Menuju konten utama

JPU, Pengacara dan Ahok Bersitegang Soal Konteks Pidato Ahok

Ketua JPU Ali Mukartono sempat bersitegang dengan terdakwa Ahok dan penasehat hukum Humprey R Djemat saat Ali berusaha menyamakan konteks pidato Ahok di Kepulauan Seribu dengan pernyataan Ahok kepada media massa di Balai Kota.

JPU, Pengacara dan Ahok Bersitegang Soal Konteks Pidato Ahok
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki ruang sidang untuk menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (4/4). Sidang ke-17 tersebut beragendakan pemeriksaan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama. ANTARA FOTO/Gilang Praja/hma/ama/17

tirto.id - Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono sempat bersitegang dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan penasehat hukum Humprey R Djemat dalam persidangan dugaan penistaan agama, Senin (3/4/2017). Perdebatan berawal saat Ali berusaha menyamakan konteks pidato Ahok di Kepulauan Seribu dengan pernyataan Ahok kepada media massa di Balai Kota.

Semua berawal saat Ali menanyakan tentang isi BAP Ahok tentang pemaknaan Al Maidah 51. Ia menyinggung tentang munculnya perkataan “dibohongi”, “dibodohi” dan “diplesetin” kepada terdakwa saat berbicara pada masyarakat di Kepulauan Seribu.

"Pidato Saudara di Kepulauan Seribu yang diputar ada kata dibohongi, ada kata dibodohi kemudian di penjelasan Saudara di balai kota ada kata dibohongin, ada kata diplesetin?" kata Ali di Auditorium Kementan, Jakarta, Selasa (4/4/2017).

Ahok menjawab kalau dalam pidatonya itu tidak ada pernyataan “dibohongi”. Akan tetapi, Ahok membenarkan kalau ada pernyataan “diplesetin”.

Ali sempat ragu dengan pernyataan mantan Bupati Belitung Timur itu. Ahok mengatakan kalau ada transkrip pernyataannya di Balai Kota. Saat itu, Ahok mengatakan pernyataan tersebut saat ditanya awak media terkait pelaporan dugaan penistaan agama. Ia pun menjawab kalau tidak ada maksud untuk membahas masalah terjemahan.

"Saya sudah jelaskan dari awal bahwa saya itu bukan menyinggung Al Maidah 51 versi terjemahan Arab ke Indonesianya loh. Yang saya tulis di buku segala macam dalam artian gak boleh pilih Gubernur atau Bupati itu, saya sudah jelaskan," kata Ahok.

Ali pun kembali mencecar tentang keberadaan kata "dibohongi" dan "dibodohi" di Balai Kota. Pernyataan tersebut langsung direspon Ahok dengan menawarkan transkrip pembicaraan antara dirinya dengan awak media.

"Kami ada transkripnya," kata Ahok.

Penasehat hukum Ahok Humprey R Djemat pun langsung menimpali pernyataan Ahok. Humprey pun meminta agar Ahok membacakan transkrip agar tidak ada masalah. Transkrip itu pun dibacakan oleh Ahok. Ia menegaskan, dalam pernyataan dengan awak media, tidak menghina Alquran.

"Saya tidak mengatakan tidak menghina Alquran bodoh. Saya mengatakan kepada masyarakat di Kepulauan Seribu, jangan kalau kalian dibodohi oleh orang-orang rasis pengecut," ujar Ahok seraya membaca transkrip.

Secara garis besar, Ahok bercerita pengalaman dirinya waktu 2003. Ahok menemukan lawan-lawan politik yang rasis dan pengecut selalu menggunakan ayat itu (Al Maidah 51) untuk melawan dia.

Ia mengatakan, permasalahan tersebut bukan masalah terjemahan agama. Ahok pun menyinggung permasalahan rasis dan pengecut tidak hanya di agama Islam saja. Di salah satu ayat Alkitab, dikatakan Ahok, menyebutkan juga untuk menolong saudara seiman.

Menurut Ahok, orang yang menghina Alquran justru adalah orang-orang yang membodohi dan menyesatkan rakyat. Ia mencontohkan ISIS. Menurut Ahok, ISIS telah memplesetkan Alquran.

"Apakah kita menghina Alquran? Yang menghina Alquran memplesetkan (itu) ISIS. Justru bagi saya yang rasis yang pengecut itu yang menghina kitab suci Alquran karena Islam mengajarkan damai," kata Ahok.

Ali kembali menanyakan tentang hubungan omongan dibodohi dan dibohongi di Kepulauan Seribu sama dengan kata dipleseti dan membodohi di Balai Kota. Ahok pun kembali bingung. Majelis pun ikut menjelaskan kepada Ahok agar menjawab pertanyaan Ali.

"Yang saya tangkap Penuntut Umum menanyakan apakah ada kesamaan antara yang disampaikan di kepulauan 1000 dan di Balai Kota? Pemaknaannya apa ada kesamaan?" kata Dwiarso.

Ahok pun kembali menjawab seperti pernyataan awal. Ia mengatakan kalau pembicaraan dirinya di Balai Kota dengan di Kepulauan Seribu tidak lah sama. Ia menegaskan kalau dirinya tidak menodai agama.

Humprey pun kembali menyinggung kalau JPU berusahaa menyamakan keadaan di Balai Kota dengan Kepulauan Seribu. Ia keberatan karean pemaknaan kedua situasi tersebut berbeda.

"Jadi beda.. beda.. itu kan potongan pertanyaan-pertanyaan. Betul itu, betul tapi dianggap sama dengan pidato itu gak sama," kata Humprey.

Ali pun sempat bersitegang tentang Humprey. Ali sempat bernada kesal karena Humprey selalu memotong momen saat dirinya menanyakan kepada Ahok.

"Tadi sudah dijelaskan," tutur Humprey

"Belum selesai sudah dipotong tadi," kata Ali.

"Enggak saya menggambarkan," tegas Humprey.

"Biar selesai satu persatu. bisa saudara ulangi?" potong Dwiarso.

Setelah ditengahi oleh Dwiarso, pertanyaan Ali kembali dijawab Ahok. Ahok pun kembali menegaskan kalau kata yang digunakan di Kepulauan Seribu beda dengan pernyataan di Balai Kota.

"Saya katakan kalau mau mirip nggak, tapi substansinya wartawan tanya saya ada yang menggugat bapak istilah di kepulauan seribu. Makanya saya jelasin, cuma di sini saya gunakan kata kasar, rasis pengecut. Di Pulau Seribu saya tidak menggunakan kata itu," kata Ahok.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri