Menuju konten utama

Kabar Myanmar Hari Ini: Polisi Tembak Peluru Karet ke Massa Demo

Kabar terkini Myanmar usai dikudeta militer hari ini, Rabu 9 Februari 2021 adalah polisi menembakkan peluru karet. 

Kabar Myanmar Hari Ini: Polisi Tembak Peluru Karet ke Massa Demo
Orang-orang Burma yang tinggal di Jepang dan para pendukungnya memegang foto pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi selama protes di depan Kementerian Luar Negeri di Tokyo pada Rabu, 3 Februari 2021. (Foto AP / Eugene Hoshiko)

tirto.id - Masyarakat Myanmar secara beramai-ramai melakukan unjuk rasa untuk menentang kudeta yang dilakukan junta militer terhadap pemerintahan yang sah.

Seperti diwartakan BBC pada hari ini Selasa, 9 Februari 2021, polisi Myanmar telah mengambil tindakan dengan cara menembakkan peluru karet selama demonstrasi di ibu kota Nay Pyi Taw.

Tidak hanya menembakkan peluru karet, mereka juga menyemprotkan massa dengan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa yang menuntut pemulihan demokrasi. Massa terus menahan rentetan air yang ditembakkan ke arah mereka dan menolak mundur, demikian menurut laporan kantor berita Reuters.

Kepada AFP, seorang warga mengatakan bahwa awalnya polisi "melepaskan tembakan peringatan ke langit dua kali, kemudian mereka menembak [ke pengunjuk rasa] dengan peluru karet".

"Akhiri kediktatoran militer," teriak para pengunjuk rasa.

Protes secara besar-besaran telah berlangsung di beberapa kota selama empat hari berturut-turut. Mereka tidak peduli meskipun junta militer telah melarang pertemuan publik besar-besaran dan memberlakukan jam malam di beberapa kota.

Pada Senin (8/2) lalu, pemimpin militer Min Aung Hlaing memperingatkan bahwa tidak ada yang melanggar hukum, meskipun ia tidak mengeluarkan ancaman langsung kepada pengunjuk rasa.

Pada hari Rabu (3/2/2021) dokter dan perawat dari sekitar 70 rumah sakit umum di Myanmar turut dalam gerakan kampanye pembangkangan sipil. Para tenaga kesehatan itu melakukan mogok kerja untuk memprotes kudeta militer.

"Dokter medis Myanmar, yang menanggung beban pandemi global COVID-19, tidak mengakui keabsahan pemerintah militer," kata dokter seperti dilansir Anadolu Agency.

"Kami berhenti pergi ke rumah sakit yang sekarang berada di bawah pemerintahan militer tidak sah," katanya.

Menurut seorang profesor di universitas kedokteran di Yangon yang tidak mau disebutkan namanya. "Tentara tidak pernah peduli dengan layanan kesehatan masyarakat."

"Mereka semakin takut dengan kampanye kami, dan ingin kami menjadi bingung dan [merusak] persatuan kami," kata dokter yang berada di garis depan memerangi Covid-19 di Myanmar.

"Mereka memiliki sejarah panjang mengabaikan layanan kesehatan masyarakat. Kami telah melihat beberapa orang meninggal karena sistem perawatan kesehatan yang buruk di bawah kediktatoran militer, tetapi mereka menyalahkan kami [dokter dan perawat]," katanya.

"Pengumuman militer hari ini hanyalah alasan untuk menyalahkan kami karena tidak merawat pasien. Ini tipuan dan taktik balasan," katanya.

Negara Myanmar mengalami guncangan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021 lalu. Dalam kudeta itu, militer menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari.

Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing langsung mengambil alih kekuasaan selama satu tahun dan mengumumkan keadaan darurat. Ketegangan ini terjadi karena tentara menuduh pemerintah mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu.

Atas hal itu, tentara mempromosikan Wakil Presiden Myint Swe menjadi penjabat presiden pada Februari 2021 setelah mereka menggulingkan Presiden Win Myint dan kepala pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi dalam sebuah kudeta militer.

Sejarah Junta Militer dalam Kudeta Myanmar

Ketegangan antara pemerintah dan militer ini terjadi karena tentara menuduh pemerintah Suu Kyi mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu. Mereka menuding partai Suu Kyi memperluas mayoritas parlemennya dengan mengorbankan perwakilan militer.

Sikap militer yang menolak mengakui hasil pemilu dengan menangkap Suu Kyi mungkin terasa seperti mengulang sejarah masa lalu Myanmar. Negara yang dulunya dikenal sebagai Burma itu telah lama dianggap sebagai negara paria ketika berada di bawah kekuasaan junta militer yang menindas. Dan itu terjadi sejak tahun 1962 sampai dengan 2011.

Melansir Forbes, pada tahun 1962, empat belas tahun setelah negara itu merdeka dari pemerintahan kolonial Inggris, Tatmadaw (sebutan untuk angkatan bersenjata Myanmar), yang berada di bawah Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil, kemudian memasang rezim otoriter.

Kudeta tersebut muncul dari ketakutan militer atas pemerintah sipil yang mereka sebut "gagal" dalam menindak gerakan etnis minoritas dan sayap bersenjata.

Maka daripada itu, kejadian baru-baru ini bukan kudeta pertama dalam sejarah Myanmar. Sebab, kudeta yang pertama terjadi pada tahun 1962 itu berhasil membawa militer ke tampuk kekuasaan.

Pada Agustus 1988, Myanmar kembali diguncang oleh protes massal yang menyebabkan penggulingan Jenderal Ne Win dan posisinya kembali digantikan oleh junta militer yang baru. Peralihan kekuasaan ini telah menyebabkan kerusuhan di mana ribuan orang dilaporkan terbunuh.

Setelah serangkaian protes yang dikenal sebagai Pemberontakan 8888 itu, Myanmar kembali dipimpin junta militer, dan mereka kembali berkuasa selama 22 tahun.

Para jenderal militer yang mengendalikan negara sering membungkam semua perbedaan pendapat, bahkan kerap dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut memicu kecaman dan sanksi internasional terhadap Myanmar, yang kala itu berada di bawah kepemimpinan militer.

Sejak tahun 2011, Myanmar mulai melakukan serangkaian reformasi secara bertahap, dan mereka mulai melakukan pemilihan umum secara bebas pada tahun 2015. Pemilu tersebut membawa Suu Kyi--putri seorang pahlawan kemerdekaan yang terbunuh--ke tampuk kekuasaan, ini dianggap sebagai pemilihan umum paling bebas dalam 25 tahun.

Namun, seperti diwartakan BBC, operasi militer terhadap tersangka teroris di Negara Bagian Rakhine sejak Agustus 2017 telah mendorong lebih dari setengah juta Muslim Rohingnya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh. Kejadian ini digambarkan PBB sebagai "pembersihan etnis".

Otomatis, tragedi tersebut merusak reputasi pemerintah baru Myanmar di mata internasional dan menyoroti tentang cengkraman militer yang berkelanjutan di Myanmar.

Aung San Suu Kyi telah menjalankan tugasnya sebagai Penasihat Negara sejak akhir militer memerintah pada tahun 2016. Namun, reputasi pemimpin gerakan pro-demokrasi ini terpukul pada tahun 2017 karena perlakuan pemerintahnya terhadap komunitas Muslim Rohingya, yang menurut PBB sebagai "korban pembersihan etnis di tangan militer".

Baca juga artikel terkait MYANMAR atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya