Menuju konten utama

Jurus Satya Nadella di Balik Valuasi 1 Triliun Dolar Microsoft

Seperti pembaharu, CEO Satya Nadella membawa Microsoft bergeser dari proprietary culture ke open source culture.

Jurus Satya Nadella di Balik Valuasi 1 Triliun Dolar Microsoft
Orang-orang di dekat toko Microsoft di Fifth Avenue di New York City. FOTO/istockphoto

tirto.id - “Apakah kamu mau menjadi Chief Executive Officer (CEO)?” Pertanyaan itu dilontarkan Bill Gates kepada bawahannya di Microsoft, Satya Nadella.

Dengan santai, Nadella menjawab: “Jika Anda menghendakinya.”

Saat menceritakan fragmen tersebut dalam acara “Peer-to-Peer Conversations” bersama jurnalis senior Bloomberg David Rubenstein, Nadella lalu menceritakan bahwa Gates heran mendengar jawaban itu. Menurut gates, karyawan Microsoft lain akan menjawab pertanyaan itu dengan ketegasan; hanya “iya” tanpa embel-embel “jika Anda menghendaki” sebagai tanda persetujuan atau penunjukan Gates sebagai pendiri perusahaan.

Untuk mengetahui mengapa Nadella seakan tidak menginginkan jabatan CEO, Gates memintanya menerangkan dengan seksama. Nadella, dengan penuh keyakinan, lantas menjawab sederhana: “Itu mereka, bukan saya.”

Selepas dikendalikan Bill Gates hingga tahun 2000 dan diteruskan Steve Ballmer hingga 2014, Nadella akhirnya menjadi penerus menjadi CEO Microsoft. Sebelum memulai tugas sebagai direktur utama, Gates memberinya wejangan: “Jadilah dirimu, jangan terpaku pada saya ataupun Ballmer."

Nasihat Gates nampaknya dilakukan betul oleh Nadella. Microsoft diubahnya. Di bawah kendali Nadella, perusahaan tumbuh. Saham Microsoft meroket dari $38 per lembar di bulan pertamanya menjabat CEO menjadi $130 per lembar pada 25 April 2019, dan Microsoft masuk menjadi perusahaan bernilai kapitalisasi pasar lebih dari $1 triliun.

Mengapa bisa?

Di bawah kendali Bill Gates dan Steve Ballmer, Microsoft merupakan perusahaan proprietary culture atau budaya (hak) paten, khususnya menyangkut produk-produk yang mereka jual. Microsoft, misalnya, sangat anti membuka atau memberitahu publik bagaimana Windows NT—kernel atau sistem operasi yang menopang Windows XP hingga 10—bekerja. Haram pula hukumnya bagi pihak mana pun memodifikasi Windows.

Budaya Microsoft tersebut berkebalikan dengan Linux, sistem operasi yang menopang Ubuntu hingga Android. Teknologi yang diciptakan Linus Torvald itu membolehkan siapa pun untuk bisa menengok ke dalam source code, bahkan memodifikasinya.

Windows berbayar, sementara Linux gratis. Atas perbedaan fundamental itu, Gates pernah mengatakan bahwa Linux, dan open source secara umum, “membunuh lapangan pekerjaan.” Sementara itu, Ballmer, suatu ketika mengatakan bahwa “Linux adalah kanker ganas.”

Di bawah Nadella, kerja Microsoft dalam menanggapi produk-produknya berubah, dari proprietary culture ke open source culture. Hal itu seakan membungkam sikap yang pernah ditunjukkan kedua pendahulunya.

Menurut Nadella, sebagaimana dituturkannya kepada Rubenstein dari Bloomberg, perubahan tersebut dilakukan “tidak untuk menyalahkan masa lalu, tetapi sebagai adaptasi dengan masa depan”.

Perubahan pertama ditunjukan dengan membuka akses 60 ribu paten milik Microsoft ke Open Invention Network. Menurut Microsoft, ini dilakukan untuk “melindungi Linux dan open source”. Setelahnya, pada pertengahan 2018, Microsoft membeli Github senilai $7,5 miliar. Ia adalah layanan hosting repositori Git berbasis web, tempat 27 juta orang di seluruh dunia menyimpan, membagikan, berkolaborasi atas source code yang mereka buat.

Kala itu, Nadella, sebagaimana termuat dalam laman resmi perusahaan, mengatakan bahwa Microsoft “merupakan perusahaan developer-first, yang dengan dibelinya Github, kami memperkuat komitmen pada kebebasan pengembang, keterbukaan, dan inovasi.”

Jelas, sikap Microsoft yang terbuka kepada sumber terbuka bukan tanpa hitung-hitungan bisnis. Azure, layanan cloud milik mereka yang menjadi pesaing Amazon Web Service (AWS), membutuhkan kekuatan open source untuk berkembang.

Dalam laporan yang ditulis Wired, Linux dan open source merupakan penopang bisnis dunia, khususnya di dunia internet. "Linux dan open source bekerja di belakang layar, menyebrang memanfaatkan internet, melayani hampir setiap laman yang dikunjungi netizen. Facebook, Google, Pinterest, Wikipedia, semuanya menjalankan Linux dan open source,” demikian ditulis Wired.

Artinya, untuk dilirik bisnis-bisnis itu, Microsoft memang harus mendukung open source. Dalam hitung-hitungan statistik, satu dari empat server Azure menggunakan Linux, bukan Windows Server.

Azure akhirnya berkembang. Bisnis Intelligent Cloud, yang memuat Azure di dalamnya, menyumbang pendapatan senilai $9,6 miliar bagi Microsoft pada kuartal ketiga tahun 2019, meningkat dari $7,9 miliar di kuartal yang sama setahun lalu.

Bersikap "baik" kepada open source bukan hanya penyumbang peruntungan Microsoft di bawah kendali Nadella. Perubahan lainnya yang dilakukan Nadella ialah mengamankan media sosial bernama LinkedIn.

LinkedIn merupakan “Facebook bagi profesional”. Microsoft mengakuisisinya pada Juni 2016 senilai $26,2 miliar, menjadi akuisisi terbesar sepanjang masa bagi Microsoft.

Menurut Nadella, masih kepada Rubenstein, Microsoft merupakan perusahaan yang identik menciptakan produk bagi profesional. Office, misalnya, yang menjadi pilihan utama kaum kantoran dalam mendukung tugas-tugas mereka, mendulang uang hingga $14 miliar bagi Microsoft di tahun 2016.

“Kami memiliki Windows dan Office, segalanya dibuat untuk kaum profesional. Dan kenyataan ini akan jauh lebih baik jika kami mengkombinasikannya dengan media sosial bagi profesional,” terang Nadella. “Dengan kombinasi ini, para pekerja bisa diarahkan untuk jauh lebih produktif."

Infografik Valuasi Microsoft

undefined

Selain soal kombinasi, Nadella juga menyebut bahwa di LinkedIn banyak terjadi kesepakatan bisnis. Katanya, LinkedIn diakuisisi agar Microsoft bisa masuk dalam kesepakatan-kesepakatan itu.

Strategi Nadella mengkonsolidasikan kebutuhan profesional sungguh jitu. Termuat dalam laporan keuangan 2018, LinkedIn menyumbang pendapatan senilai $2,3 miliar bagi Microsoft.

Selain membuka diri pada open source dan mengkonsolidasikan kebutuhan kaum profesional, kesuksesan Microsoft di bawah Nadella juga didukung moncernya Surface, yang menurut David Pierce, merupakan usaha Microsoft mengambil alih kembali kue bisnis komputer yang direbut Macbook.

Selepas menghabiskan proses penciptaan selama 2 tahun sejak 2012, Surface akhirnya menyumbang pendapatan senilai $25 miliar pada 2017.

Dengan berbagai perubahan yang sukses mengembalikan Microsoft di jalur yang benar, Nadella merendah. Katanya, dibanding mengucapkan selamat atas capaiannya, banyak orang yang menyuruhnya datang dan “tolong perbaiki komputerku”.

Baca juga artikel terkait MICROSOFT atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani