Menuju konten utama
Kisah-Kisah Judi

Judi Berkembang dan Dimatikan di Semarang

Pembahasan bagaimana judi dipakai untuk pembangunan di masa lalu biasanya hanya soal Jakarta, padahal banyak yang serupa. Salah satunya Semarang.

Judi Berkembang dan Dimatikan di Semarang
ilustrasi kasino. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Artikel sebelumnya dapat dibaca di tautan berikut: Di Tangan Ali Sadikin, Duit Judi Dipakai untuk Membangun Jakarta

Kawan saya di Kampung Sawah, Jakarta, punya lingkaran pertemanan yang bicara soal togel belaka. Saya sadar bahwa judi seperti ini tidak memudar seiring waktu, diwariskan dari mulut ke mulut hingga lintas generasi, karena tempat tersebut pernah diliput Majalah Tempo edisi 29 Mei 1971 untuk isu yang sama.

“'TUDJUH pahlawan gagah perkasa tertumbuk pada suatu pertempuran. Empat hari tiga malam di tengah-tengah kelompok seratus serdadu berkuda’. Ini bukan tjerita silat tapi kode buntut Nalo jang dikeluarkan tjukong Kampung Sawah.”

Tiga tahun kemudian, 1974, judi tak lagi menjadi kegiatan legal karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Sebelumnya judi dilegalkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1967.

Berkat melegalkan judi, pemasukan Jakarta melesat. Dari pemasukan tersebut pemerintah membangun sekolah, pemeliharaan jalan, dan beragam fasilitas lain.

Setahun sebelum riwayatnya habis, 1973, tempat perjudian legal Jakarta diperkirakan telah ditutup oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Ali Sadikin tentu saja khawatir. Ia bahkan pernah memarahi wartawan yang bertanya tentang kelanjutan nasib judi di ibu kota.

“Kalian seperti beo saja,” kata Ali kepada wartawan. “Pemerintah bicara judi, kalian juga ikut-ikutan bicara soal judi. Apa maunya?”

Judi Semarang Dibabat Sebelum Jakarta

Mungkin Ali marah karena teringat pada peristiwa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebelum Jakarta, daerah tersebutlah yang jadi sasaran. Kopkamtib, yang kala itu dipimpin Jenderal Soemitro Sastrodihardjo, melarang judi di tempat tersebut.

Selain Jakarta, Semarang adalah kota besar lain di Pulau Jawa tempat judi merajalela. Perjudian di sana sudah ramai sejak tahun 1960. Tak heran karena Semarang adalah pusat perdagangan sejak dahulu kala. Beragam etnis bermukim di sini, termasuk Tionghoa yang gemar berjudi.

Sama seperti di banyak tempat lain, yang terkenal di kota ini adalah judi buntut. Judi buntut intinya adalah permainan menebak angka.

Sama pula seperti di Jakarta, judi yang awalnya tidak diatur kemudian dilegalkan pada 1970. Pemerintah mendirikan New International Amusement Centre (NIAC), yang intinya adalah upaya menggandeng swasta untuk terlibat. Pusat judi, atau lokalisasi, kemudian dibuka di Shopping Center Johar.

Dalam artikel berjudul Dari Perizinan Hingga Pelarangan: Perjudian Di Kota Semarang Tahun 1970-1997 (2021), mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang Dwi Hendro Prabowo dan Putri Agus Wijayati menganggap proyek ini dibuat agar perjudian tidak makin menyebar dan dilakukan diam-diam.

Tentu saja ini menambah pundi-pundi pajak daerah. Jalan dan sekolah dibangun dari anggaran pemerintah daerah yang berasal dari pajak judi, termasuk juga penanggulangan bencana.

“Pengaturan perjudian dalam bentuk NIAC tersebut dinilai efektif, dilihat dari pemerataan pembangunan pasca-pendirian NIAC di mana pemerataan pembangunan tersebut menjadi bukti adanya perbaikan dan fasilitas baru bagi kepentingan publik Kota Semarang,” catat Hendro dan Putri.

Awalnya perjudian di Semarang hanyalah permainan dan hiburan di area pasar malam, mulai dari sabung ayam, dadu, dan gaple. Permainan ini, kata Hendro dan Putri, menjadi medium masyarakat mengakrabkan diri dan saling berinteraksi satu sama lain.

Pemerintah yang menarik pajak permainan mengubah hal tersebut. Dalam rangka menarik minat masyarakat agar semakin sering bermain, hadiah barang kemudian berubah menjadi uang.

“Hadiah inilah yang kemudian membuat tataran permainan yang semula berkembang sebagai hiburan di pasar malam berubah menjadi perjudian karena unsur ekonomis persaingan tersebut.”

infografi semarang rasa belanda

infografi semarang rasa belanda

Semua yang berawal akhirnya menemukan akhir juga. Di Semarang, ini terjadi pada 1990-an. Pemerintah Semarang menganggap judi itu harus menjadi monopoli mereka. Masalahnya uang yang berputar terlalu besar. Masyarakat juga ingin menjadi pemain. Pemerintah kemudian melarang judi selain yang dibuat oleh mereka bahkan menangkap yang terlibat di luar itu.

Akhirnya pemerintah melarang total judi.

Sekarang, pemerintah tidak lagi mendapatkan pajak dari judi legal–apalagi ilegal. Bandar judi ditangkap di seluruh daerah. Tapi, tetap saja, ada dari mereka yang masih lolos, bisanya lewat judi online. Pelaku judi online ini bahkan berani mendaftarkan situsnya ke Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Entah berapa banyak lagi judi ilegal yang masih tersebar. Dalam satu kisah di Majalah Tempo edisi 21 Februari 1981, pecandu judi bernama Syamsi (disamarkan) mengaku ketika judi dahulu masih dilarang, yang membekingi adalah “baju hijau”–maksudnya tentara.

Ali Sadikin juga percaya bahwa jika judi dijadikan ilegal, maka tentu yang mendapat keuntungan adalah mereka “yang punya kekuasaan.”

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait JUDI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino