Menuju konten utama

Jonan Jelaskan Alasan Sektor Migas Masih Sumbang Inflasi

Menteri ESDM Ignasius Jonan menjelaskan mengapa sektor minyak dan gas masih menjadi menyumbang defisit pada neraca perdagangan nasional.

Jonan Jelaskan Alasan Sektor Migas Masih Sumbang Inflasi
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan pidato pembuka saat peresmian jaringan gas untuk rumah tangga di Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (21/3/2019). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pras.

tirto.id - Neraca perdagangan Januari-Februari 2019 masih mengalami defisit USD 734,0 juta. Hal ini karena besarnya defisit perdagangan migas mencapai USD 886,0 juta belum dapat diatasi dengan surplus neraca perdagangan nonmigas yang hanya sebesar USD 152,0 juta.

Menteri ESDM Ignasius Jonan angkat bicara guna merespons kondisi tersebut. Dalam Forum Diskusi Energi untuk Kedaulatan Negeri di Soehana Hall Energy Building SCBD, Jakarta, Jonan menjelaskan mengapa sektor minyak dan gas masih menjadi menyumbang defisit pada neraca perdagangan nasional.

Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang tak lagi jor-joran menjadikan sektor energi sebagai komoditas ekspor melainkan memanfaatkan energi nasional untuk pembangunan.

"Misalnya ada yang tanya, Pak neraca dagang migas defisit. Pertanyaan saya energi mau digunakan sebagai alat pembangunan atau komoditi ekspor?" ujar Jonan, Selasa (2/4/2019).

Di sektor gas, misalnya, pemerintah saat ini lebih memilih untuk mengalokasikan 60 persen dari total produksi gas nasional yang mencapai 2.100 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) untuk konsumsi dalam negeri. Di saat bersamaan Indonesia belum bisa melepaskan ketergantungan terhadap impor minyak.

"Kalau minyak memang rendah produksi 770 ribu barel perhari, konsumsinya 1,2 juta barel, jadi masih minus. Tapi sebenarnya akhirnya minus karena gas dipakai untuk nasional. Kalau diekspor semua pasti plus," tegas dia.

Bisa saja pemerintah mengekspor gas produksi nasional dalam jumlah besar. Namun imbasnya, pembangkit listrik dalam negeri akan kekurangan sumber bahan bakar murah yang pada akhirnya akan membebani masyarakat dengan tarif listrik yang lebih mahal.

Justru yang lebih penting bagi pemerintah adalah bisa menjaga tarif dasar listrik guna menjaga daya beli masyarakat yang dampak ekonominya jauh lebih besar.

"Pandangan kami pertama yang penting dilakukan peningkatan daya beli secara global. Makanya pemerintah berjuang mati-matian tingkatkan GDP per kapita. Ini dilakukan berbagai cara dan di berbagai sektor seperti sektor energi," tutup dia.

Baca juga artikel terkait DEFISIT PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno