Menuju konten utama
28 September 1945

Kala Pemuda Republik Mengambilalih Djawatan Kereta Api

Bilik kereta
api. Pekik merdeka
dan revolusi.

Kala Pemuda Republik Mengambilalih Djawatan Kereta Api
Ilustrasi kereta api zaman Revolusi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pemerintah kolonial Belanda tak menempatkan kantor pusat jawatan kereta api di Jakarta, tapi di Bandung. Kantornya tidak jauh dari Stasiun Bandung dan Gedung Landraad (pengadilan rendah) tempat Sukarno pernah diadili.

Kantor yang dikenal sebagai Balai Besar itu akhirnya diduduki Jepang. Di zaman Jepang, menurut O.I. Nanulaita dalam Ir H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat Utama (2001), perusahaan macam Staats Spoorwagon (SS) ditiadakan oleh petinggi militer. Kereta api digunakan untuk kepentingan militer saja, bukan pelayanan publik (hlm. 75).

Pada zaman Jepang, banyak orang Indonesia bekerja di Balai Kereta Api Bandung. Tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang pernah jadi Kepala Bulog, Achmad Tirtosudiro, dan Kepala Staf Angkatan Laut Eddy Martadinata bekerja di sana.

Menurut buku 70 Tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Prajurit Pengabdi (1992:18), Achmad Tirtosudiro bergaji 65 gulden tiap bulan. Sementara itu, menurut buku Laksamana R.E. Martadinata (1977), Eddy Martadinata digaji 50 gulden tiap bulan. Angka yang lumayan besar. Setidaknya mereka bisa bebas dari kelaparan di zaman Jepang.

Selain mereka berdua, buku yang mengenang Achmad Tirtosudiro itu juga menyebut alumni balai besar lainnya adalah Mayor Jenderal Aang Kunaefi (Gubernur Jawa barat), Sarbini Sumawinata (guru besar ekonomi UI), Haryono (Direktur Pertamina), dan Wiweko Supeno (Direktur Garuda).

Martadinata tidak lama di sana, sebab dia harus kembali ke dunianya: laut. Sementara Achmad Tirtosudiro masih bekerja di sana hingga Indonesia merdeka.

Para Pemuda Mengambilalih

Setelah proklamasi dikumandangkan Sukarno dan Hatta, Republiken di Bandung tak langsung mengambilalih Balai Besar.

Dalam pikiran pemuda-pemuda, fasilitas publik sudah tentu harus berada di tangan Republik Indonesia. Di kota Jakarta, pada 3 September 1945, para pemuda yang menjadi buruh kereta api bergerak mengambilalih aset Djawatan Kereta Api yang dikuasai Jepang, seperti depot Jatinegara, bengkel Manggarai, dan lainnya.

Namun, di awal September itu, pusat segala kegiatan kereta api di Jawa belum dikuasai. Kantor Besar Kereta Api di Bandung masih berada dalam genggaman Jepang.

Banyak pemuda yang bekerja di kereta api berorganisasi dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA). Menurut Razif dalam artikel berjudul "Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh Manggarai" yang terdapat di buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013: 93), AMKA berbaur dengan Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) ketika Revolusi meletus.

Baru pada akhir September, para buruh dan pemuda mulai bergerak. Gejolak pengambilalihan aset pun terjadi di Bandung.

“Pengambilalihan Djawatan Kereta Api Pada 27 September 1945, Angkatan Muda PTT (Perusahaan Pos, Telegraph, Telepon) di bawah pimpinan Soetoko dan Nawawi Alif, menguasai kantor Pusat PTT,” tutur Achmad Tirtosudiro dalam Jenderal dari Pesantren Legok: Memoar 80 Tahun Achmad Tirtosudiro (2002: 43).

Esoknya, 28 September 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu, barulah tempat kerja Achmad, yang disebut Djawatan Kereta Api (DKA) itu, yang diambilalih.

Menurut buku Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014 (2015:86), dalam peristiwa itu Ismangil dan para pemuda yang bekerja di kereta api menyatakan sikapnya: mulai hari itu, kekuasaan perkeretaapian dipegang Republik Indonesia dan orang-orang Jepang diharamkan ikut campur. Dalam acara pengambilalihan itu, para pemuda menyanyikan lagu "Indonesia Raya".

Dalam peristiwa ini, Ir. Djuanda Kartawidjaja, teknokrat Sunda dan aktivis pergerakan nasional, dianggap sebagai pemimpinnya. Achmad Tirtosudiro juga mengaku bahwa dia berperan di dalamnya. “Dalam peristiwa ini, saya terlibat dalam perundingan tentang nasib DKA,” tutur Achmad.

Disebutkan pula dalam Jenderal dari Pesantren Legok bahwa setelah mendengar Jepang kalah dari Sekutu, Achmad dan kawan-kawan mengibarkan bendera Merah-Putih di Balai Besar Djawatan Kereta Api. Tak lupa, mereka juga mengeluarkan pekik merdeka.

Fenomena pengambilalihan aset kereta api terlihat dalam coretan "Repoeblik Indonesia" pada gerbong trem di Surabaya atau Stasiun Jakarta Kota yang diberi papan nama "Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia".

Peristiwa pengambilalihan Balai Besar di Bandung pada 28 September 1945 itu kemudian ditetapkan sebagai tonggak berdirinya Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Pada 1 Januari 1946, dewan pimpinan kereta api yang dibentuk mengurus aset-aset yang diambil dari Jepang menyerahkan kekuasaannya pada DKA.

Pada awal 1946 itu pula, berdasarkan Maklumat Kementerian Perhubungan nomor 1/KA tanggal 23 Januari 1946, Ir. Djuanda ditunjuk menjadi Kepala DKARI dan Mr. Soewahjo Soemodilaga sebagai Wakil Kepala. Menteri Perhubungan kala itu adalah Abikusno Tjokrosujoso.

Infografik Mozaik Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia

Mengatasi Kesemrawutan

Semasa memimpin di Bandung, Djuanda dan jajarannya tak bisa bekerja dengan leluasa karena gangguan militer Sekutu. Apalagi pada Maret 1946, kondisi Bandung memanas. O.I. Nanulaita menyebut, “Ir Djuanda masih baru dalam masalah perkeretaapian. Ia ditugaskan pemerintah mengatur kembali perkeretaapian yang sudah sejak zaman Jepang kacau balau” (hlm. 74).

Menurut Nanulaita, bepergian dengan kereta api adalah siksaan tersendiri. “[...] gerbong rusak, kotor, kursi-kursi robek penuh kutu busuk, kakus hancur dan berbau busuk. Setiap kereta api penuh sesak, penumpang, pedagang-pedagang dengan barang-barangnya, tukang copet, pencoleng dan pengemis memadati gerbong-gerbong sampai lokomotif.”

Sayangnya, kemerdekaan dimaknai dengan ngawur oleh sebagian orang Indonesia. Mentang-mentang merdeka, mereka tidak mau bayar jika naik kereta api. Tak hanya itu, Nanulaita mencatat penumpang kadang keluar lewat jendela. Bila gerbong tak muat, mereka naik di atas atap kereta api.

Djuanda tentu bertugas mengatasi kekacauan-kekacauan itu. Belum juga rampung tugasnya, jabatan baru datang untuk Djuanda. Perdana Menteri Sjahrir, dalam Kabinet Sjahrir II, mengangkat Djuanda sebagai Menteri Muda Perhubungan mendampingi Ir. Abdoelkarim. Mereka berdua sama-sama lulusan Technische Hoogeschool (THS), yang kini jadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Lantaran kereta api adalah alat perhubungan penting, demi segera menuntaskan masalah bekas tawanan perang dan membantu pemulangan tentara Jepang yang sudah menyerah, DKA mau tidak mau terlibat di dalamnya. Sebelum Djuanda jadi Kepala DKA, orang-orang Republik di DKA berperan dalam pemindahan Sukarno-Hatta beserta jajaran pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta. Mereka menaiki apa yang disebut dengan "Kereta Api Loear Biasa" (KLB).

Dalam Sejarahnya, DKA kerap gonta-ganti nama dan status. Dari 1963-1971, pernah bernama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Dari 1971-1991 menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Pada 2 Januari 1991, PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) hingga 1 Juni 1999. Dari Perumka kemudian berubah menjadi PT Kereta Api. Pada Mei 2010, nama PT KA berganti lagi menjadi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan