Menuju konten utama

Jurus Sauna ala Burger King

Pemasaran yang unik dan kreatif merupakan salah satu jalan untuk bisa bertahan menghadapi perubahan dunia bisnis yang sangat cepat. Mereka yang tak adaptif terbukti terseok-seok mempertahankan pangsa pasarnya. Lantas, bagaimana pemasaran yang unik dan kreatif sehingga membuat perusahaan mampu bertahan lama?

Jurus Sauna ala Burger King
Burger King. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - "Adaptasi atau mati" Petitih galak ini selalu diucapkan para motivator marketing bisnis dengan berbuih-buih. Hidup mati dunia bisnis tergantung kecepatan adaptasi terhadap kondisi pasar. Hari ini pasar berubah secepat kedipan mata. Siapa yang tak berinovasi, dia akan mati.

Inovasi tak melulu dengan mengeluarkan produk yang canggih ataupun mutakhir. Inovasi bisa dilakukan dengan melakukan adaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitar. Seperti yang dilakukan restoran cepat saji, Burger King.

Burger King membuat inovasi yang terbilang aneh pada gerai mereka yang berlokasi di Helsinki, Finlandia. Mereka membuka fasilitas sauna di dalam toko. Ruangan spa tersebut bisa memuat 15 orang. Fasilitas penunjangnya pun lengkap di luar ruangan seperti kamar mandi, loker, dan ruang bersantai yang berisi televisi dan peralatan game.

Fasilitas ini bukan berarti para pengunjung akan menyantap hamburger di dalam ruang spa dengan kondisi panas. Membayangkan tetesan keringat anda yang asin itu menetes perlahan ke sela-sela roti dan burger tentu itu menjijikkan.

“Tidak, tidak, sauna hanyalah tempat untuk berkeringat. Hamburger kami hanya dinikmati setelahnya di luar ruang sauna,” ucap Hanne-Mari Ahonen, Brand Manager Burger King Finlandia.

Memanfaatkan Hobi Sauna

Sauna di restoran cepat saji Burger King sukses di Finlandia. Konsep ini diganjar sebagai pemenang dalam kontes Foodservice Contest Winners 2016: Customisation, Technology, and New Experiences yang diselenggarakan Euromonitor pada awal bulan lalu.

Pujian muncul saat Burger King mampu menerapkan unsur penting dalam marketing yakni cultural proximity alias pembauran budaya masyarakat Finlandia.

Bagi masyarakat Finlandia, sauna tak hanya berarti mandi keringat semata. Sauna adalah bagian dari budaya. Media Inggris, BBC mengambil kesimpulan bahwa bagi banyak orang Finlandia, sauna adalah ruang paling suci yang paling dekat hubungannya dengan kesejahteraan dan kesehatan mereka

Hampir 99 persen warga Finlandia melakukan sauna setidaknya seminggu sekali. Hari ini, di negara dengan 5,3 juta penduduk itu memiliki 3,3 juta sauna. Sauna-sauna itu bisa ditemukan di berbagai tempat mulai dari rumah, kantor, pabrik, stadion, hotel hingga kantor pemerintahan sekalipun.

Ritual mandi dalam ruang berdinding kayu ini sudah dilakukan di Finlandia selama ribuan tahun. Banyak aktivitas yang dilakukan saat bersauna, mulai dari bersantai, bercumbu hingga negosiasi politik.

Meski Finlandia kini dikenal sebagai negara penggila sauna, tetapi di Helshinki jumlah sauna publik begitu minim. Dulu, di kota itu lebih dari 100 sauna publik tersebar hampir di setiap sudut jalan. Namun, jumlahnya mulai menurun di tahun 1950-an ketika orang mulai membeli rumah mereka sendiri, lengkap dengan sauna pribadi. Data terbaru, di Helshinki saat ini hanya memiliki empat sauna publik. Burger King benar-benar peka dengan hal ini. Mereka sukses mengkombinasikan cultural proximity dan supply-demand jumlah spa yang berkurang di Helshinki.

Dalam hal pemasaran yang kreatif di Finlandia, Burger King memang juaranya. Burger King sebenarnya sempat masuk ke Finlandia tahun 1980, tetapi hanya bertahan sebentar. Setelah hampir dua dekade absen, mereka beroperasi kembali ke negeri seribu danau itu pada 2013 lalu.

Selama dua tahun terakhir mereka berhasil jadi restoran waralaba terbesar dan mendepak McDonald’s yang sudah 28 tahun menguasai Finlandia. Selama beroperasi dalam kurun waktu lama itu, McDonald’s mengalami kerugian total mencapai €83 juta atau Rp1,2 triliun. Penurunan ini terjadi dalam lima tahun terakhir.

Secara logika penurunan McDonald's ini tak masuk akal sebab data Asosiasi Perhotelan Finlandia melansir tiap tahun pertumbuhan pasar restoran waralaba naik 2-3 persen. Situs lokal Taloussanomat menganalisa, penyebab Burger King berhasil menggeser McDonald’s disebabkan srategi penjualan mereka membuka gerai-gerai kecil di stasiun dan fasilitas publik, termasuk strategi sauna.

Keputusan Burger King yang membuka ruang sauna pada salah satu gerai di Helshinki adalah kemenangan telak atas McDonald’s dalam hal inovasi dan kreativitas.

Adaptasi Budaya Lokal

Beberapa pekan sebelum Burger King Finlandia memopulerkan ruang sauna, perusahaan junk food multi-nasional lainnya, Kentucky Fried Chicken (KFC) di Hong Kong merilis cat kuku yang bisa dikonsumsi.

Bekerja sama dengan ahli teknologi makanan McCormick, mereka berhasil menciptakan cat kuku dari bahan-bahan alami. Cat kuku ini tersedia dalam dua pilihan warna, merah-oranye dan nude cream serta dua rasa ayam goreng yang khas dengan KFC, yakni Original Recipe dan Hot & Spicy.

“Konsumen bisa dengan mudah mengaplikasikan seperti cat kuku biasa hingga kering, dan tinggal jilat – lagi, lagi, dan lagi,” ucap John Koay, Creative Director agensi PR Ogilvy & Mathers. John menambahkan cat kuku ini dibuat untuk menyasar kaum muda yang merupakan konsumen mayoritas di Hong Kong.

Produk kosmetik dengan aroma makanan bukan hal baru di dunia ini. Beberapa bulan lalu, Pizza Hut di Kanada meluncurkan cologne beraroma pizza. Ada pula parfum dengan wangi daging babi yang dibuat restoran kecil di Afrika Selatan.

Tapi apa yang dilakukan dua merek milik Yum! Corporate di atas itu hanya sebatas gimmick belaka – gimmick yang tak akan bertahan lama. Easy come easy go. Burger King pun sebenarnya melakukan gimmick, tetapi berkaitan dengan kebutuhan primer pasar mereka. Seperti dijelaskan di awal, bagi rakyat Finladia, sauna adalah budaya nasional.

Dalam konteks strategi penjualan yang menyasar kebutuhan dasar ini, KFC sudah melakukannya sejak lampau. KFC menginvansi Asia Timur dan Asia Tenggara dengan tambahan menu nasi. Semua sepakat bahwa makanan pokok masyarakat di dua wilayah ini adalah nasi. Tak lengkap rasanya jika sehari belum makan nasi.

KFC masuk ke Asia bagian timur sejak 1967, lewat Filipina. Kehadiran mereka di sana untuk menyasar warga dan tentara AS yang sedang getol-getolnya berperang dengan Vietnam. Dekade 70-an, KFC mulai tersebar di Malaysia, Jepang, Singapura, dan Indonesia. Dekade 80-an, ekspansi itu semakin diperluas ke Hong Kong, Korea Selatan, Cina, Taiwan, dan Thailand.

Berkat nasi, KFC sukses diterima oleh masyarakat. Di lain sisi, KFC mengadopsi menu-menu lokal lain untuk menyesuaikan dengan cita rasa setempat. Untuk poin ini, sang rival McDonald’s melakukan hal yang sama. Namun, inovasi yang mereka lakukan tak seekstrem KFC yang mau menyingkirkan ego untuk mempromosikan makanan-makanan barat di Asia.

Sebagai contoh, untuk mempromosikan Burger di Jepang, McDonald’s tetap bersikukuh identitas dan bentuk burger tak boleh diubah. Agar bisa tetap rasa lokal, daging sapi diganti menjadi daging ikan. Jadilah burger teriyaki.

Contoh lain, ketimbang menghidangkan nasi seperti bentuk lazimnya, mereka lebih memilih membentuk nasi itu menyerupai roti burger. Jadilah burger nasi. Antropolog budaya Asia Timur asal Belanda, Manya Koetse menyebut fenomena ini sebagai Glocal – unsur global yang bercampur dengan lokal.

Namun, kebebalan ini pula yang membuat McDonald's kalah bersaing dengan KFC di Asia. Data Euromonitor 2015 mencatat KFC menguasai hampir 6,8 persen bisnis restoran di Cina, McDonald’s hanya 2 persen saja. Dalam lingkup restoran fast food di Jepang, KFC menguasai hampir 70 persen. Pada mayoritas negara Asia Tenggara rata-rata pangsa pasar fast food mereka selalu di atas 55 persen.

Sadar akan hal ini, McDonald’s berubah. Menu nasi mulai banyak beredar awal dekade 2000-an. Di Cina, kabar itu datang sangat telat. Nasi baru mulai masuk gerai-gerai McDonald’s pada tahun 2013. Keputusan beradaptasi McDonald’s ini cukup telat. Pesaing mereka, KFC sudah melangkah lebih jauh.

Pada kasus bisnis restoran, pendekatan budaya itu tak melulu dari menu seperti KFC saja. Tirulah Burger King yang mampu mengambil ide kreatif dari hal di luar remeh temeh makanan yakni budaya sauna. Di Indonesia, negeri dengan beragam budaya, tidaklah susah untuk menggali ide pemasaran kreatif itu. Masalahnya maukah tim marketing bekerja kreatif mengadaptasi budaya lokal?

Baca juga artikel terkait MCDONALDS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Marketing
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti