Menuju konten utama

Kantata Takwa: Supergrup Indonesia Terbesar Sepanjang Masa

Personel Kantata Takwa berasal dari berbagai latar belakang: musisi, aktor teater, hingga pengusaha.

Konser Kantata Takwa di Stadion Utama Gelora Bung Karno; juni 1990. FOTO/IMDB

tirto.id - 23 Juni 1990. Stadion Utama Gelora Bung Karno dijejali ratusan ribu manusia. Mereka datang untuk satu tujuan: menonton konser akbar yang diadakan supergrup bernama Kantata Takwa.

Pertunjukan dilangsungkan di atas panggung seluas 60 x 23 meter, lengkap dengan tiruan kepala rajawali berukuran besar serta deretan sinar laser yang membikin panggung nampak begitu megah tanpa tanding.

Sejak siang, keriuhan sudah menyelimuti seisi stadion. Orang-orang seperti tak sabar untuk menyaksikan pementasan kolosal. Memasuki malam, kerumunan makin bergerak liar demi menyambut para bintang panggung. Barikade dilibas dan pagar pembatas dirobohkan; membikin pasukan keamanan kelimpungan.

Ketika yang dinanti akhirnya tiba, penonton berteriak lantang. Di hadapan Iwan Fals, W.S. Rendra, Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo, dan Setiawan Djody, mereka ngalap berkah.

Disokong Orang Kaya

Bagaimana Kantata Takwa bisa terbentuk adalah kisah yang menarik untuk diceritakan ulang. Lebih tepat menyebut Kantata Takwa sebagai padepokan seni, alih-alih grup band yang membawakan pakem rock, sebagaimana band-band yang tumbuh di era Orde Baru pada umumnya.

Konteks penyebutan “padepokan seni” tentu tak bisa dilepaskan dari latarbelakang para personel Kantata Takwa yang beragam rupa. W.S. Rendra, misalnya, adalah penyair dan dramawan yang besar dengan Bengkel Teater; Sawung Jabo merupakan instrumentalis yang punya reputasi mentereng; Yockie Suryoprayogo, komposer dan arranger jenius yang pernah membidani musik Chrisye hingga God Bless; sementara Iwan Fals adalah musisi yang bisa membakar gairah penonton.

Keempat orang tersebut lantas disatukan oleh Setiawan Djody, pengusaha yang doyan berkecimpung di ranah kesenian. Di era Orde Baru, nama Djody identik dengan pengusaha kelas kakap. Bisnisnya, SETDCO Group, merambah bidang telekomunikasi, konstruksi, sampai kelapa sawit. Ia juga dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan Soeharto yang membikin Djody punya pengaruh yang cukup besar. Untuk itulah, Djody berperan sebagai maesenas (penyandang dana) di samping pula jadi salah satu penentu arah kreatif Kantata Takwa.

“Jadi pengusaha bukan hanya profit oriented. Sekarang, buat saya, jadi pengusaha mengisi lubang-lubang aset bangsa ini. Lewat musik, kan, menyuarakan yang kurang-kurang. Karena musik didengarkan orang banyak. Kalau enggak ada musik, paling didengarkan 100 orang. Tapi, dengan Kantata, kita ngomong message-message itu bisa ratusan ribu orang yang dengar,” kata Djody tentang alasannya turun bermusik kepada Republika.

Kisah mula Tantata Takwa berasal dari perkenalan Djody dan Rendra. Djody sudah lama jadi donatur Bengkel Teater. Aliran duitnya bahkan berjasa dalam membawa Bengkel Teater melakoni pementasan di negeri Abang Sam. Dari situ, ia kemudian berkenalan dengan Sawung Jabo. Djody kagum dengan sikap kritis Jabo terhadap rezim. Bersama Iwan Fals, mereka lantas mendirikan Swami, yang melejit lewat lagu bertajuk “Bongkar.”

Namun, Djody terus menggali sisi kreatifnya. Pada satu kesempatan, ia berjumpa dengan Yockie Suryoprayogo yang saat itu telah merampungkan tur bersama God Bless. Keduanya ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya Djody mengajak Yockie untuk bikin proyek baru.

“Setelah ketemu dengan Setiawan Djody, saya menyayangkan kalau kita bikin band yang seperti itu-itu saja,” Yockie bilang. “Saya ingin ini jadi sesuatu yang punya makna lebih dalam dari sekadar main musik. Kebetulan juga saya dikenalkan dengan W.S. Rendra.”

“Kami ngobrol, merumuskan, ‘Yuk, kita bikin kelompok musik yang bicara mengenai masalah sosial, politik, ekonomi, dan segala macam.’”

Dari situ, lahirlah Kantata Takwa.

Menyiasati Rezim

Usai terbentuk, Kantata Takwa langsung tancap gas di dapur rekaman. Yockie, Jabo, dan Iwan bertugas menggarap aransemen musiknya. Sedangkan Rendra dan Djody lebih berfokus pada penulisan lirik, demikian tulis Raka Ibrahim dalam “Menyanyikan Lagi Kantata Takwa” (2016) yang dipublikasikan Jurnal Ruang. Proses rekaman tak sekadar melibatkan personel asli, melainkan juga para musisi tambahan seperti Raidy Noor, Embong Rahardjo, serta Donny Fattah.

Proses tersebut akhirnya menghasilkan mahakarya bertajuk Kantata Takwa, yang dirilis pada 1990. Lewat album ini, Kantata Takwa memainkan banyak warna musik. Pop disikat, rock pun dihajar habis. Semua dibungkus secara rapi dan terkonsep. Mendengarkan keseluruhan album Kantata Takwa ibarat seperti menyaksikan pementasan opera yang mengajak kita menyelami satu demi satu dimensi yang ada.

Selain musikalitas yang unggul, album ini juga punya muatan kritik yang kuat. Tiap nomor merupakan representasi dari apa yang sedang terjadi di Indonesia pada masa itu, kala Orde Baru belum menandakan tanda-tanda bakal runtuh, dan apa yang diharapkan di masa mendatang masihlah sebatas angan. Lewat “Kesaksian,” “Balada Pengangguran,” sampai “Paman Doblang,” Kantata Takwa menyerang perilaku buruk aparat, pemerintah yang korup, dan keculasan rezim yang menyebabkan kesengsaraan masyarakat. Lirik-lirik itu tajam, meluncur dengan cepat, dan tepat menyasar di ulu hati penguasa.

Kesadaran adalah matahari,” gema koor massal Bengkel Teater di antara rapalan kata-kata Jabo, pukulan perkusi yang ritmis, serta alunan keyboard Yockie yang sungguh magis.

Kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata!”

Dengan lagu-lagu yang sengaja dibikin untuk menyerang penguasa, konsekuensi paling buruk yang bisa mereka terima ialah dibungkam. Akan tetapi, berkat pengaruh Djody, Kantata Takwa relatif aman terkendali dari risakan rezim.

“Paling yang menanyakan kepada saya Pangab [Panglima ABRI] pada saat itu, Jenderal Benny Moerdani. Beliau tanya, ‘Kantata artinya apa, Djod? Kenapa [judulnya] “Orang Kalah”? Yang kalah siapa?’ Semua pertanyaan itu saya jawab. Jadi, begitu gunanya saya di Kantata Takwa,” kenang Djody.

Meski demikian, terang Andreas Harsono dalam “Dewa dari Leuwinanggung” (2002) yang terbit di Pantau, tak semua pihak suka dengan kolaborasi yang disajikan Kantata Takwa. Para penggemar Iwan Fals, contohnya, menilai idolanya kehilangan jati diri selepas bergabung dengan Kantata Takwa. Sementara suara ketidaksukaan yang lain ditujukan pada sosok Djody yang dianggap kelewat mendominasi keseluruhan proyek.

Suara-suara sumbang tersebut nyatanya tak mampu menghentikan niat Eros Djarot untuk membikin film tentang Kantata Takwa. Bersama Gatot Prakosa, Eros mengikuti perjalanan konser Kantata Takwa di Jakarta, Solo, dan Surabaya. Hasilnya yakni film semi-dokumenter yang menggabungkan footage konser, narasi fiktif, lagu-lagu protes dan pemujaan kepada Islam, hingga monolog dari Rendra berjudul (lagi-lagi) Kantata Takwa.

David Hanan dan Suzan Piper dari Monash University mengatakan bahwa film ini menghadirkan banyak adegan alegori yang mendramatisir penindasan politik dan dilema seniman pada saat itu. Rendra, si Burung Merak, punya andil cukup besar untuk membungkus narasi-narasi di film dengan aksi teatrikal yang mumpuni. Berkat Rendra, film Kantata Takwa punya energi, mimpi, sekaligus suara ketidakpuasan yang menyerang ekses Orde Baru di bawah komando Soeharto.

“Saya menggarap film ini sembari menerjemahkan puisi-puisi Rendra, sebab kalau sekadar membuat film dokumenter, ya, pinjam rekaman TVRI saja,” ucap Eros kepada CNN Indonesia.

Infografik Kantata Takwa

Infografik Kantata Takwa

Walaupun dibikin pada awal dekade 1990-an, film Kantata Takwa tak pernah bisa dinikmati sampai 2008, melewati tiga rezim kepemimpinan berbeda, dari Soeharto, Gus Dur, sampai SBY. Spekulasi ihwal mengapa film ini tak bisa diputar lantas berkembang, termasuk anggapan bahwa film Kantata Takwa dilarang beredar karena terlalu vokal menyerang Orde Baru. Faktanya, alasan pendanaan merupakan faktor utama yang menyebabkan film Kantata Takwa harus mangkrak selama belasan tahun.

Memasuki akhir 1990-an, seiring dengan kolapsnya Orde Baru, eksistensi Kantata Takwa juga ikut-ikutan memudar. Dua hal yang memicunya: kesibukan masing-masing personel dengan proyeknya serta mulai seretnya pasokan rupiah dari Djody.

“Harus diakui bahwa selepas Setiawan Djody sebagai pengusaha berfungsi menjadi maesenas, ketika dia membiayai Kantata, biayanya besar sekali,” jelas Yockie. “Tentu itu berdampak pada kemampuan finansial dia. Itu antara lain kenapa Kantata Takwa mati suri selama 17 tahun.”

Membicarakan Kantata Takwa, pada akhirnya, adalah berbicara tentang kelompok seni yang mewadahi pengejawantahan kreativitas dari sensitivitas sosio-estetik para personelnya. Pandangan yang kuat lagi kritis terhadap dinamika yang berkembang menjadikan Kantata Takwa sebagai wujud representasi baru atas perjalanan panjang serta gelombang kehidupan masyarakat Indonesia di bawah rezim Orde Baru.

Untuk Kantata Takwa, berkesenian, dalam hal ini menggunakan medium musik, adalah ruang untuk menyampaikan gagasan mengenai potret kehidupan, dari yang paling religius sampai tragis, keadilan, kebebasan, serta kekejaman penguasa. Kantata Takwa dan lagu-lagunya merefleksikan upaya manusia dalam mencari jalan keluar sekaligus pulang di tengah kebesaran Tuhan dan pemerintahan yang tiran.

Baca juga artikel terkait MUSIK ROCK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono