Menuju konten utama

Kali Item Berbusa, Detergen Memang Masalah bagi Lingkungan

Tapi ada sabun biodegradable yang bisa meminimalkan laju perusakannya.

Kali Item Berbusa, Detergen Memang Masalah bagi Lingkungan
Ilustrasi detergen ramah lingkungan. iStockphoto/GettyImages

tirto.id - Efek pencemaran lingkungan Kali Sentiong seperti tak habis juga dibahas. Tahun lalu, saat perhelatan Asian Games, ia mengeluarkan bau begitu menyengat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menutup permukaannya dengan jaring. Kini, buih busa menggenangi si Kali Item akibat tercemar limbah detergen.

Genangan buih diduga berasal dari akumulasi limbah detergen warga sekitar yang mengalir ke Kali Sentiong. Kejadian ini menurut Anies sudah terjadi berulang kali, tetapi baru mendapat perhatian publik akhir-akhir ini karena terdokumentasikan. Agar kejadian tak berulang, Anies berinisiatif meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membuat regulasi detergen ramah lingkungan.

“Selama produk-produk untuk mencuci memiliki tingkat pencemaran tinggi, kita akan selalu mengalami masalah ini,” kata Anies saat melakukan peninjauan langsung di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Rabu (2/1/2019).

Polusi air oleh limbah sabun seperti yang terjadi di Kali Item juga pernah menjadi masalah besar di India. Pada tahun 2015, Guardian melaporkan Danau Bangalore layaknya bak mandi raksasa yang tertutup busa. Saking banyaknya, tumpahan busa yang terbentuk dari limbah dan bahan kimia berbahaya itu menutupi jalan dan area sekitar danau. Parahnya polutan tersebut memiliki bau menyengat dan membikin iritasi pada kulit.

Ketergantungan manusia pada sabun, seperti ditulis Huffington Post, bermula sejak 2.800 SM. Kesimpulan tersebut didapat dari penggalian situs kuno Babel yang menemukan zat seperti sabun pada pot tanah liat. Namun dokumentasi tulisan mengenai khasiat sabun sebagai alat pembersih dan penangkal penyakit baru ditemukan sekitar abad 2M.

Secara sederhana, sabun diproduksi dengan proses saponifikasi, yakni mengunakan alkali untuk menambahkan molekul air ke dalam lemak. Bahan kimia bernama surfaktan yang dihasilkan pada proses ini berfungsi menghancurkan molekul kotoran.

Pada sabun tradisional pun kandungan surfaktan tidak terdegradasi dan meninggalkan residu pada air. Lantaran penggunaan sabun yang masif, pada tahun 1950-an Environment Protection Authority Victoria (EPA) menyatakan fenomena gundukan busa mulai menggenangi saluran-saluran air dan sungai, menjadi racun bagi organisme kecil di air.

Kini, semakin modern peradaban, proses pembuatan sabun, termasuk sabun untuk tubuh maupun sabun cuci, tak lagi sesederhana itu. Produsen mencampur banyak unsur kimia lain sebagai pembersih, pemutih, atau pewangi, yang justru menjadi tambahan polutan ketika dibuang ke alam. Misalnya saja fosfat, pemutih/amonia, petrokimia, Nonylphenol ethoxylates (NPE) dll.

"Semua jenis detergen punya efek beracun pada ekosistem air,” tulis EPA.

Sabun, dalam kasus ini detergen, mengurai lapisan lendir eksternal ikan dan merusak insang. Padahal lendir pada ikan berfungsi melindungi hewan tersebut dari bakteri dan parasit. Laman Lenntech menulis bahwa konsentrasi detergen sebanyak 5 ppm sudah mampu membunuh telur ikan, sementara konsentrasi 2 ppm membikin ikan menyerap bahan kimia dua kali lebih banyak. Bahan-bahan kimia pada sabun juga merusak sistem reproduksi biota air.

Sementara kandungan fosfat dalam detergen menyebabkan perkembangan pertumbuhan ganggang jadi berlebih. Akibatnya racun hasil produksi ganggang semakin banyak terlepas. Selain itu kadar oksigen pada air kian menipis dan berakibat pada kematian organisme lain di ekosistem tersebut. Bahan kimia lain yang terkandung dalam detergen juga membunuh bakteri pengurai, mengubah warna air jadi kecokelatan dan mengeluarkan bau busuk.

Adakah Sabun Biodegradable Lebih Baik?

Era kiwari penggunaan sabun menjadi kebutuhan primer yang hampir tidak mungkin ditiadakan. Gerakan cuci tangan pakai sabun bahkan sudah menjadi kampanye kesehatan di seluruh belahan dunia. Pada 2011, Huffington Post melaporkan, di Amerika saja pembelian sabun tangan dan sabun tubuh telah mencapai lebih dari $3,1 miliar.

Lalu bagaimana cara mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat penggunaan sabun kita?

Masih dari laman sama, solusi masalah tersebut adalah sabun biodegradable. Sabun ini memiliki komponen penyusun yang bisa terurai atau dipecah secara alami oleh organisme pengurai. Meski dalam jumlah besar sabun biodegradable tetap membikin ketidakseimbangan ekosistem, namun paling tidak, efeknya tak separah sabun kimia modern. Beberapa produsen sabun biodegradable saat ini juga sudah fokus memotong jejak karbon dengan meminimalisir dan mendaur ulang kemasan.

Sabun jenis inilah yang hendak diterapkan Anies agar fenomena busa di Kali Item tak lagi terjadi. Namun, selain langka, harga sabun biodegradable di Indonesia cukup mahal dibandingkan sabun kimia modern. Harganya bisa mencapai dua kali lipat sabun biasa. Untuk mengatasi masalah tersebut, kita bisa membikin sabun biodegradable dari bahan-bahan rumah tangga.

Infografik Sabun Ramah Lingkungan

Infografik Sabun Ramah Lingkungan

Laman Detergents and Soap memberikan tutorial pembuatan sabun biodegradable menggunakan bahan-bahan alami. Detergen dapat dibuat dengan menuangkan soda kue dan boraks dalam pakaian. Sampo alami bisa didapat dari campuran alpukat, madu, dan susu, atau madu, rumput laut, dan lemon untuk rambut berminyak. Bahkan, sabun alami ini telah direkomendasikan oleh Badan Konsumen di Eropa, BEUC.

“Anda sangat bisa membersihkan seluruh rumah hanya dengan air, lemon, cuka dan garam,” kata Silvia Maurer, divisi keamanan dan lingkungan dari BEUC.

Dengan menggunakan bahan-bahan tersebut, nampaknya tak ada lagi alasan bagi warga menolak usulan detergen ramah lingkungan. Selain murah dan mudah didapat, jangka panjangnya warga berpeluang tak lagi harus berurusan dengan efek polusi air yang membikin kualitas hidup menjadi buruk.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN SUNGAI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani