Menuju konten utama

Kabinet Jokowi-Ma'ruf 2019: Mengapa Representasi Perempuan Minim?

Porsi menteri perempuan di Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma'ruf dinilai masih minim, hanya lima perempuan dari 34 menteri. Jumlah ini lebih rendah dari kabinet periode sebelumnya.

Kabinet Jokowi-Ma'ruf 2019: Mengapa Representasi Perempuan Minim?
Presiden Indonesia Joko Widodo, barisan depan keenam dari kiri, dan wakilnya Ma'ruf Amin, ketujuh dari kiri, berpose untuk para fotografer saat pengumuman kabinet baru di Istana Merdeka di Jakarta, Indonesia, Rabu, 23 Oktober 2019. AP/ Dita Alangkara.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik lima perempuan dari 34 menteri yang duduk di Kabinet Indonesia periode 2019-2024 atau sekitar 15 persen, Senin (24/10/2019).

Representasi perempuan dalam kabinet saat ini turun dibandingkan kabinet sebelumnya, dengan perempuan sejumlah delapan.

Lima perempuan yang kini berada dalam kabinet adalah Retno LP Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Ida Fauziyah sebagai Menteri Tenaga Kerja, serta I Gusti Ayu Bintang Darmawati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Dari kelima nama tersebut, yang merupakan nama baru hanyalah Ida dan Bintang. Tiga nama lainnya melanjutkan jabatan sebelumnya.

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyampaikan bahwa representasi perempuan di kabinet memang tak lagi sepatutnya sekadar dilihat berdasarkan angka. Namun, juga berdasarkan posisi dan fungsi kewenangan yang ia miliki.

“Kalau representasi kabinet mungkin sekarang kita tidak lagi melihat jumlah ya, tapi melihat fungsi di menteri perempuan yang menjadi representasi di kabinet itu, apakah ada kemungkinan dia akan berdampak pada perempuan,” ujar Mariana kepada reporter Tirto, Rabu (23/10/2019).

Mariana menilai terdapat hal unik yang patut diapresiasi dalam pilihan Jokowi, yakni Kementerian Ketenagakerjaan yang kini dipimpin oleh perempuan.

“Sebetulnya ada yang unik, [Kementerian] Ketenagakerjaan itu yang dipilih perempuan kan. Sebenarnya, memang masalah ketenagakerjaan itu yang paling kurang diperhatikan selama ini adalah tenaga kerja perempuan, seperti TKW, buruh, migran,” jelasnya.

Mariana juga mengomentari pilihan Jokowi atas Bintang sebagai Menteri PPPA, dengan latar belakang yang lebih banyak berkecimpung di ekonomi, khususnya kewirausahaan. Ia menilai Jokowi masih sebatas melihat perempuan dari segi pemberdayaan ekonominya.

“Jadi sepertinya Pak Jokowi tidak melihat fungsi Kementerian PPPA ini lebih besar dari itu, tapi kami belum bisa menilai sih. Kami lihat dulu menteri yang baru ini, apakah ia sebetulnya punya wawasan yang cukup untuk menjalankan lembaga pemberdayaan perempuan ini,” jelas Mariana.

Menteri Perempuan Sebatas Simbol

Ketua Cakra Wikara Indonesia, lembaga yang berfokus pada penelitian gender, Anna Marget, pun menilai representasi perempuan dalam kabinet baru Jokowi justru memburuk.

Ia juga mengkritik pilihan Jokowi atas penempatan Bintang sebagai Menteri PPPA. Pasalnya, Jokowi terkesan memilih Bintang sebatas karena identitasnya sebagai perempuan dari timur, khususnya Bali, sebagaimana yang dilakukannya pada periode sebelumnya, yakni mengisi posisi yang sama oleh perempuan dari timur, yakni Yohana Susana Yembise.

“KPPPA ini sebelumnya dengan Ibu Yohanna. Catatan kritisnya banyak ya lima tahun yang lalu, tetapi buat saya sih sebenarnya yang paling penting sulitnya pendekatan KPPPA lima tahun ke belakang ketika kami mengusung isu kesetaraan gender,” ungkap Anna kepada reporter Tirto, Rabu (23/10/2019).

Namun, saat bicara soal isu-isu tradisional, perawatan anak, keluarga, justru ditanggapi dengan cepat. Salah satu kesuksesannya juga terdapat pada revisi batas usia perempuan di UU Perkawinan.

“Untuk yang lain, kami sama-sama mendesak pengusungan RUU PKS, KPPPA kan bungkam ya. Lainnya, justru rancangan KUHP, yang jelas-jelas punya sejumlah pasal bermasalah, yang secara langsung mengancam perempuan, KPPA bungkam,” tegas Anna.

“Jadi memang Jokowi harusnya belajar, dari hasil rekrutmen yang lalu, memang ada inklusi di sana, Ibu Yohana itu dari Indonesia timur dan diletakkan di KPPPA. Namun, setelah melihat kabinet jilid dua juga kok diambil dari Indonesia timur juga, Bali, tetapi kok yang diambil sama-sama elite, Ibu Yohana dan Ibu Bintang sama-sama elite,” lanjutnya.

Jokowi Tak Begitu Paham Persoalan Perempuan

Latar belakang elite yang dimaksud oleh Anna adalah bagaimana perempuan-perempuan tersebut justru jauh dari permasalahan akar rumput, serta tak memiliki latar belakang yang berkaitan dengan aktivisme sosial.

“Saya tidak bisa bayangkan, elite seperti Ibu Bintang, dia latar belakangnya, mantan birokrat, ASN di Pemkot Bali, ASN Eselon II, dia istri dari mantan Menteri Koperasi, Puspayoga, yang terlihat bahwa ini adalah jatahnya PDIP,” ujar Anna.

“Tapi karena urusan perempuan, dipilihlah perempuan perpanjangan tangannya. Lalu karena harus ada simbolik inklusivitas, diambillah dari Indonesia timur,” lanjutnya.

Dengan itu, Anna melihat hal tersebut justru menunjukkan kegagalan Jokowi dalam memahami persoalan pemberdayaan perempuan yang tak sepatutnya sekadar diselesaikan lewat tataran simbolik saja.

“Harusnya justru yang paling penting memastikan orang yang ditempatkan bisa di-approach oleh beragam organisasi sosial kemasyarakatan yang memahami betul isu perempuan di lapangan seperti apa. Dengan itu, dari saya, harapan minimumnya untuk Ibu Bintang, semoga ia bisa di-approach dan mau mendengarkan,” tutur Anna.

“Ke depan, PR-nya [pekerjaan rumah] memang masih banyak ya. Apakah orang-orang yang direkrut dengan dasar elite kepartaian, mampu menyelesaikan masalah perempuan yang ada?” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KABINET INDONESIA MAJU atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri