Menuju konten utama
13 Juli 1793

J.P. Marat: Tokoh Revolusi Prancis yang Dibunuh di Rumahnya Sendiri

Marat dituduh terlibat dalam peristiwa "Pembantaian September" pada masa Revolusi Prancis.

J.P. Marat: Tokoh Revolusi Prancis yang Dibunuh di Rumahnya Sendiri
Ilustrasi Mozaik Jean-Paul Marat. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam biografi Jean Paul Marat yang terbit pada 1927, sejarawan Amerika Louis Gottschalk, menggambarkan Marat sebagai salah satu pemimpin Revolusi Prancis yang perannya tidak terlalu signifikan. Gottschalk bahkan menyebut naiknya Marat ke atas panggung revolusi hanya aksidental, tidak bisa disamakan dengan peran para pemimpin lain yang "autentik".

Pada 2012, Clifford D. Conner menerbitkan versi lain biografi Marat. Conner secara khusus memusatkan perhatiannya pada karier politik Marat di bidang jurnalistik, terutama di masa empat tahun terakhir dalam hidupnya (1789-1793). Bagi Conner, di masa-masa itulah peran Marat dalam sejarah sangat signifikan.

Peran Marat itu digambarkan secara dramatis dan retoris oleh Victor Hugo dalam magnum opus Les Miserables. Menurut Hugo, selama kesengsaraan masih ada, akan selalu ada cakrawala yang bisa menjadi hantu dan hantu itu bisa menjadi Marat.

Sementara para sejarawan lain yang meneliti Marat umumnya terbagi ke dalam dua pandangan. Pertama, Marat adalah ancaman bagi status quo di Prancis. Kedua, Marat bisa dekat dengan orang-orang miskin karena ia punya karakter ekstrem yang selalu lekat dengan kekerasan fisik.

Marat memang sengaja menempatkan dirinya sebagai orang yang akrab dengan masyarakat kelas rendahan. Salah satu caranya adalah mengidentifikasi diri sebagai "éditeur de L’ami du peuple", editor surat kabar yang sengaja diterbitkan sebagai sahabat dan corong suara rakyat kecil. Di waktu yang sama, ia juga menambahkan identitas itu dalam tanda tangannya dan membuat surat kabar itu semakin dikenal publik.

Surat kabar L’Ami du Peuple mulanya dimaksudkan sebagai reformis dan secara eksplisit menggaungkan semangat revolusi secara radikal. Dua aspek ini bertahan di awal masa penerbitan. Namun dalam perkembangannya Marat berhenti berkampanye untuk reformasi, dan justru mengajak rakyat untuk total melawan sistem politik yang sudah mulai ajeg setelah 1789.

Surat kabar itu menjadi wadah opini bagi Sans Culottes--rakyat kecil militan, dan golongan radikal di Paris. L’Ami du Peuple juga menjadi sumber bacaan yang bernilai tinggi terutama untuk isu-isu seputar perkembangan golongan radikal kiri dalam revolusi yang sedang berjalan.

Dalam sebuah artikel, Marat sempat menyatakan kritiknya terhadap pastor Jacques Roux. Baginya, Roux bukan seorang revolusioner melainkan hanya pastor yang oportunis. Roux, imbuh Marat, hanya peduli pada agama selama agama bisa memberikan keuntungan finansial. Maka itu, Roux harus disingkirkan atas nama revolusi. Tulisan-tulisan Marat yang makin radikal mengaitkannya dengan kelompok radikal Jacobin yang naik ke kursi kekuasaan setelah Juni 1793.

Berkenalan dengan Politik dan Sains

Nama aslinya Jean Paul Mara. Ia lahir di Boudry, Prussia--sekarang masuk wilayah Swiss--pada 1743 sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Berbeda dengan tokoh-tokoh Revolusi Prancis lainnya seperti Danton, Necker, dan Robespierre yang berlatar belakang politik atau hukum, Marat punya latar pendidikan medis. Ia mengenyam pendidikan di kota Neuchatel, sebelum pindah ke Bordeaux di bawah naungan keluarga Nairac yang kaya raya. Paul Nairac memberi Marat pekerjaan sebagai guru bagi anak-anaknya.

“Bordeaux adalah pusat kegiatan komersial. Paul Nairac, salah satu warga utamanya, adalah pemilik kapal yang kaya raya yang mendapat keuntungan dari perdagangan komersial termasuk perdagangan budak,” tulis Clifford Conner dalam Jean Paul Marat: Tribune of the French Revolution (2012:11).

Setelah dua tahun di Bordeaux, ia pindah ke Paris untuk mempelajari ilmu kedokteran dan mengubah namanya dari Mara menjadi Marat. Meski tanpa kualifikasi formal di bidang kedokteran, ia bekerja sebagai dokter di London sejak 1765 dan mulai berteman dengan lingkaran intelektual serta seniman. Sekitar tahun 1770, Marat pindah ke kota Newcastle. Di sana ia menekuni bidang politik hingga menerbitkan "A Philosophical Essay on Man" (1773) dan "Chains of Slavery" (1774). Dalam dua artikel ini, Marat mengkritik aspek konstitusi Inggris yang ia yakini korup dan despotik. Ia mengutuk kekuasaan raja yang memengaruhi parlemen melalui suap dan pembatasan hak suara.

Terinspirasi dari karya Rousseau, argumen Marat termasuk futuristik pada zamannya dengan mengaitkan aspek-aspek kedaulatan politik kepada rakyat jelata, bukan kepada raja. Untuk mewujudkan itu, ia menyarankan agar rakyat punya wadah untuk mengekspresikan kedaulatan melalui mekanisme perwakilan.

Aktivitas politik tidak membuatnya lupa pada urusan sains. Di periode yang sama, Marat mendirikan laboratorium di rumah Marquise de l’Aubespine dengan dana yang ia kumpulkan dari praktik kedokteran di kalangan borjuis. Dari laboratorium itu pada 1779 ia menerbitkan penemuan ilmiahnya yang dikumpulkan dalam "Découvertes de M. Marat sur le feu, l'électricité et la lumière"--Penemuan Mr. Marat tentang Api, Listrik, dan Cahaya.

Pada Februari 1789, secara anonim Marat menuliskan kontribusinya yang pertama untuk Revolusi Prancis. Ia mengaku tulisannya dalam bentuk pamflet itu menimbulkan sensasi di seluruh negeri. Namun sejarawan Louis Gottschalk melihat Marat hanya melebih-lebihkan efek dari tulisannya. Bagi Gottschalk, pamflet itu tidak jauh berbeda dengan pamflet lain yang telah lebih dulu beredar di Paris.

Sejak itulah Marat berkonsentrasi menerbitkan surat kabar radikal. Pada 12 September 1789, surat kabarnya itu akhirnya terbit dengan nama Publiciste Parisien. Empat hari kemudian, namanya diubah menjadi L’Ami du Peuple.

Pembantaian September dan Kematian Marat

Pada 2 September 1792, kota Paris memiliki sembilan penjara dengan total sekitar 2.800 tahanan. Kala itu, serangkaian pembunuhan sadis terjadi di antara para tahanan hingga 6 September 1792 yang disebut "Pembantaian September". Hal ini menandai puncak periode teror yang pertama. Kala itu, Paris dan beberapa kota besar lain yang sedang berantakan akibat revolusi tengah dirundung ketakutan akan datangnya kekuatan asing yang siap menyerbu.

Tahun itu, Prancis menyatakan perang dengan Monarki Habsburg pada bulan April. Sejak 26 Agustus, di Paris beredar berita yang menyebutkan bahwa wilayah Longwy di Prancis utara telah jatuh ke tangan musuh. Invasi yang terus berjalan itu menggelorakan kembali patriotisme dan semangat revolusi bagi orang-orang Prancis.

Di sisi lain, warga ibu kota dirundung kecurigaan pemberontakan besar-besaran yang akan dimulai oleh para tahanan di penjara. Parlemen segera memerintahkan untuk membangun pertahanan nasional yang lebih kokoh. Militer dipersenjatai lebih baik sambil bersiap seandainya dibutuhkan pemerintahan darurat jika Paris berhasil diduduki pihak lawan.

Golongan radikal dan jurnalis termasuk Marat ikut mengusulkan langkah-langkah pencegahan. Tapi usulan itu berkembang menjadi ide untuk membunuh para tahanan di penjara sebelum mereka mulai memberontak. Setelah semua upaya pencegahan sia-sia, orang mulai mencari kambing hitam. Beberapa tokoh seperti Danton, Robespierre, dan Marat mulai dipersalahkan. Di antara semuanya, pembunuhan Marat oleh Charlotte Corday menjadi salah satu yang paling dikenal dalam sejarah Eropa.

Charlotte Corday yang juga bekerja sebagai jurnalis, tahu persis tentang Marat yang dianggapnya sebagai pemimpin Jacobin dan memainkan peran penting di masa teror. Tapi keputusannya membunuh Marat bukan hanya didasarkan pada kekesalannya atas "Pembantaian September". Corday yakin Marat adalah ancaman bagi Republik dan akan segera terjadi perang saudara jika Marat tetap hidup.

Infografik Mozaik Jean Paul Marat

Infografik Mozaik Jean Paul Marat. tirto.id/Sabit

Tanggal 9 Juli 1793, Corday pamit pada sepupunya hendak menuju Paris. Ia memesan kamar di Hotel Providence dan membeli sebilah pisau seukuran 15 cm. Selama beberapa hari ia menulis "Adresse aux Français amis des lois et de la paix"--Untuk Prancis, yang taat hukum dan perdamaian. Dalam tulisan itu ia menjabarkan alasannya membunuh Marat.

Corday berencana membunuh Marat di depan seluruh Konvensi Nasional. Namun, setelah tiba di Paris ia baru tahu ternyata Marat tidak menghadiri pertemuan Konvensi karena kesehatannya memburuk. Kelainan kulit dan beberapa penyakit memaksanya untuk banyak mengurangi aktivitas publik. Corday pun terpaksa mengubah rencana awalnya. Pada 13 Juli 1793, tepat hari ini 228 tahun silam, ia datang ke rumah Marat. Corday mengaku mengetahui sebuah rencana pemberontakan di Caen. Ia sempat ditolak oleh saudara perempuan Marat, tetapi datang lagi pada sore hari, dan kali ini diterima.

“Marat sedang sakit di rumahnya. Charlotte [Corday] datang pada sore tanggal 13 Juli. Setelah berbincang-bincang sekitar 15 menit, ia menusukkan pisau besar tepat di dada Marat,” tulis Richard Cobb dalam The French Revolution: Voices from a Momentous Epoch 1789-1795 (1988:192)

Pembunuhan terhadap Marat langsung memanaskan suasana politik Paris. Albert Soboul, sejarawan Prancis, mencatat kematian Marat sebagai ancaman yang sangat dekat: di jantung ibu kota revolusi. Perempuan muda dari Normandy bisa membunuh orang yang dikenal sangat berpihak pada Sans-culottes--rakyat kecil.

Meski sengaja membunuh Marat sebagai simbol meruntuhkan revolusi yang runyam, Corday justru menjadi simbol gerakan revolusi baru yang lebih segar dan kuat. Di Paris, status penjagaan pun serentak ditingkatkan dan keamanan publik dijadikan prioritas.

Albert Soboul dalam The French Revolution 1789-1799: From the Storming of the Bastille to Napoleon (1975:321) menuliskan kesannya terhadap penguburan Marat.

“Paris menggelar upacara penguburan yang mewah bagi Marat. Seluruh anggota Konvensi Nasional menghadirinya. Jantungnya disimpan di kubah klub Cordelier. Sebagai martir kebebasan, Marat menjadi simbol penjaga Revolusi Prancis.”

Belum genap setahun sejak kematiannya, Jacques Louis David, pelukis kenamaan Prancis melukis peristiwa pembunuhan Marat. Hingga kini lukisan bergaya neo-klasik itu menjadi salah satu karya lukis paling dikenal di dunia.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI PRANCIS atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Politik
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh