Menuju konten utama

Kabinet Baru untuk Melawan Radikalisme atau Membungkam Demokrasi?

Radikalisme menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintah, tapi di sisi lain memanfaatkan cara itu untuk membungkam pengkritik

Kabinet Baru untuk Melawan Radikalisme atau Membungkam Demokrasi?
Mantan Wakil Panglima TNI Fachrul Razi tak tahu alasan pasti Presiden Joko Widodo memilih dirinya sebagai Menteri Agama, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/10/2019). tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya.

"Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama," kata Jokowi saat mengumumkan susunan menteri kabinet sembari duduk di tangga Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019).

Satu persatu, nama menteri yang dipanggil Jokowi berdiri. Nama lainnya adalah Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kummolo Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prabowo Subianto Menteri Pertahanan.

Jika melihat kelima formasi menteri itu, terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia.

Fachrul Razi, usai pelantikan kabinet Indonesia Maju mengatakan bahwa ia sedang menyusun upaya-upaya menangkal radikalisme di Indonesia. Ia mengakui Presiden memilihnya karena dianggap mempunyai terobosan menghadapi radikalisme.

"Saya berpikir mungkin beliau membayangkan juga bahwa belakangan ini potensi-potensi radikalisme cukup kuat sehingga beliau berpikir pasti pak Fachrul mungkin punya terobosan-terobosan lah dalam kaitan menangkal radikalisme ini," katanya

Namun, ia mengakui belum merumuskan nama dari program radikalisasi. Pria asal Aceh tersebut menilai tidak perlu membuat kejutan dalam program radikalisme bila pihaknya bisa melakukan dengan cara yang halus, tenang dan semua orang merasa dihormati dengan baik.

"Itulah ide-ide yang baik kita terapkan," kata Fachrul meyakinkan.

Selain Fahrul Razi, masih ada nama menteri lain yang mungkin dijadikan garda depan untuk menumpas radikalisme.

Ada Tito Karnavian merupakan mantan Kapolri, ia pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror Polri dan Kepala Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT). Ada juga Menko Polhukam Mahfud MD pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Selain itu, Tjahjo Kumulo memiliki rekam jejak mendukung pembubaran Hizbur Tahrir Indonesia, dan mempersulit perpanjangan izin ormas Front Pembela Islam di Kemendagri. Kini Thajo menjabat Menpan RB.

Pasca penyerangan Wiranto oleh pasutri kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi di Banten menggunakan senjata tajam pada 10 Oktober 2019 atau 10 hari menjelang pelantikan Presiden dan wapres terpilih 2019-2024, Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri secara masif menangkap jaringan JAD.

Catatan tirto, tiga hari menjelang pelantikan Densus 88 telah menangkap 40 jaringan JAD di berbagai kota; Bekasi, Jakarta, Lampung, Bandung, Cirebon. Salah satunya AH, JAD Lampung yang berbaiat ke ISIS itu memiliki jaringan Jateng, Jabar dan Jambi.

Al Chaidar Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh mengatakan ada ketakutan yang luar biasa dari negara terhadap radikalisme dan terorisme. Bukan tanpa alasan, penyebaran dan pertumbuhan kelompok radikalisme ini sudah di 34 provinsi dan menguasai kota-kota penting di Indonesia.

Ia mengklaim, ditahap pertama jumlah pengikut JAD 34 ribu anggota, kini setelah pelarangan mencapai 200 ribu anggota

"Ini tidak main-main. Pertumbuhan yang mengkhawatirkan. Semua kementerian harus berpikir bagaimana untuk menghadang ini (radikalisme-terorisme)," kata Chaidar.

Namun, ketakutan itu rentan dimanfaatkan pemerintah untuk membungkam lawan politik dengan tudingan radikal, ekstremis, teroris tanpa tolak ukur yang jelas.

Membungkam dengan Stigma

Isu perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan lingkungan lembaga pemerintah terpapar paham radikal bukanlah barang baru sekarang saja. Namun, isu radikalisme dipakai untuk menyerang institusi lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru pertama kali terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo membantah tudingan soal isu masuknya paham radikal di lingkungan KPK. Menurut dia, tudingan itu hanyalah bentuk serangan balik terhadap lembaga antirasuah yang selama ini membongkar kasus korupsi besar tanpa kompromi.

“Munculnya isu baru bahwa adanya paham radikal di KPK menjadi pertanyaan besar yang tak terjawab dikarenakan tidak ada indikasi sama sekali bahwa kaum radikal tumbuh di KPK,” kata Yudi melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (19/6/2019).

Isu itu sampai memunculkan istilah "taliban" di dalam KPK. Istilah ini ditujukan pada Wadah Pegawai KPK yang kritis terhadap proses pemilihan pimpinan KPK dan menolak revisi UU KPK.

Catatan tirto, sejak Juni-September 2019, isu radikal di lembaga negara tersebut terus dihembuskan di media sosial oleh buzzer. Terutama saat proses pemilihan komisioner dan revisi Undang-Undang KPK. Propaganda di medsos menggunakan kata radikal atau taliban untuk mendeligitimasi dan melemahkan KPK.

Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia PBNU Rumadi Ahmad mengatakan penguasa mungkin saja memberikan stigma radikal itu kepada sebuah kelompok. Tapi, masyarakat bisa memberikan penilaian apakah tindakan labeling yang dilakukan pemerintah sesuai atau tidak.

Rumadi menambahkan istilah radikal itu sering digunakan oleh masyarakat, tapi apakah itu berindikasi pelanggaran HAM atau hanya sekadar memberikan peringatan. Ia bilang semua itu harus kita kontrol bersama termasuk kelompok masyarakat.

“Jangan kritis terhadap pemerintah terus disebut radikal, enggak begitulah,” kata Rumadi kepada tirto, Rabu, Jakarta (24/10/2019).

Masih ingat kasus HTI pada 2017? Pemerintah membubarkan lembaga tersebut karena dinilai menyebarkan paham radikalisme. Persoalannya adalah pembubaran itu tidak melalui prosedur hukum melainkan menggunakan kekuasaan politik.

Kepala Bidang Advokasi Kelompok Minoritas dan Rentan LBH Jakarta Pratiwi Febry mengatakan jika orang-orang yang bergabung dalam HTI melakukan pelanggaran hukum atau ancaman keamanan yang dilakukan HTI, maka seharusnya terhadap mereka dilakukan penegakan hukum sesuai aturan yang di KUHP atau atau aturan pidana lainnya.

“Bukan organisasi yang dibubarkan,” kata Pratiwi.

Jika hari ini pemerintah dengan kekuasaannya sewenang-wenang membubaran ormas HTI maka bukan tidak mungkin ke depan pemerintah akan membubarkan ormas yang kritis dengan alasan berbeda ideologi, pemikiran, pendapat atau sikap dengan pemerintah.

Kasus HTI sudah memakan korban, salah satunya Profesor Suteki, Guru Besar Fakultas Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip). Tiga jabatannya dicopot tanpa alasan yang jelas. Anehnya pencopatan itu justru ia ketahui melalui media massa. Dalih universitas karena alasan bolos mengajar.

Belakangan, Suteki mengetahui dicopot dari jabatannya karena ia diminta hadir sebagai saksi ahli untuk menyampaikan pendapat dalam uji yudisial Perppu Ormas di Mahkamah Konstitusi.

Intoleransi dan Radikalisme

Rumadi Ahmad menilai ideologi radikal merupakan perkembangan lebih lanjut dari pikiran dan sikap intoleran. Intoleransi merupakan bahan baku yang bisa berkembang menjadi gerakan radikal yang menghalalkan kekerasan, mengganti ideologi negara sampai dengan terorisme.

“Jadi, menghilangkan radikal tidak mungkin dilakukan jika tak dimulai dari permasalahan intoleransi,” kata Rumadi.

Oleh karena itu perlu mewaspadai sikap-sikap intoleransi yang semakin tumbuh dalam masyarakat. Berdasarkan survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Oktober 2010-Januari 2011 dengan sampel 1.000 siswa SMP (kelas III) dan SMU se-Jabodetabek serta guru pendidikan agama islam (PAI) se Jabodetabek ditemukan hasil yang mencengangkan. Sebab 62,7% guru dan 40,7% siswa menolak berdirinya tempat ibadah agama non islam di lingkungan mereka.

Pikiran-pikiran intoleran juga semakin masuk ke dalam ruang kehidupan berbangsa, bukan hanya di kalangan masyarakat, tapi juga birokrasi dan lembaga pendidikan. Namun terkadang penanganannya berlebihan.

Infografik HL Indept Indonesia Maju

Kabinet Indonesia Maju untuk melawan radikalisme atau membungkam demokrasi?. tirto.id/Lugas

Sayangnya, Polri terkadang masih melakukan pembiaran kelompok-kelompok radikal untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Polisi semestinya sebagai alat negara untuk menjadi pelindung atas kebebasan berpikir, berpendapat dan berkeyakinan.

"Sikap intoleran juga merasuk dalam tubuh kepolisian sehingga menjadi alat untuk melancarkan aspirasi kelompok radikal (segel rumah ibadah). Padahal, semestinya kepolisian bertugas melindungi konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan," kata Rumadi.

Sementara itu melihat kabinet Indonesia Maju 2019-2024, Yunita, aktivis HAM sekaligus mantan advokat LBH Jakarta mengatakan tidak terlalu kaget dengan pilihan menteri tersebut. Pasalnya dari awal pencalonan diri sebagai capres patahana, Presiden Jokowi tidak serius dalam penyelesaian kasus HAM dan penegakan hukum.

Ia menambahkan, penegakan HAM di era Presiden Jokowi tidak berlangsung baik, malah terjadi tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dengan skala besar kepada pihak-pihak yeng mengkritik pemerintah seperti mahasiswa.

“Itu bisa saja, apalagi ada UU Ormas. Yang ditakutkan bukan hanya membubarkan HTI justru ormas sipil lainnya bisa dibubarkan secara paksa dan ini ancaman demokrasi,” kata Yunita.

Baca juga artikel terkait KABINET INDONESIA MAJU atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Politik
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna