Menuju konten utama

Junk Food Memanipulasi Pikiran dan Memicu Autoimun Global

Junk food punya mekanisme memanipulasi otak agar mengira makanan lezat itu hanyalah camilan.

Ilustrasi makanan cepat saji. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Pernahkan Anda berpikir kenapa burger disebut “makanan sampah”? Padahal si roti tangkup itu berisi karbohidrat roti, sayuran, dan protein daging sapi. Lalu, mengapa ayam goreng rumahan punya nilai lebih sehat dibanding ayam goreng di restoran cepat saji?

Rasanya menu-menu yang tersedia di restoran cepat saji hampir mirip dengan menu yang kita buat sehari-hari. Tapi selama ini mereka dipahami sebagai makanan rendah gizi yang cuma membikin kita cepat gemuk. Kenapa bisa begitu?

Makanan cepat saji menipu kita dengan balutan “sayuran” yang komposisinya tak sebanding dengan porsi karbohidrat, lemak, gula, atau natrium di dalamnya. Bahkan protein dalam makanan cepat saji bersembunyi di balik pengolahan makanan yang membuat nilai gizinya berkurang.

Lebih dari itu, makanan ini juga memanipulasi pikiran dan tubuh kita, bahkan dengan efek 20 kali lebih cepat dari asap rokok. Anda tak salah baca, New York Times menyebut untuk memengaruhi otak dan bikin ketagihan, asap rokok butuh waktu selama 10 detik. Tapi sentuhan gula di lidah hanya butuh 0,6 detik saja.

Sebagian dari kita mungkin mengira bahwa junk food seperti burger, piza, atau ayam goreng cepat saji sebagai camilan. Inilah mekanisme manipulasi yang dilakukan si “makanan sampah” terhadap otak. Pusat sistem saraf mendapat sinyal bahwa deretan makanan tersebut bukan makanan berat, sehingga membuat efek selalu lapar dan ketagihan. Makanya seringkali kita tak pernah merasa cukup ketika menikmati junk food. Rasanya kondisi kenyang cuma numpang lewat saja.

Walhasil, makanan ini seringkali kita anggap hanya sebagai “pengganjal” perut belaka.

Selama ini pengetahuan awam kita terhadap junk food hanya sebatas jadi faktor utama obesitas dan meningkatkan risiko diabetes. Tapi di balik yang terlihat di permukaan, ada pola makan buruk yang memicu demensia karena tekanan darah tinggi dan kolesterol mengganggu suplai darah ke otak.

Junk food mencegah sel-sel otak merespon insulin,” tulis sebuah penelitian mengenai junk food terhadap efek demensia.

Makanan dengan kadar lemak dan gula tinggi membuat insulin meningkat sehingga otot, lemak, dan sel otak tak maksimal merespons hormon insulin. Pada akhirnya kondisi ini membatasi kemampuan berpikir serta mengingat.

Dengan sering memakan junk food yang rendah nutrisi, maka otak jadi sulit memproduksi hormon serotonin—hormon yang memicu perasaan nyaman dan senang--sehingga kita jadi gampang stres.

Remaja adalah Pecandu Junk Food Terbanyak

Seberapa sering Anda mengonsumsi makanan cepat saji dalam seminggu? Kebanyakan orang, menurut survei BBC pada 2016, mengambil dua hari dalam seminggu untuk mengisi perut mereka dengan junk food.

Tapi ada kelompok manusia yang lebih sering “ngemil” dibanding lainnya, mereka adalah remaja. Pada survei tersebut orang-orang berusia 16-20 tahun bisa menikmati makanan sampah sampai dua kali dalam sehari.

Angka yang bisa membuat ahli gizi geleng-geleng kepala membayangkan jumlah kalori dan gula-garam di dalamnya. Sepaket dengan tingkat konsumsi pada remaja, ternyata efek biologis dan kognitif pada junk food juga lebih mudah diterima kelompok umur ini.

Studi terbaru (2020) pada jurnal The Lancet Child & Adolescent Health menggambarkan perilaku makan buruk ini merupakan cikal bakal obesitas dewasa dan menghambat perkembangan otak remaja. Junk food merusak kemampuan berpikir, belajar, dan mengingat para remaja, bahkan meningkatkan risiko depresi dan kecemasan.

“Otak remaja lebih sensitif terhadap makanan tinggi lemak dan gula olahan karena punya lebih banyak reseptor dopamin dibanding dewasa,” tulis penelitian tersebut. Reseptor dopamin adalah molekul protein yang menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh.

Kondisi ini dibuat semakin memabukkan dengan pertumbuhan otak (korteks prefrontal) remaja yang belum sempurna. Korteks prefrontal, bagian otak yang berfungsi memberi penilaian, mengontrol rangsangan, dan emosi baru mulai berkembang sempurna di umur 20-an.

“Sebagian besar fungsi otak ada di korteks prefrontal, termasuk matematika kompleks, membaca, dan menilai perilaku berisiko.”

Artinya remaja belum punya rem pakem untuk membatasi perilaku impulsif mereka, termasuk soal menimbang pengaruh buruk dari makan junk food. Makanya para remaja dan dewasa muda lebih sering “jajan” dibanding memilih makanan sehat tinggi serat.

Si Lezat Pemicu Autoimun Global

Kiwari kita hidup di dunia yang rentan dan rapuh, ancaman penyakit mengepung manusia dari berbagai penjuru. Mereka datang karena kerusakan lingkungan, mutasi dan evolusi, serta perubahan perilaku manusia.

Jika di masa lampau manusia mengonsumsi beragam jenis pangan dengan minimal intervensi pengolahan, maka saat ini semakin banyak orang mengadopsi pola makan instan. Kita lazim menyebutnya dengan makanan orang Barat.

“Di Barat, jumlah kasus autoimun mulai naik sekitar 40 tahun yang lalu. Tapi sekarang muncul di negara yang sebelumnya tak punya riwayat penyakit tersebut,” ungkap James Lee, peneliti klinis, ahli Gastroenterologi dari Francis Crick Institute, pusat penelitian biomedis di London.

Respons autoimun membuat sistem kekebalan tubuh tak bisa membedakan antara sel sehat dengan mikroorganisme jahat, sehingga justru menyerang jaringan atau organ sehat. Beragam penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1, rheumatoid arthritis, penyakit radang usus, dan multiple sclerosis terdeteksi di Timur Tengah dan Asia.

Infografik Junk Food

Infografik Junk Food. tirto.id/Fuad

Secara internasional, kasus ini diperkirakan meningkat antara 3-9 persen per tahun. Francis Crick Institute akhirnya melakukan penelitian skala internasional guna menentukan penyebab kasus baru autoimun. Kesimpulan deduktif mereka mengarahkan “faktor lingkungan” sebagai akar dari masalah ini.

“Genetika manusia tak berubah selama beberapa dekade belakangan. Jadi ada yang berubah di dunia sana sehingga kecenderungan terhadap autoimun meningkat,” jelas Lee, merujuk pada perubahan pola makan sebagai peran kunci.

Kegemaran orang berubah, obsesi memuaskan rasa lapar manusia beralih ke makanan cepat saji yang rendah serat. Kondisi ini memengaruhi mikrobioma--kumpulan mikroorganisme dalam usus--yang berperan mengendalikan berbagai fungsi tubuh, termasuk menangkal kecenderungan autoimun.

Tim peneliti juga menyimpulkan bahwa golongan umur aktif--yang mulai bekerja atau menikah--menjadi kelompok yang paling banyak mengidap autoimun. Selaras dengan penelitian sebelumnya yang menyebut kelompok umur ini paling banyak mengonsumsi junk food.

Lantaran dunia medis belum menemukan obat untuk gangguan autoimun, maka orang dengan kondisi ini harus bergantung pada terapi dan operasi di sepanjang hidup mereka. Sungguh nikmat sesaat yang harus dibayar dengan berat dan berkepanjangan.

Namun, mustahil untuk menghentikan penyebaran global autoimun dengan menutup waralaba makanan cepat saji. Sebagai gantinya, setiap individu harus bertanggung jawab pada kesehatannya masing-masing.

Baca juga artikel terkait JUNK FOOD atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Irfan Teguh Pribadi
-->