Menuju konten utama
Riza Pratama

Jubir PT Freeport Indonesia: "Kami Tidak Melibatkan TNI-Polri"

Freeport Indonesia menolak disebut melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 3.274 buruh.

Jubir PT Freeport Indonesia:
Riza Pratama, juru bicara PT Freeport Indonesia. Tirto/Sabit

tirto.id - Sejak Januari 2017, perusahaan kontraktor dan privatisasi dalam naungan PT Freeport Indonesia telah memutus kerja ratusan buruh. Berikutnya, dari Februari hingga April 2017, PT FI melayangkan kebijakan “furlough” bagi 823 pekerja.

Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengakui bahwa furlough tak dikenal dalam hukum di Indonesia. Tindakan tersebut—alias secara umum dikenal “merumahkan pekerja”—karena perusahaan dalam “kondisi sulit.”

“Awal Januari itu Freeport Indonesia tidak diberikan izin ekspor [oleh pemerintah Indonesia), produksi kami turun sampai 60 persen,” katanya.

Kebijakan ini menyulut protes. Di bawah payung Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK SPKEP SPSI), para buruh mengajukan tiga kali perundingan mengenai status furlough.

Menurut Lokataru, kantor hukum dan hak asasi manusia berkedudukan di Jakarta yang menjadi pengacara bagi sekitar 3.274 buruh yang di-PHK, manajemen Freeport Indonesia menolak perundingan tersebut.

Alasannya, “keputusan untuk membebaskan pekerja dalam bentuk menjalani cuti ke tempat asal disertai pembebasan kewajiban kerja adalah salah satu upaya mengurangi kegiatan operasional sebagai tahapan berikutnya dari upaya efisiensi.”

Akhirnya, menilai proses itu buntu, buruh mengirim surat kepada perusahaan berisi rencana mogok kerja. Mogok digelar pada 1 Mei 2017—bertepatan Hari Buruh Sedunia. Ketika PT FI menghentikan mencari target tambahan untuk furlough, buruh tetap kekeh menolak bekerja.

Belakangan, PT FI menganggap 3.274 buruh yang ikut mogok kerja telah melakukan tindakan “indisipliner.”

“Kami enggak pernah PHK. Ini salah lagi. Kami menganggap mereka mengundurkan diri secara sukarela,” klaim Riza kepada Dieq Hasbi Widhana dalam wawancara via telepon pada 12 Februari silam. Riza menolak ditemui untuk wawancara tatap muka, betapapun kantor humas PT Freeport Indonesia di bilangan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Riza juga membantah bahwa selama ini aparat TNI dan Polri digunakan persahaan untuk menekan buruh yang tengah berunding terkait status kerja mereka. Berikut petikan wawancaranya. (Penyuntingan dilakukan secara minor demi enak dibaca.)

Furlough tak dikenal dalam hukum Indonesia. Juga tidak ada dalam Perjanjian Kerja Bersama/Pedoman Hubungan Industrial 2015-2017 antara PT FI dan Serikat Pekerja.

Furlough memang tidak ada dalam bahasa Indonesia, tapi sebenarnya ini program efisiensi. Pada awal Januari 2017, Freeport Indonesia tidak diberikan pemerintah Indonesia untuk izin ekspor. Produksi kami turun sampai 60 persen. Kami hanya berproduksi 40 persen, harus melakukan banyak efisiensi.

Program efisiensinya, misalnya menyetop ekspansi program, menyetop kontraktor-kontraktor, merumahkan—furlough ini merumahkan 823 karyawan pada awal Januari … supaya perusahaan bisa survive, bisa terus beroperasi. Kalau enggak, mana mungkin bisa beroperasi dengan sekian banyak karyawan?

Kalau kontraktor memang secara tidak langsung kontraknya diputus.

Ke-823 karyawan yang mendapatkan furlough mendapatkan gaji pokok dan tunjangan seperti layaknya mereka bekerja—itu selama beberapa bulan.

Pekerja yang kena furlough berkata bingung terhadap manajemen perusahaan, misalnya mengapa seperti tidak ada tolok ukur, dan kepastian kapan akan bekerja kembali?

Loh perusahaan sampai sekarang ini pun tidak ada kepastian. Perusahaan ini masih berunding dengan pemerintah. Setiap enam bulan kami diberikan izin rekomendasi ekspor. Kalau enam bulan lagi kami tidak diberikan rekomendasi ekspor, kami tetap akan beroperasi lagi pada 40 persen. Jadi sampai sekarang kami belum ada kepastian beroperasi.

Saat itu pula, pada awal Januari 2017, pabrik smelting kami (di Gresik, Jawa Timur) yang menampung 40 persen itu lagi mogok pula. Jadi tidak ada produksi sama sekali waktu itu, tidak ada konsentrat yang dikirim sama sekali. Bayangkan bagaimana bisa survive?

Maka, kami melakukan efisiensi. Kalau tidak, perusahaan ini tidak akan bisa berproduksi dan akan lebih banyak lagi karyawan yang berdampak.

Waktu itu perusahaan dalam kondisi sulit. Kami melakukan efisiensi memotong kontraktor dan merumahkan sebagian karyawan.

[Catatan: Konsentrat PT FI dikirim ke smelter PT Aneka Tambang dan PT Smelting Gresik Smelter and Refinery. PT Smelting dibangun pada 1994 dengan membeli putus bahan baku berupa konsentrat dari PT FI. PT Smelting menghasilkan katoda tembaga, kawat, kabel, asam sulfat, gypsum, copper slag, anode slime, copper telluride, dan lainnya. PT Petrokimia Gresik (Petrogres), anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero), mengambil asam sulfat. PT Semen Indonesia membeli gypsum hasil pemurnian.]

Maksud tanpa tolok ukur adalah buruh yang disasar furlough. Apakah mereka berprestasi atau tidak sasarannya, atau malah acak?

Oh, tidak. Bahkan waktu kami merumahkan tentu kami merumahkan yang tidak berhubungan langsung dengan operasi. Misalnya, yang tidak critical untuk produksi kami. Kami mempunyai kriteria-kriteria tertentu untuk merumahkan.

Perusahaan belum ada kepastian sampai bulan April. Pada Maret 2017, kami memberikan paket (PPHKS/ Program Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela) untuk mereka ambil sehingga mereka bisa mendapatkan uang atau bantuan untuk bisa mencari pekerjaan di tempat lain, daripada menunggu kepastian dari Freeport yang tidak jelas ini.

Bahkan employee kami yang bekerja pun banyak yang ingin dan mengambil itu. Karena melihat paketnya bagus. Jadi bukan hanya yang dirumahkan, bahkan yang sedang bekerja, banyak yang ngambil paket itu.

Para buruh yang berserikat menganggap sasaran furlough adalah komisaris mereka, sumber kekuatan mereka di lapangan.

Oh, enggak. Itu alasan mereka. Beberapa teman kami di Jakarta, yang di kantor pusat, juga kena furlough. Jadi enggak hanya di serikat. Itu enggak masuk akal (tudingan serikat pekerja).

Di Amerika Serikat memang sudah biasa ada furlough. Tapi syaratnya harus ada perundingan sebelum melakukan langkah tersebut. Tapi Freeport Indonesia menolak sampai tiga kali permohonan berunding terkait furlough.

Siapa bilang menolak? Ini salah sekali. Sebelum kami melakukan furlough, kami panggil serikat beberapa kali. Itu 18 kali atau berapa. Tapi mereka tidak pernah nongol. Maaf, mereka yang tidak pernah nongol. Usaha itu sudah kami lakukan dan kami ada record-nya semua.

Mereka menganggap itu rapat sosialisasi satu arah...

Lah, di rapat itu mereka tidak datang, bagaimana? Kami dituduh tidak melakukan (perundingan)? Enggak fair, dong.

Furlough sempat dihentikan atau dicabut sebenarnya?

Tanggal 23 April 2017 kami merasa program furlough sudah cukup, lalu kami hentikan.

Soal barang-barang mereka di barak yang di-PHK, dikemanakan sekarang?

Kami enggak pernah PHK. Ini salah lagi. Kami menganggap mereka mengundurkan diri secara sukarela.

Kami sediakan mereka untuk memindahkan barang, tapi kalau tidak dipindahkan bagaimana? Kami harus keluarkan barang. Kami sudah panggil mereka berapa kali.

Jadi waktu kami mengetahui banyak yang absen waktu tanggal 11 April, banyak karyawan kami yang absen, mangkir. Sudah lima hari lebih, bahkan sudah hampir dua minggu, terus kami panggil lewat berbagai usaha di televisi, radio, koran, dan sebagainya, bahkan kami datangi rumahnya. Mereka tetap tidak hadir.

Berarti mereka kami anggap mengundurkan diri dan itu sesuai peraturan di undang-undang dan Perjanjian Kerja Bersama dengan mereka.

Barulah, tanggal 20 April, mereka mengeluarkan surat mogok. Padahal mereka sudah absen sejak awal April 2017.

Sekarang barang para buruh di barak ini di mana?

Saya tidak tahu. Ada mungkin barangnya. Kami minta mereka datang tapi tidak (datang). Itu masih bisa digunakan untuk mereka yang masih bekerja.

Soal BPJS Kesehatan terhadap buruh, mengapa dinonaktifkan?

Bukan dinonaktifkan. Setelah mengundurkan diri tentu responbility BPJS kembali ke karyawannya lagi.

Waktu itu kami membuat posko. Kami bantu karyawan memindahkan dari BPJS kami ke BPJS karyawan langsung. Karena mereka sudah bukan karyawan lagi. Kami anggap sudah mengundurkan diri. Untuk membayarkannya, kami tidak mungkin karena bukan karyawan lagi.

[Catatan tambahan dari Riza Pratama via pesan WhatsApp: Jumlah Pekerja PT FI yg dirumahkan pada periode Feb-April adalah 823 orang. Sebanyak 606 mengajukan resign (PHK sukarela) dengan paket kompensasi di atas normatif. Sisanya masih berstatus sebagai pekerja sampai saat ini. Di luar itu, 3.274 pekerja dikualifikasikan mengundurkan diri akibat mangkir berkepanjangan. Perusahaan sudah melakukan upaya memanggil pekerja kembali tapi tidak direspons oleh pekerja.]

Kalau masih dalam proses perundingan seperti sekarang, bukankah harusnya BPJS Kesehatan tetap dibayarkan?

Enggak, dong. Mereka mengundurkan diri. Beda dengan furlough. Tapi kalau mengundurkan diri, langsung setop. Tidak ada perundingan. Kalau mereka sudah tidak masuk sekian lama—itu dianggap mengundurkan diri, tidak perlu dirundingkan di dalam undang-undang.

Soal rekening tabungan yang diblokir bagaimana?

Itu yang memblokir bank, bukan kami. Mana bisa perusahaan memblokir tabungan-tabungan punya karyawan?

Kenapa bank memblokir? Karena mereka mungkin punya utang ke bank tersebut. Di mana perusahaan di Indonesia ini bisa memblokir account bank? Ya enggak bisa. Yang bisa blokir itu bank.

Pada beberapa perundingan bipartit, termasuk di Grasberg pada 2016 dan di Rimba Papua Hotel, Timika, pada 2017, ada kehadiran aparat TNI dan Polri di dalam dan di luar perusahaan. Polisi yang jadi mediatornya.

Kami tidak melibatkan mereka. Mereka hanya membantu membuat suasana kondusif. Rundingan, sih, antara kami.

Selain itu saat demo pada Agustus 2017, TNI, Polri, dan internal sekuriti perusahaan ikut menyisir jalan di Timika. PT FI mengumumkan ke internal mengenai jalur-jalur yang aman di Timika. Sekuriti Freeport ikut men-sweeping atribut serikat buruh.

Enggak mungkin internal kami sweeping, kami bukan polisi. Mungkin itu salah.

Manajemen dianggap serikat melakukan union busting sampai Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di PT FI terpecah dua. Buruh akan membawa masalah ini ke pengadilan dan Pengadilan Hubungan Industrial. Apa yang akan dilakukan manajemen PT Freeport Indonesia?

Kami tidak bisa menghalangi mereka melakukan apa pun. Kami merasa berada di jalur hukum, tidak di luar undang-undang atau hukum negara Indonesia, dan sesuai Perjanjian Kerja Bersama. Silakan saja kalau mereka melakukan itu. Tapi kami berikan bantuan kemanusiaan dan kalau mau bekerja kembali silakan tapi lewat kontraktor.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam