Menuju konten utama

Kalah 0-3 dalam Kasus Karhutla, Jokowi Sebaiknya Patuhi Putusan MA

Jokowi sudah kalah 0-3 dari warga atas kasus kebakaran hutan. Tapi ternyata dia tak menyerah dan mengupayakan peninjauan kembali.

Kalah 0-3 dalam Kasus Karhutla, Jokowi Sebaiknya Patuhi Putusan MA
presiden joko widodo didampingi menteri kehutanan dan lingkungan hidup siti nurbaya, panglima tni jenderal gatot nurmantyo, pangdam vi mulawarman mayjen tni benny indra, pejabat gubernur kalsel tarmizi a karim dan danrem 101 antasari kolonel inf m abduh ras meninjau lokasi bekas kebakaran lahan di desa guntung damar, banjarbaru, kalimantan selatan, rabu (23/9). dalam kunjungan kerja selama dua hari di kalimantan selatan, selain meninjau lokasi titik api (hotspot), presiden joko widodo juga akan melaksanakan ibadah salat idul adha di masjid al karomah martapura. antara foto/herry murdy hermawan/pras/15

tirto.id - Joko Widodo dan enam tergugat lain--termasuk sejumlah menteri dan kepala daerah--sudah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung atas kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan pada 2015 lalu. Tapi Jokowi enggan tunduk dan lebih memilih melawan dengan mengajukan Peninjauan Kembali.

Khalisah Khalid, Ketua Adhoc Politik Keadilan Ekologis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kecewa dengan langkah Jokowi. Menurutnya PK tak perlu karena putusan MA itu baik.

"Toh putusan sesungguhnya adalah mewajibkan pemerintah untuk membuat peraturan yang melindungi keselamatan warga negara dan lingkungan hidup ke depan," kata Khalisah kepada reporter Tirto, Selasa (23/7/2019).

Semua berawal dari Citizen Law Suit (CLS) masyarakat Kalimantan Tengah di tingkat Pengadilan Negeri pada 2016 lalu. Sejumlah orang yang mengajukan CLS adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Nordin, dan Mariaty.

Pada tingkat ini, hakim memutuskan para tergugat, yakni Presiden, Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kasus karhutla. Vonis diketok pada 22 Maret 2017.

Salah satu putusannya adalah Jokowi diminta menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan turunan ini dianggap penting untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat.

Tapi Jokowi dan kawan-kawan tak terima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palangkaraya, yang ditolak pada pada 19 September 2017. Dengan demikian putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya menguatkan putusan PN Palangkaraya.

Lagi-lagi pemerintah tak terima dan mengajukan kasasi ke MA. Dan lagi-lagi pula mereka kalah.

"Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya sudah tepat, sebab penanggulangan bencana dalam suatu negara... adalah tanggung jawab pemerintah," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Jumat (19/7/2019). "Majelis hakim kasasi... kepada pemerintah agar menanggulangi, menghentikan bencana kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah."

Pernyataan bahwa pemerintah akan meminta Peninjauan Kembali keluar dari mulut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. "Kami akan melakukan peninjauan kembali ke MA, dan saya akan berkoordinasi dengan Jaksa Agung sebagai pengacara negara," kata Siti sebagaimana diwartawan Antara.

"Saya dengan Jaksa Agung dan semua yang dituntut, ada Menteri Kesehatan, ada Gubernur Kalteng, semuanya nanti kami koordinasikan," tambah Siti.

Reporter Tirto mencoba menghubungi Siti untuk menjelaskan kenapa mereka ngotot mengupayakan langkah hukum lanjutan, tapi hingga berita ini tayang belum ada respons dari yang bersangkutan. Tak ada pula respons dari Inspektur Jenderal KLH K, Ilyas Asaad, selaku pihak yang mengurusi kasus tersebut.

Jawaban soal itu datang dari Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan. Ternyata motif mengajukan PK adalah demi menjaga nama baik pemerintah. Moeldoko bilang pemerintah tak mau dianggap gagal menangani karhutla oleh negara lain.

Kewajiban Pemerintah

Kritik juga disampaikan Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi. Dia bilang, tanpa keputusan PN, PT, hingga MA pun sebenarnya pemerintah wajib menjalankan poin-poin dalam gugatan CLS tersebut.

"Terlihat kalau dia (tergugat) tak baik dalam memenuhi kewajibannya. Karena tanpa putusan pengadilan pun, itu memang sudah menjadi kewajiban pemerintah. Ini kan hanya menegaskan, 'benar lho, ini kewajiban lu'," ujar Boy.

Di laman Sekretariat Kabinet, pada 2017 lalu Jokowi pernah bilang bahwa untuk mengelola hutan, perlu ada "tindakan korektif" (corrective action). Dalam artikel itu Jokowi mengatakan pengelolaan hutan tak boleh monoton.

"Nah itu Jokowi ceritanya corrective action, bukannya putusan pengadilan ini membuka peluang ke Jokowi untuk mengevaluasi perizinan secara menyeluruh?" tanyanya, retoris.

Karena sudah menang 3-0, kata Boy, sebaiknya pemerintah mengurungkan niat untuk menggelar PK. Boy bilang sebaiknya putusan MA dilaksanakan saja karena, sekali lagi, pemerintah tak merugi dan justru berkontribusi melestarikan lingkungan.

"Sebenarnya kan 3-0 nih, mulai dari PN, PT, hingga MA, antara pemerintah dan warga negaranya. Dengan skor itu sudah menggambarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah itu nyata," tegas Boy.

Sementara Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Reynaldo Sembiring mengatakan PK itu sia-sia. "Sampai 10 kali pun itu enggak akan mungkin menang," katanya.

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino