu recover,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PERSALINAN atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani