Menuju konten utama

Jurnalis Buton Tengah Dipenjara, Sang Istri Kena Imbas Dipecat DPRD

Marfuah, istri Sadli sempat diminta mengingatkan suaminya untuk berhenti memberitakan masalah simpang lima Labungkari oleh Sekretaris DPRD Buton Tengah.

Jurnalis Buton Tengah Dipenjara, Sang Istri Kena Imbas Dipecat DPRD
Sejumlah jurnalis dari AJI Jakarta menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Seorang wartawan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, Moh Sadli Saleh (33), dijebloskan ke penjara karena mengkritik pemerintah setempat melalui tulisan yang dimuat Liputanpersada.com. Pria yang menjabat sebagai Pemimpin Redaksi itu dijerat dengan sangkaan pelanggaran UU ITE. Hingga kini Sadli telah tiga kali menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri Buton.

Usai Sadli dipenjara, sang istri Siti Marfuah (34), juga ikut merasakan imbasnya. Ia dipecat sebagai tenaga honorer di Sekretariat DPRD Buton Tengah (Buteng), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Zainal Ishaq menerangkan, berdasarkan pengakuan Marfuah, setelah tulisan yang dipersoalkan oleh pemerintah Buteng itu terbit. Marfuah mengaku pernah dipanggil oleh Sekretaris DPRD Buton Tengah.

Dirinya diminta mengingatkan suaminya untuk berhenti memberitakan masalah simpang lima Labungkari. Namun Sadli malah tak mengindahkan peringatan tersebut.

"Tanpa alasan yang jelas, pada September 2019, Marfuah dicoret sebagai penerima honor di Sekretariat DPRD Buton Tengah," kata dia melalui keterangan tertulisnya, Minggu (9/2/2020).

Setelah dipecat, honor sebesar Rp680 ribu yang diterima oleh Marfuah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Buton Tengah akhirnya disetop. Pengabdiannya sebagai tenaga honorer sejak 2015 berakhir.

"Istri Sadli, tidak ada kaitannya dengan tulisan Sadli. Sehingga tidak ada alasan untuk memecatnya sebagai tenaga honorer di sekretariat DPRD Buton Tengah," tukas dia.

Reporter Tirto mencoba mengonfirmasi hal ini ke DPRD Buton Tengah. Namun, hingga berita ini ditulis, pihak DPRD belum juga merespons.

Zainal pun menilai pelaporan terhadap Sadli oleh Bupati Buton Tengah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Juga mengabaikan Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers.

Dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pada BAB V Dewan Pers Pasal 15 ayat 2 poin d, Dewan Pers melaksanakan fungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengadian masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

"Dengan artian, harusnya Bupati Buton Tengah melaporkan sengketa pers ini ke Dewan Pers sebagai pihak yang menilai karya jurnalistik Sadli," kata dia.

Hal ini juga kata dia, dikuatkan dalam MoU antara Dewan Pers dan Mabes Polri. Pada BAB III bagian kedua tentang Koordinasi di Bidang Perlindungan Kemerdekaan Pers Pasal 4 poin 2, apabila Polri menerima pengaduan dugaan perselisihan atau sengketa termasuk surat pembaca, atau opini/kolom, antara wartawan/media dengan masyarakat.

Polisi mengarahkan yang berselisih atau pengadu melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Dewan Pers maupun proses perdata.

"Dalam kasus yang menimpa Sadli, tidak melewati tahapan yang dimaksud, di mana penggunaan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke pihak polisi, maupun proses perdata, tidak dilakukan oleh pihak pelapor dalam hal ini Bupati Buton Tengah Samahuddin," jelas dia.

Kemudian ia juga menilai pelaporan terhadap Sadli oleh Bupati Buton Tengah bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-XIII/2015 tahun 2015 tentang Yudisial Review pasal 319. Intinya bahwa penghinaan terhadap pejabat negara dihapus, maka kedudukan pejabat negara setara dengan masyarakat, dimana pasal tentang penghinaan pejabat negara adalah delik aduan.

"Dengan demikian, apabila ada pejabat negara merasa dihina harus melaporkan sendiri secara pribadi atau dikuasakan kepada penasihat hukumnya, tentunya dengan biaya pribadi," tuturnya.

Selama proses peradilan, Bupati Buteng Samahudin sebagai pihak pelapor juga belum pernah datang ke pengadilan. Oleh karena itu AJI Kendari mendesak penegak hukum segera menghadirkan Bupati Buteng, Samahudin ke pengadilan.

Kemudian meminta Bupati Buteng menghormati Undang-undang Pers dan penegak hukum. Apalagi dalam sengketa jurnalistik, penegak hukum menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Lalu hapuskan pasal karet dalam UU ITE yang menjerat Sadli," pungkasnya.

Lebih lanjut, dirinya meminta kepada Polda Sultra untuk menyosialisasikan MoU Dewan Pers dan Mabes Polri ke jajaran di bawahnya.

"Dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, jurnalis wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan taat pada Kode Etik Jurnalis," jelas dia.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri