Menuju konten utama
Letjen (Purn.) Agus Widjojo:

"Kami Menyadari Rekonsiliasi Isu yang Sangat Sensitif"

Agus Widjojo menyadari akan banyak kekakuan jika membicarakan tragedi 1965, tetapi upaya ini harus ditempuh demi kebenaran.

Gubernur Lemhannas Agus Widjojo. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Pada dini hari, 1 Oktober 1965, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo didatangi sekelompok tentara yang mengaku ditugasi Presiden Sukarno untuk menjemputnya. Namun, kenyataannya tak ada perintah dari presiden. Para prajurit itu datang untuk menculik sang jenderal.

Tiga hari kemudian, Sutoyo ditemukan dalam keadaan tewas di sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya bersama lima jenazah perwira tinggi lain dan seorang ajudan Jenderal Nasution. Partai Komunis Indonesia (PKI) ditunjuk sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan itu.

Setelahnya, selama bertahun-tahun, Indonesia masuk ke dalam masa gelap. Anggota PKI dan mereka yang dianggap kiri diburu dan dibantai, selain banyak yang dipenjarakan dan dibuang. Indonesianis Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban tewas mencapai 500 ribu.

Tak hanya menimpa para pelaku sejarah, nestapa juga dialami oleh anak dan keturunan orang-orang kiri yang distigma dan kerap didiskriminasi di masa Orde Baru, termasuk dilarang menjadi pegawai negeri sipil.

Kini, lima puluh tahun telah berlalu sejak awal mula kemelut sejarah itu. Letjen (Purn.) Agus Widjojo, anak dari Brigjen Sutoyo, telah memprakarsai sebuah simposium sebagai upaya awal rekonsiliasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan dan prasangka selama puluhan tahun.

Berikut ini adalah wawancara Tirto dengan Agus Widjojo, kini menjabat sebagai Gubernur Lemhannas, di kantornya pada 25 Mei dan via telepon pada 10 Juni 2016.

Bisa diceritakan, pendek saja, gagasan awal menyelenggarakan simposium 1965?

Ini merupakan pertemuan pemikiran dari teman-teman yang sejalan, terutama dari Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Kemudian, saya bertemu dengan Menkopolhukam [Luhut Pandjaitan]. Ketika itu pemerintah sedang membicarakan penyusunan perumusan kebijakan dalam rangka menangani pelanggaran berat masa lalu.

Di sini bertemu kedua kebutuhan itu, dan Menko pun memberikan arahannya agar saya menyelenggarakan sebuah simposium. Saya membentuk panitia, di antaranya ada lembaga-lembaga pemerintah, yaitu Komnas HAM dan Dewan Pers. Kemudian, kami membentuk panitia untuk menyelenggarakan seminar itu. Memang tidak mudah untuk menyelenggarakan seminar itu, kami menyadari simposium itu akan menyangkut sebuah topik yang sangat sensitif.

Simposium tidak berpihak pada pihak manapun, karena simposium ingin menjawab apa yang salah dengan bangsa ini. What went wrong? Bukan siapa yang salah, tetapi apa yang salah dengan bangsa ini, untuk mencoba menemukan kekurangan kekurangan dan kelemahan kesalahan itu agar kita perbaiki melalui reformasi kelembagaan sehingga kejadian serupa tidak terjadi kembali di masa depan. Untuk generasi anak-cucu kita.

Ini pertama kalinya pemerintah menjadi penyelenggara kegiatan seperti ini. Apakah di pemerintah sendiri sudah dikondisikan bahwa kita akan mengambil langkah itu?

Saya katakan ini kan kerja sama antara CSO (civil society organization), beberapa teman yang searah, dengan beberapa instansi pemerintah yang tadi saya sebut. Tentunya kalau ada kerjasama ya ada pembicaraan dong dengan lembaga-lembaga pemerintah tadi—Kemenkopolhukam, Komnas HAM, dan Dewan Pers

Kalau dengan Kementerian Pertahanan?

Oh, ndak, ndak ada.

Kalau dilihat dari simposium kemarin, bagaimana Anda melihat seberapa besar peluang untuk terjadi rekonsiliasi, juga dengan melihat pro-kontra yang ada di masyarakat?

Kami menyadari ini isu yang sangat sensitif. Itu ditandai dengan banyak sekali yang tidak setuju, baik dari pihak kiri, pihak kanan maupun LSM tadi saya katakan. Tetapi kami memang tidak punya perkiraan atau harapan atau rencana bahwa simposium ini akan menuju langsung pada rekonsiliasi.

Seperti yang di Afrika Selatan?

Iya, belum, itu masih jalan panjang. Karena ini pertama kali sebuah pertemuan dengan ciri yang seperti saya katakan itu bisa dilakukan secara terbuka di Indonesia setelah 50 tahun. Jadi pasti itu akan ada kekakuan-kekakuan. Tetapi paling tidak, ini merupakan sebuah eksperimen dalam masyarakat untuk menguji sampai berapa dalam membicarakan Tragedi 65 ini secara terbuka. Salah satu prinsipnya adalah bukan saja lingkupnya setelah Oktober 65 sampai kini, tapi juga sebelum Oktober 65.

Dengan reaksi yang muncul setelah simposium tersebut, apa pendapat Anda?

Ya sebetulnya ini kan sebuah isu yang sensitif. Ini memang kita lakukan secara sadar sehingga memang tidak bisa dihindari kita mengantisipasi sudah tentang reaksi-reaksi yang akan muncul dan ternyata memang muncul. Tetapi ini adalah sebuah eksperimen untuk menguji kesiapan masyarakat untuk berbicara secara terbuka dan memberikan juga pemahaman kepada masyarakat. Pertama: pemahaman secara utuh, menyeluruh dan mendalam tentang tragedi 65, untuk itu kami juga cakup kurun waktu sebelum 65.

Yang kedua adalah memberikan sebuah gambaran konsep rekonsiliasi yang bukan merupakan instrumen justifikasi siapa yang benar atau salah, siapa yang berbuat siapa korban, tetapi bahwa rekonsiliasi berdiri di atas kepentingan bangsa untuk mencari apa yang salah dengan bangsa ini sehingga bisa saling bunuh dalam jumlah besar dan dalam kurun waktu yang cukup lama.

Tapi berarti sudut pandang [rekonsiliasi] lebih melihat tragedi 1965 sebagai konflik horizontal dan tidak melihat ada kemungkinan negara terlibat secara struktural dalam tragedi ini?

Semua (sudut pandang) digunakan. Oleh karena itu kita harus melihat tragedi 1965 ini secara komprehensif, bukan hitam-putih. Dan karena ini menggunakan metodologi pengkajian sejarah, kita melakukan pengkajian terhadap semua proses itu secara utuh-menyeluruh.

Tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat di Indonesia yang sangat memenuhi syarat untuk diselesaikan secara nonyudisial atau lewat rekonsiliasi. Karena pertama, sudah terjadi 50 tahun lalu, banyak aktor yang sudah meninggal dunia. Kedua, barang bukti juga sudah tidak mudah untuk ditemukan. Ketiga, dalam UU NO.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Ad Hoc HAM, di situ disebutkan bahwa untuk peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi, sebelum dikeluarkannya UU tersebut, memungkinkan diselesaikan lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Itu semua adalah dasar mengapa rekonsiliasi, dan bukan dengan cara yudisial.

Tapi UU KKR sudah dibatalkan kan, Pak?

Iya sudah dibatalkan. Nah itu urusan pemerintah. Masalah dasar hukum, bagaimana pemerintah akan melaksanakan, itu wilayah kewenangan pemerintah.

Sebetulnya secara pribadi, sebagai anak dari satu jenderal yang dibunuh pada peristiwa G-30S, untuk sampai ke kesadaran bahwa rekonsiliasi itu perlu, bagaimana prosesnya?

Ya, sampai kapan, kita akan bermusuhan ya? Banyak yang mengatakan, "Sudahlah, lupakan saja, toh sudah rekonsiliasi kultural." Tapi rekonsiliasi kultural itu cuma kumpul, makan-makan bersama. Bahwa dia dari keluarga kiri, saya dari keluarga anti-PKI. Tetapi tidak pernah melakukan satu aspek dari rekonsiliasi, yaitu mencoba untuk mengungkapkan kebenaran.

Saya selalu mencontohkan ini. Pada acara Asean Literary Festival, anak-anak muda dari Ingat 65 yang berkata semua ini akibat kesalahan Orde Baru, bahwa kita sekarang bisa berbicara bebas, untuk membicarakan 65 kita tidak mungkin seperti ini. Sementara itu, di sisi lain ada pertanyaan hipotetis, "Kalau tidak ada Orde Baru, mengingat track record PKI itu selalu diliputi kekerasan terhadap lawan politiknya, apa jadinya seandainya waktu itu PKI menang?"

Itu pertanyaan hipotetis yang saya sadar tidak menyenangkan, tapi ini sebuah kemungkinan. Berkaitan dengan itu, ada keyakinan bahwa pemerintah Orde Baru telah mencegah pengambilan kekuasaan oleh PKI yang mungkin bisa menuju peristiwa kekerasan yang lebih parah. Ini tidak menyenangkan bagi pihak kiri, tapi pendapat ini patut untuk kita tampung.

Bagaimana pendapat Anda sebagai panitia pengarah Simposium Aryaduta soal tanggapan negatif atas upaya rekonsiliasi. Salah satunya, Simposium Balai Kartini meminta agar semua pihak tidak mengungkit masa lalu?

Simposium dan pengungkapan kebenaran justru berguna untuk mengikhlaskan masa lalu, tetapi tidak melupakan mengambil pelajaran dengan apa yang salah, guna menuju rekonsiliasi. Nanti pemerintah yang akan memutuskan. Tapi tidak apa-apa [ada reaksi negatif]. Nanti pemerintah yang menentukan.

Dan pemerintah juga bukan hanya dari simposium Aryaduta, tapi juga akan mempertimbangkan masukan dari Kejaksaan Agung, dari Kementerian Hukum dan HAM, itu semua masuk ke Menkopolhukam, sebelum Menkopolhukam menyampaikan pada presiden.

Anda selalu bilang bahwa salah satu tujuan proses rekonsiliasi adalah reformasi kelembagaan. Bisa dijabarkan sedikit?

Reformasi kelembagaan adalah menempatkan semua lembaga di negeri ini sesuai dengan amanat dan konstitusi dan aturan perundang-undangan. Dan konteksnya dengan tragedi 1965, dalam melaksanakan fungsinya, masing-masing lembaga agar mematuhi supremasi hukum, menghargai hak asasi manusia.

Termasuk lembaga TNI?

Semua, semua lembaga.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI 1965 atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Indepth
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti