Menuju konten utama

Kandasnya TPP di Tangan Donald Trump

Donald Trump tegas akan membatalkan TPP. Amerika tidak akan bergabung dalam perjanjian perdagangan ini. Namun, sejumlah negara di Pinggiran Pasifik tak tinggal diam. Apa yang akan mereka lakukan?

Kandasnya TPP di Tangan Donald Trump
Pertemuan negara-negara anggota Trans-Pasific Partnership (TPP) di Auckland, Selandia Baru. REUTERS

tirto.id - Donald Trump akhirnya membeberkan rencana kerjanya untuk 100 hari pertama. Tak seperti para pendahulunya yang mengumumkannya secara formal, Trump memilih jejaring sosial untuk menjabarkan rencana kerjanya. Ia mengungkapkannya secara singkat melalui video berdurasi 2,37 menit yang diunggah di Youtube.

Dalam video yang dibuat pada 21 November itu, Trump ternyata tidak menyinggung masalah-masalah yang sebelumnya dianggap kontroversial seperti pembangunan tembok di perbatasan Amerika-Meksiko dan juga Obamacare.

Yang mengejutkan justru berkaitan dengan kesepakatan perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP). Ikrarnya untuk menarik Amerika Serikat dari pakta perdagangan Trans-Pasific Partnership alias TPP kembali ia tegaskan dalam video itu. Tak main-main, hal ini bahkan adalah janji pertama yang ia katakan dalam video berjudul “Sebuah Pesan dari Presiden Terpilih Donald J. Trump”.

“Ini [TPP] adalah potensi bencana besar bagi negara kita [Amerika],” tegas Trump. Ia menegaskan, Amerika tidak akan melakukan negosiasi ulang untuk kesepakatan TPP ini.

“Sebaliknya, kami akan menegosiasikan kesepakatan bilateral perdagangan yang adil, yang bisa menciptakan lapangan kerja dan industri ke Amerika,” tegasnya.

Bisakah ia melakukannya? Jawabannya, iya. Sejak perjanjian yang digagas oleh pemerintahan Obama dan sejumlah negara di Pinggiran Pasifik itu dibuat, Kongres Amerika memang belum menandatanganinya. TPP baru sah setelah diratifikasi.

Dalam kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden, Barack Obama mengatakan bahwa ia memang sudah menyerah mencari persetujuan kongres atas TPP. Padahal, tujuan Obama menggagas pakta perdagangan ini agar Amerika dapat memimpin standar perdangan internasional yang diharapkan lahir dari TPP.

Tentu tindakan ini mengundang pandangan sinis dari negara-negara terkait. Salah satunya John Key, Perdana Menteri Selandia Baru. Seperti dikutip dari NZ Herald, Key berujar sinis pada reporter menanggapi keputusan Trump, “Amerika Serikat itu bukan cuma sebuah pulau. Mereka tak bisa cuma duduk tenang dan bilang bakal enggak jual-beli sama penduduk bumi lainnya.”

“Dalam titik-titik tertentu mereka pasti akan mempertimbangkan lagi. Tapi pada dasarnya, kita sedikit kecewa.”

Hal yang sama juga dikemukakan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Menurutnya, TPP tak akan ada artinya tanpa kehadiran Amerika. Sebab, Amerika adalah pasar yang luas dan menggiurkan dari kacamata perdangan Jepang.

Aturan TPP yang ditandatangani 5 Oktober lalu di Selandia Baru memang mensyaratkan ratifikasi oleh setidaknya enam negara yang mencapai 85 persen PDB dari 12 negara yang tergabung TPP. Kedua belas negara tersebut ialah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Cile, Peru, dan empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam.

Infografik Nasib TPP yang ditolak Trump

TPP merupakan kesepakatan perdagangan yang ditujukan untuk memperkuat kerja sama ekonomi dari 12 negara yang menyetujuinya itu. TPP akan memungkinkan pemangkasan tarif dan mendorong perdagangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kesepakatan ini didesain untuk nantinya menciptakan sebuah pasar tunggal baru, menyerupai Uni Eropa.

TPP sudah pasti merupakan sebuah kesepakatan besar. Sebanyak 12 negara yang menyepakati itu tercatat memiliki total penduduk sebanyak 800 juta, dua kali lipat dari pasar tunggal Uni Eropa. Negara-negara itu juga tercatat menguasai 40 persen perdagangan dunia.

Kesepakatan itu merupakan sebuah langkah besar karena bisa menyatukan negara-negara yang memiliki pendekatan dan standar berbeda dalam perdagangannya. Dalam kesepakatan ini, sebanyak 18.000 tarif akan terkena. Beberapa negara masih mempertahankan tarif perdagangan untuk melindungi produk dalam negerinya

Agar efektif, kesepakatan TPP harus diratifikasi pada Februari 2018 oleh paling tidak enam negara yang menguasai 85 persen perekonomian dari 12 negara yang menyepakatinya. Amerika tercatat menguasai 60 persen PDB dari 12 negara itu, dan Jepang punya kurang lebih 20 persen. Sehingga jelas, syarat terbentuknya TPP harus dengan keikutsertaan Amerika dan Jepang. Karena itu, keluarnya Amerika dari kesepakatan jelas membuat TPP layu sebelum berkembang.

Selama pertemuan di Peru yang juga turut dihadiri pemimpin negara di Asia-Pasific, terbersit rencana untuk memperbarui TPP. Pilihannya ada dua yakni merancang ulangnya untuk menarik perhatian Trump atau merakit ulang tanpa keterlibatan AS sama sekali.

Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull tampaknya jadi yang paling optimistis TPP akan berlanjut. Turnbull mengatakan, selagi Trump bisa memutuskan nasib bangsanya, 11 anggota TPP lainnya juga bulat sepakat meratifikasi TPP supaya segera berlaku.

Terkait TPP ini, Indonesia sebenarnya pernah ditawari masuk ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjadi presiden. Tapi ia menolak, sebab menilai keuntungan TPP tak lebih besar dari mudaratnya bagi Indonesia. Namun, pandangan ini bersebrangan dengan Presiden Joko Widodo.

Pertemuannya dengan Obama Oktober tahun lalu di Gedung Putih, Presiden Jokowi menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dengan TPP. Namun, setelah muncul polemik di dalam negeri, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia bukan akan bergabung, tetapi baru sebatas ingin.

“Waktu bertemu dengan Presiden Barrack Obama, saya sampaikan bahwa Indonesia bermaksud akan ikut TPP. Sekali lagi, “bermaksud akan”. Jadi sebetulnya masih jauh, bukan “akan”. Kalau “akan” sudah agak dekat,” kata Presiden Jokowi saat memberikan arahan pada Rapat Pimpinan TNI, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (16/12)

Presiden menyebutkan kehati-hatiannya itu juga diungkapkannya dalam pemilihan bahasa yang digunaannya saat bertemu Presiden Barack Obama, di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, akhir Oktober lalu. “Sampai Inggrisnya kemarin kita pilih “intend to join“, sampai tanya bolak balik ke Bu Menteri (Menlu, red) bukan “will join“. Pemilihan kata-kata saja nanti kalau keliru bisa repot,” ungkapnya.

Polemik tentang TPP akan kembali muncul setelah Donald Trump menyatakan Amerika akan menarik diri dari kesepakatan itu. Harapan terciptanya sebuah pasar tunggal baru kandas di tangan Trump. Sebelas negara lainnya jelas kecewa. Namun, tidak dengan Amerika. Donald Trump sebagai presiden Amerika yang baru jelas menyampaikan pesannya bahwa mereka tak mau membuat kesepakatan perdagangan yang merugikan Amerika. Tak peduli apakah itu akan merugikan negara lain.

Baca juga artikel terkait TPP atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Artikel Terkait