Menuju konten utama

Kampung Jawa Tondano, Tempat Buangan Pemberontak Kolonial Belanda

Para pembangkang dari Sumatera, Jawa, Banten, Borneo, dan Maluku diikat perasaan senasib, membentuk "Indonesia mini" di lokasi pengasingan.

Kampung Jawa Tondano, Tempat Buangan Pemberontak Kolonial Belanda
Ilustrasi Kyai Mojo dan musuh-musuh Belanda di Kampung Jawa Tondano. tirto.id/Hafitz

tirto.id - Usai salat Jumat, kebanyakan jemaah langsung pulang. Namun, sekitar dua puluhan jemaah di Masjid Al-Falah berbondong-bondong pergi ke sebuah rumah di dekat masjid. Mereka sudah dinanti-nantikan oleh sang tuan rumah, dengan hidangan yang telah tersaji di atas dua meja di sebuah ruang tengah tanpa atap. Ada ikan bakar, sayur, nasi, serta kopi. Sebentar kemudian, usai membaca doa, mereka bersantap makan siang, diselingi obrolan ringan, saling bercanda dan tertawa. Begitulah kebiasaan warga Kampung Jawa Tondano setelah Jumatan. Sang tuan rumah bernama Habib Husein Assegaff.

Habib Husein adalah seorang imam Masjid Al-Falah Kyai Modjo. Ia adalah laki-laki yang ramah. Ia bercerita sekilas mengenai riwayat keluarganya.

Leluhurnya berasal dari negeri Arab dan datang ke Nusantara untuk berdagang. L.W.C van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara (2010) menyebut: "Orang-orang dari jazirah Arab itu datang secara bergelombang ke Indonesia. Mereka merantau ke luar negeri untuk mengadu nasib, atau seperti kata pepatah Arab: untuk mencari cincin Nabi Sulaiman yang kaya raya itu.” Leluhur Habib Husein pernah ke Maluku dan akhirnya ke Palembang.

Leluhurnya di Palembang, Syarief Umar bin Muhammad Assegaff, menikah dengan Raden Ayu Azima—putri Sultan Mahmud Badaruddin II. Menurut catatan Roger Allan Christian Kembuan dalam Bahagia di Pengasingan (2016: 75-76), pada 1821, Syarief Umar dan Sultan Badaruddin II dibuang ke Ternate setelah Perang Menteng. Anak dari Syarief Umar, yakni Syarif Abdullah bin Umar Assegaff, atas prakarsa ibunya, akhirnya memakai gelar raden.

Setelah pemberontakan Arab di Palembang pada 1881, Raden Syarif Abdullah Assegaff dibuang ke Tondano. Habib Assegaff ini dikenal memiliki istri orang Eropa, Nelly Meijer.

Abdullah Assegaff punya pengaruh dalam kebudayaan Jawa Tondano. Ia memperkenalkan Selawat Melayu—dikenal dengan sebutan Hadra Rodatan—sebuah pujian kepada Nabi Muhammad yang dilantunkan dalam bahasa Arab dengan irama kasidah. Ini dianggap tandingan dari Selawat Jawa yang dikidungkan para pengikut Kyai Mojo.

"Assegaff di Kampung Jawa Tondano telah 'mendistorsi' budaya Kampung Jawa Tondano yang semula sangat kental dengan budaya Jawa,” tulis Kembuan. Setelah meninggal dunia, Habib Abdullah Assegaff dimakamkan di Tondano.

Tak cuma Habib Abdullah Assegaff serta Kyai Mojo dan pengikutnya yang dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Tondano. Ada juga Bantengwareng dan Djojosuroto, dua punakawan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan catatan Kembuan, keduanya tinggal di Kampung Jawa Tondano.

Bantengwareng punya keturunan dengan marga Banteng. Orang-orang yang terlibat Pemberontakan Petani Banten 1888, setelah dihukum di Manado, tinggal dan kawin dengan perempuan Jawa Tondano—atau dikenal dengan akronim Jaton. Mereka antara lain Haji Djafar bin Kyai Mas Hosyim yang kawin dengan Embu Maspekeh; M. Asnawi yang menikah dengan Sri Haji Ali; Asnawi Sutu yang menikah dengan Rubinga Haji Ali; Haji Abdul Karim yang menikah Otik Haji Ali; Haji Ramidin yang kawin dengan perempuan Jaton bermarga Baderan; dan Haji Marjaya yang kawin dengan perempuan bermarga Maspekeh (keturunan Kyai Pekih Ibrahim).

Soal pemberontakan Petani Banten pada 1888, sejarawan Sartono Kartodirdjo menulis bahwa orang-orang yang bekerja pada pemerintah Belanda menjadi sasaran para pemberontak. Dan di antaranya terbunuh. Namun, ada seorang Belanda yang berhasil kabur, meski pembantu dan keluarganya terbunuh.

Tak heran jika pemerintah kolonial bertindak keras terhadap pemberontakan yang digerakkan para haji itu. Itulah kenapa ada Haji Banten di Tondano. Menurut Kembuan, mereka tiba di Tondano pada 1889.

Infografik HL Indepth Jawa Tondano

Daerah Buangan Para Pemberontak

Selain mereka, Teungku Muhammad Batee juga dibuang ke Tondano. “Bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap di Tangse oleh sebuah patroli marsose dari Seulimeum dan dengan surat keputusan pemerintah Belanda bertanggal 19 April 1900, ia dibuang ke Tondano,” tulis Sjarif Thajeb dalam Pocut Meurah Intan, Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987).

Seperti keturunan orang buangan lain, generasi Tuanku Muhammad Batee kawin-mawin dan memakai nama marga dari leluhurnya di Tondano.

Orang buangan lain ke Tondano dari Pulau Sumatera berasal dari Tanah Minang, yang tiba pada 1885 karena suatu pemberontakan, menurut Kembuan. Mereka adalah Si Namin yang bergelar Malim Muda; Haji Jamil yang bergelar Nan Tujuh; Haji Abdul Halim; dan Si Gorak yang bergelar Malim Panjang.

Dari Kalimantan, ada Pangeran Perbatasari dan adiknya, Gusti Amir, yang dibuang pada 1886. Seperti diceritakan ulang oleh Tjilik Riwut dalam Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (1993), Perbatasari, menantu Gusti Muhammad Seman (anak Pangeran Antasari), adalah orang yang menjadi kurir Pangeran Antasari “saat meminta bantuan mesiu peluru kepada Sultan Kutai." Sialnya, Perbatasari ditangkap di Pahu.

Perbatasari, menurut catatan Kembuan, "bersama 84 pengikutnya menuju Kutai untuk membujuk Sultan Kutai memberikan bantuan dalam perlawanan Muhamad Seman terhadap Belanda. Namun, ternyata bukan bantuan yang diperoleh, justru Sultan Kutai melaporkan kejadian itu kepada S.W. Tromp, asisten residen untuk Kutai dan pantai Timur Kalimantan, pada 30 Maret 1885."

Atas petunjuk Residen Broers, Tromp diperintahkan menemui Sultan Kutai pada 22 April 1885 untuk meminta Perbatasari diserahkan kepada pemerintah Belanda. Pangeran Perbatasari pun ditangkap dan dibuang. Waktu itu Sultan Kutai adalah Aji Muhammad Sulaiman.

Dari Maluku, ada seorang haji dari Saparua yang dibuang ke Tondano pada 1884 bernama Abdul Gani Ningkaula. Ia seorang guru dari Tarekat Naqsyabandiyah. Namun, menurut laporan pemerintah kolonial Belanda tahun 1882, yang dikutip Kembuan: "Ningkaula adalah pemimpin yang menyebarkan kebencian dan kefanatikan bagi populasi kecil orang Islam."

Selain orang-orang tadi, dari Keraton Susuhunan Solo, ada Pangeran Suryaningrat, yang terlibat pembunuhan seorang patih bernama Raden Ngabehi Tjokro Dipoero terkait kebijakan urusan tanah pemerintah kolonial. Selain itu ada Pangeran Ronggo Danupojo. Keduanya, menurut Kembuan, dibuang pemerintah kolonial atas izin Sunan Pakubuwono VII. Ronggo Danupojo lantas menikah dengan putri dari Suratinoyo bernama Saniah. Mereka memiliki sebelas anak, dan salah satunya kembali ke Jawa.

Dari Kuningan, Jawa Barat, ada Kiai Hasan Maulani alias Kyai Lengkong, seorang guru dan pendiri Tarekat Akmaliyah di Cirebon. Ia dikaitkan dengan kerusuhan pada 1842, dan setahun kemudian dibuang ke Tondano.

Dari para pemberontak itulah kemudian Kampung Jawa Tondano dianggap sebagai "Indonesia mini." Dalam politik pemerintahan kolonial, posisi Tondano pada abad 19 itu sangat mirip dengan Boven Digoel pada paruh pertama awal abad 20. Ia menjadi tempat pengasingan orang-orang dari pelbagai suku yang memberontak pemerintah kolonial.

Tapi, berbeda dari Boven Digoel, para pemberontak itu menetap di Tondano, melahirkan belasan generasi yang kini menghidupi sebuah kampung yang campuran khas Jawa-Minahasa serta pelbagai kebudayaan dari etnis lain. Kerukunan mereka menjadi gambaran manis toleransi di Indonesia. Mereka terikat oleh persaudaraan. Sebagaimana ketika saya melihat kesahajaan mereka pada satu siang Jumat di rumah Habib Husein Assegaff.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam