Menuju konten utama

Kanker Makin Kerap, Perlukah Indonesia Bikin Peta Kanker ala Cina?

Peta kanker bisa membantu memprofilkan apa faktor risiko kanker di suatu wilayah dan mencari penanggulangannya.

Kanker Makin Kerap, Perlukah Indonesia Bikin Peta Kanker ala Cina?
Ilustrasi Kanker Paru-paru. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Meninggalnya Ketua Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho karena kanker membuat sejumlah pihak mendorong pemerintah menerapkan peta kanker Indonesia. Seperti di Cina, penetapan peta kanker akan memudahkan pemerintah mendeteksi jenis-jenis kanker, wilayah, dan membuat langkah penanggulangannya.

Sutopo selama ini dikenal sebagai pribadi yang cukup menerapkan pola hidup sehat. Ia tidak merokok dan rajin berolahraga. Namun, Sutopo bekerja di lingkungan kerja perokok sehingga ia menjadi perokok pasif. Ia menjadi contoh bahwa kanker tak memilih kawannya. Orang dengan gaya hidup sehat pun bisa mengembangkan penyakit ini, apalagi mereka yang belum tertata pola hidupnya.

Setelah berjuang melawan kanker paru-paru stadium akhir, Sutopo meninggal dunia di Rumah Sakit St. Stamford Modern Cancer, Guangzhou, Cina, Minggu (7/7/2019).

Kepergian Sutopo menimbulkan duka bagi banyak orang, sekaligus menyadarkan bahwa insiden kematian akibat kanker semakin sering terjadi di sekitar kita. Sementara itu, di sisi lain, negara kita belum menetapkan kanker sebagai penyakit genting yang harus mendapat fokus untuk ditangani secara khusus.

Kematian Sutopo menjadi pemantik bagi Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mendesak pemerintah membuat peta kanker. Meniru langkah Pemerintah Cina menerapkan peta kanker demi meredam penyakit kanker yang menjangkiti negara itu.

“Peta kanker tersebut sangat penting, sebagai basis dasar pembuatan peta jalan penanggulanan kanker di Indonesia,” ujarnya, melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin(8/7/2019).

Proyeksi Kejadian Kanker di Indonesia

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, angka kejadian penyakit kanker di Indonesia mencapai 136.2/100 ribu penduduk. Jumlah tersebut menempati urutan kedelapan di Asia Tenggara, sedangkan di Asia urutan ke-23. Angka kejadian tertinggi di Indonesia untuk laki laki adalah kanker paru, sebesar 19,4 per 100 ribu penduduk, dengan rata-rata kematian 10,9 per 100 ribu penduduk.

Urutan kanker selanjutnya yang sering menjangkiti pria adalah kanker hati sebesar 12,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 7,6 per 100 ribu penduduk. Sedangkan angka kejadian tertinggi untuk perempuan adalah kanker payudara yaitu sebesar 42,1 per 100 ribu penduduk, dengan rata-rata kematian 17 per 100 ribu penduduk. Diikuti kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100 ribu penduduk.

Berdasar data Riskesdas, prevalensi tumor/kanker di Indonesia meningkat dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Prevalensi kanker tertinggi adalah di provinsi Yogyakarta 4,86 per 1000 penduduk, diikuti Sumatera Barat 2,47 per 1000 penduduk, dan Gorontalo 2,44 per 1000 penduduk.

Mengekor Peta Kanker Cina

Cina memiliki sejarah panjang perjuangan melawan kanker. Di negara ini, kanker menjadi golongan penyakit tidak menular yang menjadi penyebab utama kematian masyarakat. Tingkat kelangsungan hidup kanker di Cina dua kali lipat lebih rendah dari Amerika, yakni 30,9 persen berbanding 66 persen. Ada sekitar 3,12 juta orang di Cina didiagnosis menderita kanker pada tahun 2015. Artinya, sebanyak 8,5 ribu orang per hari terdiagnosis penyakit ini setiap hari.

Penyakit tidak menular di Cina, termasuk di dalamnya kanker, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung dan penyakit pernapasan menjadi 68,6 dari total beban penyakit. Dari 10,3 juta kematian setiap tahunnya, penyakit tidak menular, mengambil porsi penyebab kematian hingga lebih dari 80 persen.

Lantaran statistik menunjukkan kanker menjadi masalah utama dan ancaman kesehatan terbesar penduduk Cina, maka pada dekade 1970-an, Cina membuat langkah besar mempelajari berbagai jenis kanker di negara tersebut. Informasi ini kemudian dibukukan dan disebarkan pada kelompok biomedis Barat. Buku Kanker (1978) milik Cina melaporkan etiologi, pencegahan, diagnosis, dan pengobatan kanker di Cina.

Lalu pada tahun 1980, Cina melakukan survei kanker nasional secara besar-besaran dan terdeskripsi dalam peta. Peta kanker Cina berisi catatan jenis kanker beserta lokasi para pengidapnya. Peta tersebut dijadikan acuan untuk menelisik faktor penyebab kanker kemudian pemerintah Cina membuat kebijakan pencegahan kanker berdasar faktor-faktor tersebut.

Misal, jenis kanker paru-paru banyak diidap oleh warga di daerah Yunnan, Gejiu, dan Xuanwei. Polusi di daerah ini diyakini berkontribusi pada risiko kanker paru-paru, tapi, rokok diyakini menjadi faktor penyebab utama kanker jenis ini. Akhirnya pelan-pelan pemerintah Cina melakukan pengendalian tembakau.

“Baru-baru ini (tahun 2014) mereka merilis Peraturan Pengendalian Tembakau Nasional yang melarang merokok di semua tempat umum dalam ruangan,” tulis penelitian yang terbit di Jurnal AACR (2015).

Lalu angka kejadian kanker serviks paling tinggi pada warga Changde, Hunan, Jingan, dan Jiangxi. Sebanyak 20 persen dari kasus kanker serviks dunia berasal dari Cina. Pada tahun 2016 lalu, pemerintah Cina juga baru menyetujui kerjasama pasokan vaksin HPV untuk pencegahan kanker serviks. Selanjutnya, statistik kanker perut berada di daerah Linqu, Changle, Fujian, dan Shandong.

“Pemerintah Cina telah mensponsori beberapa program skrining skala besar dan kecil untuk deteksi dini kanker serviks, payudara, dan kanker lainnya, serta program vaksinasi HBV.”

Kejadian tertinggi pada kanker kolorektal terpetakan berada di Jiashan dan Zhejiang. Kemudian angka diagnosis tertinggi kanker hati ditemukan pada sebagian besar provinsi yang berbatasan dengan laut, Qidong, Fusui, dan Guangxi. Kanker nasofaring terdeteksi banyak ditemukan di Cangwu, Guangxi, Sihui, Guangdong. Terakhir adalah kanker kerongkongan, dengan kejadian tertinggi di Henan, Linxian, Yangcheng, dan Shanxi.

Lalu apa relevansi peta kanker itu? “Di tahun 1970 Cina mempublikasikan ‘Lima Tindakan Pencegahan’ untuk kanker kerongkongan di Linxian,” tulis peneliti.

Tindakan tersebut berupa pencegahan kontaminasi jamur tertentu yang menghasilkan zat karsinogenik, misalnya jamur aflatoksin. Tindakan lain adalah mengeliminasi nitrosamin (zat karsinogenik tembakau) dari makanan, menerapkan pola makan sehat, dan mengobati lesi pra-kanker. Pemerintah Cina juga meminta warga di daerah tersebut menggunakan pupuk molibdenum.

Infografik Kanker Di cina

Infografik Kanker Di cina. tirto.id/Quita

Pupuk ini berfungsi untuk menurunkan kandungan nitrit dan nitrat—yang oleh WHO dikelompokkan menjadi zat karsinogenik—serta meningkatkan kadar vitamin C pada tanaman. Konsentrasi molibdenum tanah yang rendah menghasilkan defisiensi molibdenum yang terkait dengan peningkatan risiko kanker kerongkongan.

“Kanker lambung, kerongkongan, nasofaring, dan serviks mengalami penurunan kematian. Sementara mortalitas kanker payudara dan paru-paru pada perempuan meningkat. Tingkat kematian akibat leukemia relatif stabil,” demikian penelitian dalam jurnal Annals of Oncology melaporkan perkembangan kanker di Cina dari tahun 1987 hingga 2009.

Dengan membuat peta kanker seperti di Cina, Indonesia bisa lebih mungkin mengatasi kanker secara fokus dan spesifik. Harapannya tentu saja mengurangi beban kesehatan negara, meningkatkan kualitas, dan harapan hidup masyarakat.

Baca juga artikel terkait KANKER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani