Menuju konten utama

Jutaan Jiwa Tinggal di Kawasan Rawan Longsor, Kok Tidak Direlokasi?

BNPB menyebut terdapat sekitar 40,9 juta jiwa yang tersebar di ratusan kabupaten/kota berada di wilayah rawan longsor. Akankah mereka direlokasi?

Jutaan Jiwa Tinggal di Kawasan Rawan Longsor, Kok Tidak Direlokasi?
Petugas SAR gabungan bergotong royong berusaha mencari korban longsor yang belum ditemukan di Desa Sirnaresmi, Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (03/01/2019). ANTARA FOTO/Nurul Ramadhan

tirto.id - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut sekitar 40,9 juta jiwa yang tersebar di 274 kabupaten/kota di seluruh Indonesia bermukim di daerah yang rawan longsor. Wilayah ini mencakup sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Soal ini Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah mengatakan harusnya daerah-daerah seperti itu tidak boleh untuk pemukiman. Ia mengingatkan kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena bencana longsor hanya akan menjadi bom waktu saat musim penghujan.

Sutopo mengatakan penting mengatur dan mengimplementasikan tata ruang di lapangan sebagai kunci mengatasi longsor.

BNPB sebenarnya bukan kali ini saja mengingatkan soal potensi bencana tersebut. Pada tahun 2014, ketika Dusun Jemblung, di Kabupaten Banjarnegara diterpa longsor, Sutopo juga menyatakan hal yang sama.

Sutopo pun mengakui kondisi tersebut tidak berubah sejak 2014 hingga memasuki awal tahun 2019 ini. “Sudah saya sampaikan itu sejak lama. Memang sulit mengatasi, karena banyak terkait dengan masalah yang ada,” kata Sutopo saat dikonfirmasi ulang reporter Tirto, Senin (7/1/2019).

Menurut Sutopo, “Pemda harus benar-benar mengatur dan menegakkan tata ruang wilayah. Aspek tata ruang lebih efektif daripada lainnya.”

Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Sumadilaga. Ia menekankan perlunya peninjauan kembali persoalan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional tersebut.

“Intinya tata ruang di kabupaten atau kota harus mempertimbangkan potensi bencana. Kalau belum, harus dipertimbangkan, yang mungkin mengubah tata ruang yang ada,” kata dia.

Namun demikian, kata Danis, perihal relokasi warga yang berada di kawasan rawan bencana merupakan wewenang pemerintah daerah.

Dirjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Budi Situmorang justru menilai tidak perlu lagi ada evaluasi pada RTRW.

Sebab, kata Budi, RTRW yang ada sudah mengakomodir kawasan rawan bencana. Menurut Budi, yang perlu ditekankan justru adalah implementasi dari RTRW tersebut.

“Hanya pelaksanaan pembangunan seolah-olah tidak mau tahu dengan pengaturan dalam RTRW tersebut. Jadi mana yang harus dievaluasi?” kata Budi.

Budi menambahkan, aturan RTRW sudah termaktub juga juga dalam peraturan daerah (perda). Di mana pembangunan permukiman warga akan dilarang atau dibatasi di kawasan rawan bencana.

“Tapi kok tetap ada pembangunannya? Ijinnya juga jangan-jangan sudah ada,” kata Budi balik bertanya.

Relokasi Solusi Terbaik

Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan, masalah ini disebabkan pemerintah daerah belum menjadikan tata ruang dengan perspektif bencana sebagai persoalan prioritas.

"Pemahaman dari tingkat pemdanya, belum menjadi prioritas. Karena RTRW, kan, diajukan mulai dari tingkat kabupaten,” kata politikus PKB ini.

Kendati demikian, kata Daniel, relokasi menjadi penting meski tidak mudah dalam melakukannya. Sebab, kata dia, perlu kebijakan yang mendukung dan sosialisasi yang kuat.

“Memindahkan kampung, kan, tidak mudah, biayanya juga besar. Setidaknya perlu analisa dulu. Tapi anggaran untuk ini saja belum ada,” kata Daniel.

Namun, kata Daniel, meski relokasi ini menjadi wewenang pemda, tetapi pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri harus berpartisipasi. Karena itu, kata Daniel, Komisi V DPR dalam rapat kerja dengan pemerintah akan mengagendakan pembahasan ini.

Hal senada diungkapkan Koordinator DebtWatch Arimbi Heroespeotri. Ia menuturkan, reloksai penting, meski bukan satu-satunya solusi.

Hal tersebut, kata dia, perlu melalui proses komunikasi bersama antara pemerintah dengan masyarakat setempat.

“Yang penting itu solusi diambil berdasarkan partisipasi inklusif dari masyarakat. Masyarakat diberi informasi soal bencana dan risikonya. Mereka bisa putuskan alternatif solusinya seperti apa? Apakah relokasi, [tetap] tinggal di tempat tersebut dengan risiko, atau hal lainnya,” kata dia.

Terkait ini, Kepala Sub Pertanahan dan Penataan Ruang Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Edison Siagian membenarkan soal jutaan jiwa yang tinggal di wilayah rawan longsor.

Namun, kata dia, tidak mudah merelokasi penduduk yang sudah sejak awal tinggal di daerah itu.

Sebab, kata Edison, sifat tata ruang mengatur bagaimana perencanaan ruang sampai pemanfaatannya. Jika suatu daerah masuk kategori rawan bencana, kata dia, maka harus ada mitigasi.

“Tidak harus memindahkan orang, karena itu bukan persoalan mudah. Persoalannya jadi bukan relokasi, tapi bagaimana kita mengantisipasi bencana itu,” kata Edison kepada reporter Tirto, Selasa (8/1/2019).

Karena itu, kata Edison, penerapan mitigasinya yang harus dimaksimalkan. Apalagi, kata dia, memindahkan 40-an juta orang itu butuh biaya malah.

“Ke mana dipindahkan itu juga persoalan lagi. Bukannya saya bilang relokasi itu tidak mungkin. Mungkin saja selama itu bisa dilakukan dan masyarakat mau,” kata Edison.

Baca juga artikel terkait BENCANA ALAM atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz