Menuju konten utama

Kans Masyarakat Menang Gugatan UU Ciptaker di MK Rendah?

Masyarakat akan menggugat Cipta Kerja ke MK. Masalahnya, kans untuk menang relatif kecil dengan mempertimbangkan sejumlah faktor.

Kans Masyarakat Menang Gugatan UU Ciptaker di MK Rendah?
Suasana sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dilakukan secara virtual di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.

tirto.id - UU Cipta Kerja, sebuah aturan yang disusun menggunakan metode omnibus, akhirnya disahkan Senin (5/10/2020) lalu, kendati dihujani penolakan dari banyak kalangan. Karena itu, UU ini sangat mungkin digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para penggugat sangat mungkin berasal dari banyak bidang. Pasalnya, UU ini juga memengaruhi dan akan berdampak ke banyak sektor: dari mulai hukum, perburuhan, lingkungan, hingga pendidikan.

Universitas Islam Indonesia (UII) saja sudah menyatakan ini pada Maret lalu. Alasan mereka saat itu: "RUU Cipta Kerja memiliki problem prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius." Dengan kata lain, dinilai tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU alias cacat formil.

Satu hari setelah UU Cipta Kerja disahkan, rencana serupa disampaikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). "Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat UU ini ke MK," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika lewat keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).

Mereka menilai UU ini bertentangan dengan konstitusi karena mendorong liberalisasi sumber-sumber agraria dan sistem pasar terhadap tanah.

Di sisi lain, Pemerintah dan DPR--yang tertutup selama berbulan-bulan pembahasan--juga meminta publik "menempuh jalur hukum" ketimbang harus ke jalan menolak UU Cipta Kerja. Setidaknya, itu yang diucapkan Menkopolhukam Mahfud MD, kemarin lusa. Wakil Ketua DPR RI Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin pun mengatakan tak masalah jika peraturan ini digugat. Toh sebagian besar produk DPR memang coba dibatalkan.

"Kalau kita lihat data sistemnya di MK, yang digugat itu hampir 90 persen," kata Azis saat ditemui para wartawan, Selasa siang.

Potensi Kekalahan di MK?

Ada dua jenis gugatan yang diakui MK: uji formil dan uji materiil. Uji formil terkait proses pembuatan UU itu: mekanisme, transparansi, hingga keterlibatan warga di dalamnya. Jika uji formil dikabulkan MK, otomatis UU yang digugat akan batal. Sedangkan uji materiil adalah gugatan mengenai pasal-pasal di UU yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi. Jika uji materiil dikabulkan MK, hanya pasal tertentu di dalam UU yang digugat saja yang akan batal.

Dosen hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan uji formil sangat mungkin dilakukan karena "begitu banyak hal dilanggar, seperti risalah yang tidak pernah disampaikan ke publik, misalnya."

Kepada wartawan Tirto, Selasa siang, ia juga mengatakan gugatan materiil dapat dilakukan. Baik uji formil atau materiil dapat dilakukan karena memang ada potensi masalah di kedua ranah itu.

Jika gugatan formil diajukan, maka para penggugat akan dihadapkan pada dua masalah sekaligus.

Pertama adalah masalah teknis yuridis. Sejak didirikan pada 2003, MK belum pernah sekalipun mengabulkan uji formil. Memang pada 2010 silam pernah ada gugatan uji formil terkait UU Mahkamah Agung. namun putusannya buruk dan cenderung dualistis, katanya.

"Putusannya menyebut, benar terjadi pelanggaran formil dalam penyusunan dan itu fatal, tapi karena UU sudah berjalan dan berguna jadi tidak bisa dibatalkan. Itu kontradiktif. Membunuh pengujian formil," katanya.

Ia pesimistis melihat MK akan mengabulkan gugatan formil dengan berkaca pada kasus gugatan UU KPK. "Kalau kita uji formil UU Cipta Kerja, jangan-jangan barometernya adalah bagaimana MK memutuskan uji formil revisi UU KPK, karena relatif mirip dan serupa kasusnya--tak ada transparansi saat pembentukan. Kita lihat bagaimana MK memutuskan UU KPK, kelihatan proyeksi ke depannya," katanya. Permohonan tersebut akhirnya ditolak MK.

Kedua, masalah politis. Beberapa waktu lalu DPR RI dan Pemerintah merampungkan revisi UU MK yang salah satu perubahannya adalah memperpanjang masa jabatan hakim hingga berumur 70 tahun. Zainal menyebut revisi UU MK ini "isinya cuma pil tidur untuk para hakim MK."

Untuk membuktikan itu, menurutnya, patut disimak bagaimana para hakim memutuskan uji formil revisi UU MK, yang baru saja didaftarkan.

"Misalnya hakim MK menolak permohonan para pemohon di UU MK, berarti mereka menerima 'pil tidur' itu. Kemungkinan uji formil Cipta Kerja mereka akan 'tidur' juga," katanya. "Kalau di UU MK mereka berani menunjukkan sikap kenegarawannya bahwa UU ini tidak benar, saya pikir ada harapan."

Kekhawatiran serupa juga datang dari pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti. Menurutnya karena revisi UU MK, terutama dengan 'mengunci' beberapa hakim agar bisa bekerja lebih lama lagi, MK telah dirancang sedemikian rupa untuk semakin erat bersimbiosis dengan legislatif dan eksekutif.

"Patut dibaca bahwa ini upaya untuk 'menjinakkan MK'. Coba cek live streaming sidang revisi UU KPK, itu kelihatan hakim-hakim mana yang sangat bias dan menyudutkan pemohon. Ini bisa terjadi terus dan mungkin makin menguat," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa siang.

Dugaan Bivitri bukan tanpa preseden. Selain soal revisi UU MK, Presiden Joko Widodo juga sudah jauh-jauh hari meminta bantuan agar MK juga turut serta membantu pemerintah yang tengah merancang omnibus law--kendati itu hanya pernyataan politis.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino