Menuju konten utama

Jose Mourinho, The Special Ego

Setelah kekalahan di Anfield, Setan Merah kini tertinggal 19 angka dari Liverpool yang berada di peringkat pertama. Salah siapa?

Jose Mourinho, The Special Ego
Pose Manager Manchester United, Jose Mourinho, dengan latar gelembung busa saat menyeka dahinya sebelum pertandingan sepak bola Liga Inggris antara West Ham United dan Manchester United di London Stadium, Inggris, Sabtu, 29 September 2018. AP Photo / Tim Ireland

tirto.id - Dalam The Ball Doesn't Go In by Chance (2009), Ferran Soriano yang pada 2008 masaih menjabat sebagai CEO Barcelona, mengisahkan momen mencari pelatih pengganti Frank Rijkaard. Saat itu pilihannya ada dua: Josep Guardiola atau Jose Mourinho.

Mourinho jelas-jelas menjadi kandidat kuat. Dibandingkan dengan Guardiola yang baru mulai melatih, ia sudah berhasil memenangkan gelar di Inggris dan Portugal, juga gelar Liga Champions Eropa. Namun, pilihan Barcelona akhirnya jatuh ke Guardiola. Alasannya: mereka ingin mempertahankan filosofi sepakbola mereka dan agar tidak terseret dalam berbagai skandal dan keributan di media.

Oh, satu alasan lagi: Jose Mourinho merupakan sosok ego maniak.

Saat itu, Marc Ingla, Wakil Presiden Barcelona; dan Txiki Begiristain, Direktur Olahraga Barcelona, merasa bahwa Mourinho terlalu menekankan kata aku, bukan Barcelona yang akan meraih kesuksesan. Ada ego yang luar biasa besar di balik pribadi Mourinho, yang membuat kesuksesan pribadinya tampak lebih penting dari apa pun. Mereka berdua lantas membicarakan hal itu kepada Soriano dan Mourinho pun segera dilupakan oleh Barcelona.

Kini, sekitar satu dekade setelah kejadian itu, sifat Mourinho ternyata sama sekali tak berubah. Saat prestasi Mourinho mulai anjlok, ego Mourinho itu justru menjadi salah satu faktor utama penyebab sekian banyak kekalahan yang dialami oleh Manchester United. Terakhir, tim Setan Merah bahkan tak mampu memberikan perlawanan berarti saat ditekuk Liverpool 3-1 di Anfield, Minggu (11/9) kemarin.

Pendekatan Taktik Kedaluwarsa

Setelah United kalah 3-1 dari Liverpool, Alan Shearer, mantan penyerang timnas Inggris mempunyai pendapat menarik tentang United.

“Saat ini, David De Gea adalah satu-satunya pemain United yang tampil sesuai dengan potensinya,“ ujarnya.

Ia tentu tak asal bicara. Pasalnya, Nemanja Matic, gelandang bertahan United yang biasanya selalu tampil konsisten, juga mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Menurut situs Whoscored, baik saat bertahan maupun menyerang, Matic tak lagi segarang musim-musim sebelumnya. Dalam bertahan, Matic rata-rata hanya melakukan 1,1 kali intersep dan 1,7 kali tekel dalam setiap pertandingan. Musim sebelumnya, padahal dia rata-rata melakukan 1,9 kali tekel dan 1,8 intersep dalam setiap pertandingan.

Dalam menyerang, terutama menyoal dribel sukses, yang merupakan salah satu kelebihan Matic, ia juga mengalami penurunan. Jika saat bermain bersama Chelsea pada musim 2014-2015 -- yang merupakan musim terbaik Matic di Inggris -- ia berhasil melakukan 54 dribel sukses, pada musim ini Matic hanya melakukan 6 kali dribel sukses hingga akhir November 2018 lalu.

Martin Laurence, analis Whoscored, lantas mengambil kesimpulan dari penurunan itu: Matic tidak lagi secepat sebelumnya.

Pendapat Laurence tersebut memang ada benarnya. Saat menghadapi Liverpool, Matic terlihat megap-megap kala menghadapi pemain-pemain tengah Liverpool yang gesit, dinamis, sekaligus agresif. Akibatnya, lini pertahanan United tidak terlindungi dengan baik. Tak heran jika dalam pertandingan itu Liverpool berhasil melakukan 36 percobaan tembakan ke arah gawang.

Dari situ, jika dilihat lebih jauh lagi, penurunan Matic menjadi salah satu alasan utama mengapa gawang United sudah kebobolan 29 gol di Premier League sejauh ini.

Yang mengherankan, Mourinho memilih terus mengandalkan Matic. Saat United tampil buruk, ia pun tak pernah melampiaskan kekesalannya pada gelandang asal Serbia itu. Malahan, ia memilih untuk “terus beperang” dengan Paul Pogba, yang sebetulnya bisa berpotensi menyelamatkan lini tengah United.

Karenanya, saat United sebetulnya membutuhkan kreativitas Pogba pada babak kedua, Mourinho justru memilih menambah daya gedor di lini depan dengan memasukkan Martial. Mou memilih mendewakan egonya daripada memberikan yang terbaik untuk United. Padahal, lini tengah United sangat kesulitan untuk mengalirkan bola ke daerah pertahanan Liverpool. Gary Neville, mantan full-back kanan United, bahkan sampai tak habis pikir dengan keputusan pelatih asal Portugal tersebut.

“Tidak ada satu pun dari mereka yang dapat mengumpan maupun menerima bola. Saya menyadari bahwa itu sangat mengejutkan. Aku rasa United sangat buruk hari ini... Permainan mereka tidak cukup baik,” keluh Neville. Menurunya, Pogba adalah satu-satunya pemain yang dapat mengubah keadaan.

Selain itu, saat menghadapi Liverpool, Mourinho juga tetep kukuh mempertahankan pendekatan taktiknya yang menurut banyak orang sudah kedaluwarsa: bertahan mendalam. Mereka tidak akan menguasai bola terlalu lama karena tim yang menguasai bola rentan terhadap kesalahan. Dan saat menyerang, mereka akan mengandalkan serangan balik cepat dengan memanfaatkan kualitas para pemainnya.

Taktik itu mungkin masih berhasil dua-tiga tahun yang lalu. Namun saat semua tim sudah beradaptasi untuk menghadapinya, sementara Mourinho tidak mau mengubah pendekatannya, taktik itu jelas tidak akan bisa membuat tim mana pun memenangkan pertandingan.

Infografik Jose Mourinho

Infografik Jose Mourinho

Bayangkan, sebelum United bisa melancarkan serangan balik, pemain-pemain Liverpool langsung melakukan tekanan secara agresif. Alih-alih mengumpan ke depan secara benar, pemain-pemain United panik. Mereka lantas mengirimkan umpan ke depan secara serampangan. Hasilnya: berapa kali Lukaku menyentuh bola dalam pertandingan itu? Hanya 20 kali, kalah dari David De Gea (40) maupun Alisson (38), serta Xerdan Shaqiri (23) yang baru masuk pada babak kedua.

Melihat penampilan United yang amburadul, Roy Keane, mantan kapten United, kemudian mengambil kesimpulan bahwa pemain-pemain Setan Merah kurang nyaman dengan Mourinho.

”Menonton sikap Mourinho pada pertandingan itu, aku sangat ingin tahu bagaimana suasana di tempat latihan. Apakah itu menyenangkan? Karena melihat bahasa tubuh para pemain, aku tidak mendapat kesan mereka senang bermain untuk United... Apakah itu karena faktor pelatih?” ujarnya.

Namun, saat Gary Neville serta Keane kecewa besar dengan kekalahan United, Mourinho justru membuat pernyataan yang barangkali bisa membikin telinga mereka merah sesudah pertandingan. Mourinho mengatakan dengan enteng, “Liverpool adalah tim yang lebih bagus. Kami tidak dapat menyaingi intensitas mereka, kami tidak dapat menyaingi kemampuan fisik mereka. Pada saat ini, hasil yang paling mungkin adalah bermain imbang.”

Bahkan setelah kalah dan membuat selisih poin dengan Liverpool jadi 19, Mourinho sama sekali tidak malu. Termasuk pada Sir Alex Ferguson, mantan pelatih legendaris Manchester United, yang saat itu menonton pertandingan dari salah satu tribun Stadion Anfield. Saat Sir Alex hanya bisa menatap nanar sambil sesekali menggelengkan kepala seolah tak percaya dengan apa yang terjadi di atas lapangan, mungkin saja Sir Alex heran betapa ego Mourinho selalu berhasil menyundul langit.

Baca juga artikel terkait JOSE MOURINHO atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono