Menuju konten utama

Kampus UIII Jadi Ambisi Jokowi yang Menggusur Massal Lahan Warga

Direncanakan bertaraf internasional, pembangunan UIII di Depok meninggalkan penggusuran lahan warga minim ganti rugi.

Kampus UIII Jadi Ambisi Jokowi yang Menggusur Massal Lahan Warga
Sebuah alat berat merobohkan rumah warga yang terletak di sebelah Rumah Sakit Sentra Medika untuk pembangunan Kampus UIII. (tirto.id/Riyan Septiawan)

tirto.id - Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) adalah proyek ambisius Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jokowi secara simbolis meletakkan batu pertama pembangunan kampus itu pada 5 Juni 2018. Kini batu pertama itu telah tertimbun urukan tanah dan tumpukan paku bumi yang belum ditancapkan.

Kampus yang dicanangkan sebagai pusat peradaban Islam Indonesia itu menyisakan masalah penggusuran massal warga.

Pada 22 Agustus 2019, Jusuf Kalla berkata pembangunan kampus masih terkendala pembebasan lahan: Hunian warga dan tower milik RRI.

Di lahan sekitar 142,5 hektare itu, saya bertemu dengan Sunarto. Sejak 2001, lelaki berusia 40 tahun itu tinggal di RT02/RW14 Kampung Bulak, Cisalak, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Di kampung itu, lebih banyak pepohonan daripada rumah warga. Tanahnya merah, tak beraspal. Jika turun hujan, licin dan banyak kubangan air.

Sunarto kini tinggal beratap terpal biru, berukuran 2x1 meter persegi yang dibentuk seperti tenda Pramuka amatiran. Alasnya rangkaian potongan bambu. Tenda itu ia bangun sebagai hunian sementara usai rumah tinggalnya luluh lantak, digilas alat berat disertai pengerahan 2.659 personel aparat gabungan (Linmas, TNI, Polri, dan Satpol PP) pada 8 November 2019.

Hunian sementara itu hanya berjarak empat meter dari rumahnya, yang semula seluas 400 meter persegi. Fungsinya untuk menjaga agar tak ada penjarahan, sembari perlahan memilah perabotan bekas rumahnya di antara reruntuhan.

Kerugiannya akibat penggusuran sekitar Rp100 juta. Domba yang ia ternak ada yang mati karena penggusuran.

"Sisanya [kambing] saya amankan ke daerah Sukabumi di tempat saudara," kata Sunarto kepada saya, Selasa pekan ini (12/11/2019).

Sedangkan anak dan istrinya, diungsikan Sunarto ke rumah kerabatnya, sekitar 50 meter dari kediamannya yang telah digusur. Penggusuran itu, kata dia, memengaruhi psikis putranya yang masih TK.

"Belum ada rencana pindah rumah atau pun pindah sekolah untuk anak karena faktor keterbatasan dana. Harapan kepada Pemerintah Kota Depok dan pemerintah Indonesia, mohon diperhatikan nasib saya. Kalau bisa ada ganti rugi biaya kerahiman," tuturnya.

Sunarto mengaku rumahnya, di atas tanah berstatus hak guna pakai, dibongkar paksa tanpa sosialisasi rinci dan surat peringatan dari pemerintah daerah.

"Saya kaget buldoser datang robohin rumah saya. Waktu itu saya minta penundaan satu hari untuk bongkar kandang agar bisa dimanfaatkan kembali, tapi tidak ada respons," keluhnya.

Samar-samar, ia sempat mendapatkan informasi penggusuran. Namun, sejauh yang ia tahu, target penggusuran hanya di kawasan pemancar Radio Republik Indonesia. Lokasi itu berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya.

Memang selama menetap, Sunarto mengaku tak pernah bayar Pajak Bumi Bangunan (PBB). Ia hanya membayar iuran rutin RT/RW dan aliran listrik PLN.

Sunarto mendirikan hunian sementara beratap terpal. (tirto.id/Riyan Septiawan)

Sunarto mendirikan hunian sementara beratap terpal di bekas lahan dia yang digusur demi pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia . (tirto.id/Riyan Septiawan)

Diberangus Tanpa Surat Peringatan

Korban penggusuran lain yang saya temui adalah Arifin, 57 tahun, yang tinggal bersama ayahnya di sebelah Rumah Sakit Sentra Medika, Depok, sejak 1980-an.

Kini ia tak tahu harus tinggal di mana lagi. Rumahnya telah dilumatkan alat berat pada Rabu (13/11/2019) kemarin.

Selain itu, lahan lain miliknya, seluas 4.000 meter persegi, berupa rumah kontrak juga luluh lantak. Di lahan ini Arifin tinggal bersama istri dan dua orang saudaranya.

"Perasaan saya ngambang, sakit batin kami. Mungkin nanti kami di sini tidur bikin tenda atau di mana nanti sambil cari tempat tinggal. Barang-barang dititip ke teman," kata Arifin kepada saya.

Sekitar 10 hari menjelang penggusuran, kata Arifin, ia mendapatkan surat dari Pemerintah Kota Depok. Tetapi, kata dia, tak jelas subjek yang ditujukan dari surat itu.

Karena bukan ditujukan kepadanya, Arifin meminta surat itu dikirim ke kantor Badan Musyawarah Pemilik Tanah Verponding Seluruh Indonesia (BMPTV-SI), letaknya masih di Kampung Bulak.

"Tiba-tiba empat hari setelah itu, alat berat datang mau pembongkaran hari Sabtu [9 November]. Saya dan warga menolak dan mereka [petugas gabungan] mundur. Kami tolak karena tidak ada surat peringatan pertama sampai surat peringatan ketiga," ucapnya.

Setelah bernegosiasi, akhirnya ia dan warga lain diberi peringatan: Senin atau Selasa pekan ini, 11 dan 12 November, penggusuran akan dilakukan. Namun, warga menghalangi penggusuran.

Alasan menolak penggusuran, kata pria yang menjabat Panglima BMPTV-SI, karena lahan yang ia huni merupakan tanah verponding—hak tanah dari peninggalan Belanda. Berdasarkan catatannya, ada sekitar 60 hektare tanah Verponding yang ditempati warga.

Ia menerangkan dasar hukum tanah tersebut verponding karena terdapat bekas bangunan Belanda di lokasi Kampung Bulak. Kemudian, tanah peninggalan ini tertera dlam UU 1/1958 (PDF) dan Keppres 32/1979 Pasal 4 dan 5 (PDF). Tanah itu diprioritaskan untuk rakyat yang mendudukinya.

"Sementara mereka [pemerintah] menggunakan Perpres 62/2018 tentang tanah negara. Menurut kami, ini bukan tanah punya negara, tapi tanah yang dikuasai negara," terangnya.

Tanah verponding merupakan salah satu produk hukum pertanahan pada era kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pengakuan hak kepemilikan tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Lalu, menurut UU 5/1960 (PDF), jenis tanah itu harus dikonversi menjadi jenis hak tanah yang sesuai.

Di dalam UUPA memang tidak mengatur tata cara konversi hak atas tanah. Meski demikian, setelah pemberlakuan UUPA, setiap orang wajib mengonversi hak atas tanah verponding menjadi hak milik, selambat-lambatnya pada 24 September 1980.

Tujuan dikonversi karena tanah verponding dari peninggalan sistem hukum perdata Barat. Sedangkan UUPA ditujukan sebagai hukum agraria nasional, berbeda dengan hukum agraria sebelumnya.

Hingga lahannya digusur, Arifin mengaku tidak mendapatkan biaya ganti rugi sama sekali. Bahkan, jika pun ada, ia akan menolak sebelum ada kesepakatan yang sesuai antara pemerintah dan warga.

"Sementara kami kumpul dulu bersama warga untuk ... apakah akan mengajukan gugatan ke pengadilan," ucapnya.

Pembangunan Kampus UIII

Jembatan untuk akses warga ke lahan mereka dihancurkan menggunakan buldoser sampai ambruk ke dalam sungai. Lahan warga itu dikosongkan paksa demi pembangunan UIII. (tirto.id/Riyan Septiawan)

Jika Menolak Penggusuran, Tak Dapat Ganti Rugi?

Endang Dhea, 42 tahun, yang tinggal di lahan 429 meter persegi di Kampung Bulak sejak 2015, menjelaskan ia mendapatkan ganti rugi dari pemerintah lantaran bersikap kooperatif dan mengikuti Perpres 62/2018 (PDF). Lahan yang ditempati Endang digunakan sebagai tempat tinggal, berkebun cabai, dan berternak unggas.

Endang mendengar rencana penggusuran dari pengurus RT/RW setempat pada 2017. Saat itu belum ada kesepakatan biaya ganti rugi yang akan diterimanya.

Pada Oktober 2019, Tim Terpadu Penertiban Lahan UIII Depok bentukan Kemenag datang mengukur luas perkebunan dan usaha yang dimiliki oleh ibu satu anak itu.

"Pada pertemuan pertama dengan pihak Kemenag, kami menolak biaya yang ditawarkan oleh pemerintah. Karena nilainya tidak sesuai," kata Endang kepada saya.

Akhirnya, ia dan beberapa warga lain meminta bantuan Komnas HAM untuk melakukan mediasi dengan pemerintah.

Namun, mendadak Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terbit pada September 2019. Isinya perincian nominal biaya kerahiman tersebut.

"Belum ada perincian biayanya, tapi ujug-ujug suruh tanda tangan, sedangkan kami tidak tahu berapa besarnya [biaya ganti rugi] dan tidak ada transparansi. Warga tidak bisa negosiasi karena SK dari gubernur sudah turun. Akhirnya kami pasrah," terangnya.

Meski telah tanda tangan, warga tidak menerima uang begitu saja dari Pemerintah Kota Depok. Warga terus-menerus menagih janji agar Pemkot mencairkan biaya ganti rugi.

"Akhirnya, bulan Oktober 2019, uang saya cair sebesar Rp99.078.000," ujar Endang.

Sesudahnya Endang bersama suami langsung membongkar rumah pada 2 November lalu. Kemudian, ia membangun rumah untuk tinggal sementara sambil merapikan barang-barang tersisa.

"Kemungkinan nanti bakal tinggal di daerah Cilengsi. Tolong caranya [penggusuran] dimanusiakan saja. Kami tahu ini tanah negara, tetapi kami punya anak-anak juga," pungkasnya.

Ia berkata warga lain tidak menerima biaya kerahiman karena menolak digusur.

Total, demi pembangunan kampus ini, ada 366 bidang lahan yg harus dikosongkan.

Satpol PP Kota Depok: Kami Sudah Melakukan Sosialisasi

Kepala Satpol PP Kota Depok Lienda Ratnatulangi mengklaim telah melakukan sosialisasi kepada seluruh warga yang lahan-lahan mereka akan dipakai untuk pembangunan Kampus UIII.

Bahkan, ujar Ratnatulangi, Satpol PP telah melakukan sosialisasi dari pintu ke pintu.

Sosialisasi itu, kata dia, berupa surat pemberitahuan pengosongan lahan pada 5 September 2019. Kemudian, Surat peringatan pertama pada 11 September. Selanjutnya, SP II pada 21 September; SP III pada 1 November.

Terakhir, kata Ratnatulangi, surat pemberitahuan pembongkaran pada 4 November.

"Sosialisasi lisan pembongkaran bangunan area kerja PT Wika Karya dan PT Brantas Abipraya, 9 November 2019. Kami sudah berdasarkan SOP," katanya kepada saya. "Ini, kan, proyek strategis nasional dari Kementerian Agama."

Kementerian Agama menginstruksikan Pemerintah Kota Depok membentuk Tim Terpadu Penertiban UIII. Tim ini juga diketahui oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Tugas Tim adalah mendata warga dengan kriteria telah memanfaatkan lahan itu selama 10 tahun untuk berkebun. Tim membentuk "kelompok independen" yang bertugas menghitung biaya ganti rugi.

Tim itu terdiri dari 759 personel Satpol PP, Dinas Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan; 1.500 personel Polri; 400 personel TNI. Total, ada 2.659 personel gabungan buat eksekusi penggusuran atau pengosongan lahan.

"Dasarnya permintaan dari tim yang melayangkan surat bahwa ada yang harus ditertibkan. Maka, kami melakukan penertiban sesuai dengan data yang diberikan oleh Kemenang," kata Ratnatulangi.

Lahan yang memenuhi kriteria mendapatkan ganti rugi diberi garis polisi, katanya. Lalu, pencairan ganti rugi akan dilakukan tujuh hari usai pengosongan rumah.

"Artinya, harus ditertibkan [jika tak penuhi kriteria] dan tidak mendapatkan santunan," ucapnya.

Ratnatulangi mengklaim telah memberikan surat informasi penggusuran ke Kantor BMPTV-SI. Ia mengakui ada beberapa warga yang menolak digusur karena mereka mendaku menempati tanah Verponding.

"Kami sudah ada videonya [surat sosialisasi]. Itu juga ditolak memberikan tanda terima, terus saya minta dibacakan saja. Kemungkinan warga yang tidak mendapatkan surat karena tidak ditembuskan langsung oleh BMPTV-SI," ujar Ratnatulangi.

Baca juga artikel terkait UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL INDONESIA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Dieqy Hasbi Widhana