Menuju konten utama

Kabaddi: Olahraga Berusia 4.000 Tahun di Asian Games 2018

Kabaddi mulanya dimainkan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sekarang, olahraga ini dipertandingkan di Asian Games.

Kabaddi: Olahraga Berusia 4.000 Tahun di Asian Games 2018
Pemain kabaddi Indonesia I Putu Wahyu Juniartha berhasil menyentuh garis tengah dan mendapat angka dalam dalam babak penyisihan olahraga Kabaddi Putra Asian Games 2018 melawan tim Malaysia, di Gedung Teater Garuda, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Selasa (21/8/2018). ANTARA FOTO/INASGOC/Syaiful Arif

tirto.id - Lebih dari 50 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1962, Indonesia pernah menjadi tuan rumah acara Asian Games. Kini, pesta olahraga yang diadakan tiap empat tahun sekali tersebut kembali diselenggarakan di Jakarta dan Palembang sejak pertengahan Agustus hingga awal September. Empat puluh cabang olahraga (cabor) dipertandingkan pada Asian Games 2018, salah satunya kabaddi.

Sebanyak 12 negara berpartisipasi dalam kompetisi cabor kabaddi, antara lain adalah Pakistan, Indonesia, Iran, Jepang, Bangladesh, Sri Lanka, Thailand, Nepal, India, Cina, Malaysia, dan Korea. Pelatih kabaddi Indonesia Kadek Yogi Parta Lesmana mengatakan kepada Antara bahwa Asian Games 2018 merupakan pesta olahraga Asia pertama yang diikuti oleh atlet kabaddi Indonesia.

Meski terhitung baru, Kadek menjelaskan tim Indonesia telah berlatih keras agar dapat meraih medali. Ia menuturkan bahwa atlet kabaddi Indonesia sempat mengikuti kejuaraan antar-klub di berbagai daerah di India serta kompetisi Kabaddi Circle Style di Malaysia dan berhasil meraih medali perunggu. Tak hanya itu, mereka juga mengikuti latihan intensif selama satu bulan di India yang bersama pelatih yang berpengalaman.

Hingga 21 Agustus 2018, tim kabaddi putra Indonesia sukses mengalahkan Malaysia, Nepal dan Jepang sehingga mempunyai peluang melaju ke babak semifinal, sementara tim kabaddi putri Indonesia takluk oleh Sri Lanka dan India. Padahal, mereka berhasil memenangkan pertandingan pertama di Asian Games 2018 saat melawan tim Jepang dengan skor 30-22.

Asal Usul

Nama kabaddi mungkin tak akrab di telinga penggemar olahraga Indonesia. Tapi, kabaddi tak asing bagi masyarakat yang tinggal di India, Bangladesh, dan masyarakat Asia Selatan lainnya.

Menurut Victoria Williams dalam Weird Sports and Wacky Games Around the World: From Buzkashi to Zorbing (2015: 151), kabaddi yang dimainkan secara berkelompok menggabungkan unsur olahraga rugbi dan gulat. Olahraga ini populer di Bangladesh, Iran, Jepang, Nepal, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Di benua Eropa dan Amerika, kabaddi dikenal oleh masyarakat Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada.

Lain tempat, lain pula cara orang menyebut Kabaddi. Mengacu pada Encyclopædia Britannica, masyarakat di wilayah barat India menyebut kabaddi dengan hu-tu-tu, sedangkan orang India bagian timur dan Bangladesh menamainya ha-do-do. Penduduk di selatan India mengenalnya sebagai chedu-gudu, sementara penduduk Sri Lanka lebih akrab dengan sebutan gudu. Bagi orang Thailand, Kabaddi adalah theechub.

Masih menurut Williams, nama kabaddi juga dibedakan berdasarkan jenis kelamin pemainnya. Jika dimainkan laki-laki, Kabaddi disebut sebagai ha-du-du, dan chu-kit-kit jika pemainnya perempuan.

Ada klaim yang menyatakan bahwa kabaddi merupakan modifikasi permainan strategi perang kuno dan formasi bertahan Chakravyuha yang tertulis dalam kitab Mahabharata. Hal ini diungkapkan oleh Pratibha Mittal dalam Kabaddi: Rules and Regulations (2015: 2). Ia mengatakan strategi Chakravyuha milik pasukan Kurawa ini sangat susah ditembus sampai-sampai Abimanyu, anak Arjuna, harus meregang nyawa karena tak sanggup melarikan diri. Kabaddi memang sudah ada sejak masa prasejarah dan telah berusia 4.000 tahun.

Seperti yang dilaporkan CNN, kabaddi dimainkan di lapangan berukuran 10x13 meter (untuk laki-laki) dan 8x12 meter (untuk perempuan). Dua tim yang masing-masing terdiri dari tujuh orang akan berlomba untuk mendapatkan poin. Kabaddi berlangsung selama 20 menit dalam dua babak dengan lima menit waktu istirahat antar-babak.

Organisasi Amateur Kabaddi Federation of India (AKFI) mengatakan inti dari permainan kabaddi adalah mencetak poin dengan cara menyerang area musuh dan menyentuh tim lawan sebanyak mungkin. Si penyerang harus bisa meloloskan diri dari tangkapan lawan dan mesti menyerbu sambil menahan napas dan mengucapkan “kabaddi, kabaddi, kabaddi”.

Saat sang penyerang datang, tim bertahan mesti berusaha menghalangi agar ia tak kembali ke daerahnya dengan cara menjatuhkannya ke tanah. Apabila mereka gagal maka pemain yang disentuh oleh si penyerang akan dianggap keluar untuk sementara. Mereka hanya boleh kembali ke lapangan jika timnya mendapat poin saat menyerang atau berhasil menangkap penyerang yang menyerbu ke area kubunya.

Infografik Kabaddi

Mulanya, kabaddi banyak dimainkan oleh penduduk di daerah pedesaan. Namun, seperti yang dicatat Ronojoy Sen dalam Nation at Play: History of Sport in India (2015: 220), kabaddi mulai dilirik oleh masyarakat internasional sejak permainan tersebut dipertontonkan pada acara Asian Games 1951 di Delhi, India. Pada 1990, kabaddi baru resmi menjadi cabor pada pesta olahraga Asia yang kala itu berlangsung di Beijing, Cina.

Dilansir dari Asian Age, India menjuarai kompetisi kabaddi di Asian Games sejak 1990 hingga 2014. Bukan sesuatu yang mengherankan. Sebab kabaddi memang telah lama dimainkan di India.

Kembali mengutip Ronojoy Sen (2015: 219-220), masyarakat India modern mulai mengenal Kabaddi sebagai olahraga pada pada 1911. Pada tahun 1920-an, pertandingan kabaddi mulai diselenggarakan di mana-mana karena dorongan dari para penggemarnya yang mayoritas berasal dari barat India.

Selang 20 tahun lebih, tepatnya pada 1947, kabaddi diusung sebagai olahraga yang terlembaga (organized sport). Sejak itu, organisasi yang mengurusi kabaddi di India dibentuk dan kompetisi kabaddi yang diikuti oleh tim yang berasal dari masing-masing provinsi atau lembaga diadakan tiap tahun.

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 2018 atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Olahraga
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf